Dilema Pembuktian Terbalik

Oleh: Romli Atmasasmita

Doktrin hukum pidana dan konvensi internasional mengenai perlindungan hak asasi manusia tidak mengakui pembuktian terbalik untuk menentukan kesalahan tersangka.

Namun, pembuktian terbalik untuk menetapkan perampasan aset tindak pidana, sejak tahun 2000, telah dipraktikkan dalam sistem hukum perampasan aset tindak pidana di Amerika Serikat melalui sarana hukum keperdataan (civil based forfeiture atau non-conviction based forfeiture/NCB). Lazimnya, sejak lama diakui sistem hukum perampasan aset tindak pidana melalui sarana hukum pidana (criminal based forfeiture/CB) yang dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Di dalam sistem hukum acara pidana Indonesia digunakan cara CB, dan perlu menunggu waktu 400 hari untuk sampai pada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Adapun perampasan aset tindak pidana melalui NCB tidak perlu menunggu waktu selama itu karena penuntut umum dapat segera membawa terdakwa ke pengadilan dengan cara pembuktian terbalik atas aset terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana.

Praktik NCB di Amerika Serikat dan Inggris, juga di beberapa negara Uni Eropa, berhasil mengembalikan keuangan secara signifikan dari organisasi kejahatan, terutama yang berasal dari kejahatan narkotik dan pencucian uang. Model perampasan aset NCB dengan pembuktian terbalik tidak melanggar HAM karena didasarkan pada teori balanced probability principle, yang memisahkan antara aset tindak pidana dan pemiliknya. Hal itu didasarkan premis bahwa perlindungan hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah (praduga tak bersalah) dan prinsip non-self incrimination harus diimbangi kewajiban terdakwa membuktikan asal-usul aset yang dimilikinya. Teori ini masih memberikan jaminan perlindungan hak asasi tersangka untuk dianggap tidak bersalah, sebaliknya tidak memberikan jaminan perlindungan hak kepemilikan terdakwa atas aset yang diduga berasal dari tindak pidana, kecuali yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya.

Lahirnya konsep NCB disebabkan perkembangan organisasi kejahatan transnasional pascaperang dingin telah meningkatkan aset organisasi kejahatan tiga kali APBN negara berkembang, terutama diperoleh dari kejahatan narkotik dan pencucian uang. Perkembangan itu dipandang sebagai ancaman terhadap ketenteraman dan ketertiban dunia. Fakta tersebut membuktikan bahwa efek jera penghukuman tidak cukup dan tidak berhasil secara tuntas memerangi kejahatan transnasional. Bahkan, di dalam penjara sekalipun, organisasi kejahatan dapat mengendalikan aktivitas kejahatannya, sedangkan ancaman hukuman mati dalam sistem hukum negara maju telanjur tidak diakui.

Beranjak dari kenyataan tersebut, terjadi perubahan drastis dalam kebijakan kriminal, khususnya di negara maju, yaitu strategi perampasan aset organisasi kejahatan atau yang diduga berasal dari kejahatan terbukti lebih ampuh sehingga dapat ”mematikan” kehidupan organisasi kejahatan. Pengalaman DEA menggunakan cara perampasan melalui sarana hukum perdata (civil based forfeiture) berhasil secara signifikan membekukan dan merampas aset organisasi kejahatan. Langkah hukum pembuktian terbalik dengan NCB, di Amerika Serikat berdasarkan UU Pembaruan tentang Perampasan Aset melalui Keperdataan (Civil Asset Forfeiture Reform Act/ CAFRA) Tahun 2000 dan di Inggris dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (Proceed of Crime Act) Tahun 2002. Di Indonesia, langkah hukum pembuktian melalui UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Perkuat Sistem Pelaporan

Sesungguhnya, pembuktian terbalik melalui CB dan NCB di Indonesia akan lebih mudah dilaksanakan jika sistem pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara telah dilaksanakan secara konsisten dan sistemik. Sistem pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara yang demikian akan memberikan dukungan signifikan terhadap aparat penegak hukum, termasuk KPK, dalam menyita dan merampas aset penyelenggara negara yang diduga berasal dari tindak pidana.

Sistem pelaporan harta kekayaan yang telah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN masih perlu direvisi dan diperkuat dengan sistem pembuktian terbalik jika ditemukan bukti awal (prima facie evidence) aset penyelenggara negara diduga berasal dari tindak pidana. Jika sistem pelaporan harta kekayaan, sistem klarifikasi, dan sistem verifikasi aset penyelenggara negara berjalan baik sejak diberlakukan UU Nomor 28 Tahun 1999, maka peristiwa Gayus Tambunan sejak lama dapat dicegah.

Mencuatnya kasus Gayus merupakan momentum yang mendorong pemerintah mempertimbangkan secara serius pemberlakuan RUU Perampasan Aset Kejahatan (RUU PAK). Pemerintah telah menyusun RUU PAK, tetapi masih menggunakan model perampasan berdasarkan criminal based conviction, dan RUU PAK tidak menggunakan cara perampasan CB dan NCB bersamaan.

Penggunaan model perampasan CB dan NCB secara bersamaan memerlukan dukungan sumber daya manusia dan anggaran yang memadai. Jika tidak, maka jangan diharapkan aspirasi pembuktian terbalik terhadap aset yang diduga berasal dari kejahatan dapat dicapai dalam waktu dekat. Untuk tujuan perampasan aset dengan cara CB dan NCB melalui pembuktian terbalik diperlukan database harta kekayaan penyelenggara negara yang akurat, serta data wajib pajak yang akurat dari semua warga negara ataupun orang asing.

Uraian ini hanya mengenai tindak pidana oleh penyelenggara negara yang berdampak signifikan terhadap peningkatan harta kekayaannya; belum menyentuh bagaimana terhadap korporasi asing dan nasional yang didirikan secara legal tetapi melakukan aktivitas ilegal yang berdampak merugikan kepentingan nasional. UU yang memberlakukan kewajiban pelaporan harta kekayaan tidak dapat diberlakukan terhadap korporasi tersebut, kecuali korporasi yang telah termasuk daftar peserta pasar modal (perusahaan terbuka).

Konvensi PBB Antikorupsi 2003 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 telah memasukkan ketentuan tentang suap di sektor swasta (bribery in the private sector) dan suap di sektor publik (bribery in the public sector), diperkuat ketentuan perbuatan memperkaya diri sendiri secara tidak sah (illicit enrichment) yang ditujukan terhadap pejabat publik. Tiga tindak pidana baru dalam perundang- undangan nasional yang akan datang merupakan ujung tombak untuk mempercepat proses reformasi birokrasi, baik secara preventif maupun represif.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2011 dan Nomor 2 Tahun 2011, antara lain, meliputi penggunaan metode pembuktian terbalik dalam mengefektifkan penegakan hukum, seharusnya dapat diwujudkan dalam waktu singkat jika isyarat dalam inpres tersebut dapat segera dipahami oleh para pelaksananya dengan mengambil langkah-langkah strategis dan sistematis yang benar-benar diperlukan. Salah satu langkah tersebut adalah segera diberlakukan UU Perampasan Aset Tindak Pidana yang memuat dua model perampasan aset melalui CB dan NCB. Namun, yang terpenting dari pemberlakuan UU tersebut adalah masih diperlukan ketentuan lain yang mengatur khusus sistem check and balances agar UU baru tersebut tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik dan tidak rentan dari suap dan KKN.

Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran

Sumber: Kompas, Jumat, 4 Februari 2011
-

Arsip Blog

Recent Posts