Oleh Tim Wacana Nusantara
1. Pendahuluan
Situs Candi Bumiayu merupