Keriang Bandong, Tradisi Masyarakat Pontianak Sambut Lailatul Qadar

Pontianak, Kalbar - Malam Lailatul Qadar hanya terjadi pada Ramadan dan sangat didambakan umat Islam. Malam seribu bulan ini dimaknai sebagai malam yang penuh rahmat dan ampunan dari Allah SWT. Sebab jika beribadah pada malam tersebut, pahalanya lebih baik dari seribu bulan.

Nah, tepat pada malam Lailatul Qadar ini masyarakat Pontianak, khususnya masyarakat Sungai Jawi memiliki tradisi unik yang masih dipertahankan hingga kini. Tradisi ini dikenal dengan ’Keriang Bandong’. Dalam tradisi ini, warga memasang ribuan lampu-lampu berbahan bakar minyak tanah dengan sumbu diatas wadah berupa batang bambu.

Lampu minyak tanah inilah yang disebut dengan Keriang Bandong. Kata ’Keriang Bandong’ diambil dari sejenis hewan serangga yang menyukai cahaya. Sedangkan kata ’bandong’ diambil dari kata berbondong-bondong karena kebiasaan keriang yang selalu datang berbondong-bondong mendatangi pusat cahaya.

Keriang Bandong ini dipasang di sepanjang Sungai Jawi sejak malam selikuran atau malam ke-21 bulan Ramadan hingga malam ke 29 Ramadan.

Jumlah Keriang Bandong yang dipasang tidak sedikit, bisa mencapai ratusan hingga ribuan lampu. Cahaya-cahaya lampu minyak tanah ini menjadi semarak di saat warga muslim menanti berkah di malam ganjil di bulan Ramadan ini.

Keindahan kelap-kelip lampu ini disambut sukacita anak-anak untuk bermain dan berkumpul. Mereka memandang cahaya Keriang Bandong ini dengan kesan takjub. Bahkan untuk lebih seru, mereka bermain meriam karbit yang disulut api, hingga menghasilkan dentuman suara.

Agar lebih indah dan semarak, tak hanya lampu-lampu Keriang Bandong, warga juga memasang beragam rupa jenis tanglong. Tanglong bisa berbentuk pesawat hingga jenis hewan-hewan yang disukai sehingga menarik perhatian anak-anak.

Berbeda dengan lampu Keriang Bandong, tanglong dibuat lebih rumit karena menggunakan kertas minyak beraneka warna dan didesain yang lebih menarik dengan diterangi cahaya dari lilin. Tidak sedikit anak-anak ini berebutan mengambil tanglong-tanglong untuk dimainkan di rumah.

Kemeriahan semakin kentara dengan lantunan irama musik tanjidor. Begitu juga beragam kuliner khas tak luput disajikan dari bingke berendam hingga kuliner tradisional lainnya.

Namun sayangnya, tradisi Keriang Bandong ini semakin ditinggalkan. Pasalnya warga memilih lampu seri yang praktis seperti lampu kerlap-kerlip yang berwarna warni untuk dipasang di perkarangan rumah. Pergeseran ini bukan tanpa alasan karena harga minyak tanah juga semakin mahal dan bahan untuk membuat keriang bandong semakin sulit dicari.

Selain itu, kurangnya perhatian pemerintah kota Pontianak untuk mengelar tradisi Keriang Bandong ini menyebabkan budaya memasang Keriang Bandong di malam lailatul qadar ini jarang ditemui. Hanya sedikit kelompok warga yang tetap mempertahankan tradisi Keriang Bandong ini. Tak heran, tradisi Keriang Bandong ini sempat vakum beberapa tahun.

"Tradisi Keriang Bandong adalah satu kegiatan, satu budaya Pontianak yang telah lama hilang, yang semestinya harus diangkat karena akar budaya ini bukan pemerintah tapi dari masyarakat, karena budaya ini adalah budaya lintas suku, lintas agama dan lintas bangsa. Inilah yang bisa membangun kota Pontianak yang menjadi kota yang lebih aman. Selain itu tradisi Keriang Bandong ini juga sarat religius untuk meningkatkan silahturahmi antar sesama umat Islam dan umat lainnya,” kata tokoh Masyarakat Melayu Pontianak, Firman Muntaco.

-

Arsip Blog

Recent Posts