Oleh Kasijanto Sastrodinomo
Dalam bukunya, South-East Asia: Race, Culture, and Nation, Guy Hunter menengarai masalah pelik kebahasaan di Asia Tenggara pascakolonial. Terdapat tiga jenis bahasa yang digunakan di kawasan tersebut: bahasa penduduk atau daerah setempat, bahasa internasional eks-kolonial, dan bahasa minoritas kaum imigran. Persoalannya, tiap negara kesulitan menetapkan bahasa nasional setelah sistem kolonial terpental.
Di Indonesia pokok persoalan itu tak terlalu relevan. Faktanya, begitu kita merdeka sebagai negara-bangsa sejak 17 Agustus 1945, merdeka pula kita berbahasa. UUD 1945 mencantumkan bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Bahkan, jauh sebelum merdeka, benih bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional telah disemai. Para pemuda yang berikrar dalam Sumpah Pemuda 1928 menyatakan ”mendjoendjoeng bahasa persatoen, bahasa Indonesia”.
Merdeka berbahasa juga terbukti dalam ketegasan kita menjatuhkan talak putus hubungan terhadap bahasa eks-kolonial Belanda. Namun, para pendiri negara kita juga tak canggung menyerap sebuah kosakata bahasa itu, proklamasi, sebagai judul teks pernyataan kedaulatan negara. Bukan masalah jika penanggalan kemerdekaan kita juga gado-gado: Masehi (17 Agustus) dan Showa (2005). Bahkan, nama diri para proklamator merupakan sintesis Sanskerta/Jawa (Sukarno) dan Arab/Minang (Mohammad Hatta).
Persoalan rumit memang ditemukan di negara lain. Sejak merdeka (1948), etnisitas Burma memaksakan bahasa Burma sebagai bahasa nasional. Akibatnya, sepertiga bagian bahasa etnis lain—Karen, Chin, Kachin, Shan, dan Mon-Khmer—tersisih. Di Kamboja, yang merdeka dari Perancis (1953), sekitar 90 persen penutur bahasa Khmer ternyata tak berdaya menggantikan bahasa Perancis sebagai bahasa nasional.
Bahasa di Vietnam terbelah: Inggris digunakan dalam pemerintahan, ketentaraan (Amerika Serikat), dan universitas di Saigon, sementara Perancis berlaku di Universitas Katolik di Dalat. Sehari-hari sekitar 85 persen penduduk berbahasa Vietnam, Mon-Khmer, dan China tanpa lingua franca yang bisa dimengerti oleh semuanya. Di Filipina terjadi persaingan empat besar bahasa daerah: Tagalog, Cebuano, Ilocano, dan Hiligaynon. Meski ditetapkan sebagai bahasa nasional, Tagalog ternyata hanya dimengerti oleh komunitas mereka sendiri. Itu sebabnya, murid sekolah dari luar komunitas Tagalog harus mempelajari Tagalog, Inggris, dan Spanyol sekaligus agar bisa berkomunikasi satu sama lain.
Meski mayoritas, bahasa Melayu di Tanah Melayu ternyata harus berbagi dengan bahasa Inggris, China, dan sedikit India. Bahkan, awal 1960-an, saat Singapura masih bergabung dengan Malaysia, jumlah sekolah berbahasa Inggris dan China jauh lebih banyak ketimbang yang berbahasa Melayu. Pada 1964, Sultan Kelantan menerbitkan aturan bagi pegawai negeri untuk berbahasa Melayu, tapi tak diikuti negeri bagian lainnya.
Hanya Thailand yang mulus menetapkan bahasa nasionalnya karena tak pernah mengalami penjajahan dan masyarakatnya relatif homogen. Namun, di Semenanjung Kra yang berbatasan dengan Malaysia, sekelompok Muslim Melayu nyelip di sana sehingga justru memaksa aparat Thai belajar bahasa Melayu agar bisa berkomunikasi dengan mereka.
KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI
Sumber: http://cetak.kompas.com