Religi Masyarakat Badui

Oleh Tim Wacana Nusantara

Dasar religi orang Badui ialah penghormatan terhadap roh nenek moyang dan kepercayaan terhadap satu kuasa, Batara Tunggal. Keyakinan mereka itu disebut Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-konsep, dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh agar orang hidup menurut alur itu dalam menyejahterakan orang Badui dari hierarki tua dan dunia ramai (keturunan yang lebih muda).

Mereka bertugas menyejahterakan dunia melalui tapa (perbuatan, bekerja) dan pikukuh. Apabila Kanekes sebagai inti jagat selalu terpelihara baik, maka seluruh kehidupan akan aman sejahtera. Gangguan terhadap inti bumi ini berakibat fatal bagi seluruh kehidupan manusia di dunia. Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh adalah Badui tanpa perubahan apa pun, seperti dikemukakan oleh peribahasa “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). Konsep-konsep itu tidak berada dalam diri orang Badui sendiri yang kekuatannya tergantung dari tindakan atau perbuatan seseorang. Konsep pikukuh merupakan pengejawantahan dari adat dan keagamaan yang ditentukan oleh intensitas konsep mengenai karya dan keagamaan. Dengan melaksanakan semuanya itu orang akan dilindungi oleh kuasa tertinggi, Batara Tunggal, melalui para guriang yang dikirim oleh karuhun dan Batara Tunggal, karena orang tidak patuh kepada pikukuh. Inilah hakikat agama Sunda Wiwitan.

Para puun itu bukan hanya pemimpin tertinggi tetapi juga keturunan karuhun, yang langsung mewakili mereka di dunia. Ada beberapa konsep yang merupakan kewajiban puun dalam rangka pikukuh, yaitu memelihara Sasaka Pusaka Buana, memelihara Sasakan Domas atau Parahyang, mengasuh dan memelihara para bangsawan/pejabat, bertapa bagi kesejahteraan dunia, berbakti kepada dewi padi dengan berpuasa pada upacara, memuja nenek-moyang, dan membuat laksa untuk bahan pokok seba (Garna, 1988).

Nenek moyang orang Badui dikategorikan dalam dua kelompok: nenek moyang yang berasal dari masa para batara dan masa para puun. Batara Tunggal digambarkan dalam dua dimensi, sebagai suatu kuasa dan kekuatan yang tak tampak tetapi berada di mana-mana, dan sebagai manusia biasa yang sakti. Dalam dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal memunyai keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia di kabuyutan (tempat nenek-moyang), yaitu titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Yang pertama ialah Batara Cikal, yang diberitakan tidak ada keturunannya. Kedua, Batara Patanjala yang menurunkan tujuh tingkat batara ketiga, yaitu (dari yang paling senior) Daleum Janggala, Daleum Lagondi, Daleum Putih Seda Hurip, Daleum Cinangka, Daleum Sorana, Nini Hujung Galuh, dan Batara Bungsu. Mereka itu yang menurunkan Bangsawan Sawidak Lima atau tujuh batara asal, nenek moyang orang Baduy. Daleum Janggala adalah batara yang tertua, dan yang menurunkan kerabat tangtu Cikeusing; Daleum Putih Seda Hurip menurunkan kerabat Kampung Cibeo. Para batara tingkat ketiga lain masing-masing menurunkan jenis kerabat pemimpin lainnya.

Lima batara tingkat kedua, saudara-saudara muda Batara Pantajala, yaitu Batara Wisawara, Batara Wishnu, Batara Brahmana, Batara Hyang Niskala, dan Batara Mahadewa. Mereka menurunkan kelompok kerabat besar di luar Baduy yang disebut salawe nagara (dua puluh lima negara), yang menunjukkan jumlah kerabat yang besar, dan menurut pengetahuan orang Badui adalah wilayah yang sangat luas di sebelah Sungai Cihaliwung (Garna, 1988). Kelompok kerabat itulah yang dianggap orang Badui sebagai keturunan yang lebih muda.

Dari ketujuh orang batara tingkat ketiga nenek-moyang orang Badui itu, tampak bahwa hanya kerabat jaro dangka yang berasal dari garis keturunan perempuan. Lainnya diturunkan melalui garis keturunan patrilineal. Para puun adalah keturunan Batara Patanjala, dan sampai masa akhir abad ke-19 oleh Jacobs dan Maijer dicatat sudah terjadi 13 kali pergantian puun Sikeusik (1891:13). Menurut catatan tahun 1988, jumlah puun Cikeusik adalah 24 orang, dan yang terakhir adalah Puun Sadi (Garna, 1988).

Suatu konsep penting dalam religi orang Badui ialah karuhun, yaitu generasi-generasi pendahulu yang sudah meninggal. Mereka berkumpul di Sasaka Domas, yaitu tempat di hutan tua di hulu Sungai Ciujung. Karuhun dapat menjelma atau datang dalam bentuk asalnya menengok para keturuannya, dan jalan untuk masuk ialah melalui hutan kampung.

Dalam kaitan dengan konsep karuhun itu ada konsep lain, yaitu guriang, sanghyang, dan wangatua. Guriang dan sanghyang dianggap penjelmaan para karuhun untuk melindungi para keturunannya dari segala marabahaya, baik gangguan orang lain maupun makhluk halus yang jahat (dedemit, jurig, setan). Wangatua ialah roh atau penjelmaan roh ibu-bapak yang sudah meninggal dunia.

Kosmologi orang Badui yang menghubungkan asal mula dunia, karuhun, dan posisi tangtu, merupakan konsep penting pula dalam religi mereka. Karena itu wilayah yang paling sakral berada di Kanekes, terutama wilayah taneuh larangan (tanah suci, tanah terlarang) tempat kampung tangtu dan kabuyutan. Bumi dianggap bermula dari masa yang kental dan bening, yang lama-kelamaan mengeras dan melebar. Titik awal terletak di pusat bumi, yaitu Sasaka Pusaka Buana tempat tujuh batara diturunkan untuk menyebarkan manusia. Tempat itu juga merupakan tempat nenek moyang. Kampung tangtu kemudian dianggap sebagai inti kehidupan manusia, yang diungkapkan dengan sebutan Cikeusik, Pada Ageung Cikartawana disebut Kadukujang, dan Cikeusik disebut Parahyang; semua itu disebut Sanghyang Daleum. Secara khusus posisi tempat nenek moyang (kabuyutan) dan alur tangtu dalam memperlihatkan kaitan karuhun, yaitu Pada Agueng--Sasaka Pusaka Buana--dangka-nya disebut Padawaras; Kadukujang--Kabuyutan ikut pada Cibeo dan Cikeusik--dengan dangka-dangka-nya yang disebut Sirah Dayeuh.

Konsep buana (buana, dunia) bagi orang Badui berkaitan dengan titik mula, perjalanan, dan tempat akhir kehidupan. Ada tiga buana, yaitu Buana Luhur atau Buana Nyungcung (Tngkasa, Buana Atas) yang luas tak terbatas; Buana Tengah atau Buana Panca Tengah, tempat manusia melakukan sebagian besar pengembaraannya dan tempat memperoleh segala suka-dukanya; dan Buana Handap (Buana Bawah) yaitu bagian dalam tanah yang tak terbatas pada luasnya. Keadaan di tiga benua itu adalah seperti halnya dunia ini, ada siang dan ada malam, dan keadaannya sebaliknya dengan di dunia.

Konsep lain dalam religi orang Badui ialah kaambuan atau ambu (ibu, wanita, ibu suci). Menurut orang Badui ada tiga ambu yang penting (paling tidak, yang ditakuti dan disegani), yaitu Ambu Luhur di Buana Luhur, Ambu Tengah di Buana Panca Tengah, dan Ambu Rarang di Buana Handap. Ambu Tengah ialah pemelihara kehidupan yang harus dihormati dengan kesungguhan melakukan pikukuh. Ambu Luhur tidak hanya mengurus tempat orang Badui setelah mati, tetapi juga dengan segala kekuatan dan kesaktiannya. Ambu Luhur dapat menyelesaikan setiap masalah kehidupan dengan menyebut namanya atau membaca mantra-mantra. Sedang Ambu Rarang adalah ambu yang menerima jasad dan roh orang Badui yang mati untuk diurus selama tujuh hari dan melepaskannya setelah 40 hari ke tempat akhir tetapi juga bentuk nyata dari Buana luhur.

Kepustakaan
Djoewisno, M.S. 1995. Potret Kehidupan Masyarakat Baduy. Pandeglang-Banten.
Koentjaraningrat. 1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI-Press.
Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Mutakin, A. dan Pasya, G.K. 2000. Masyarakat Indonesia dalam Dinamika. Bandung: Buana Nusa.

Sumber Tulisan:
http://www.wacananusantara.org/1/172/Religi%20Masyarakat%20Badui?mycustomsessionname=8587a74380f161d73d51e0b5573a743e
-

Arsip Blog

Recent Posts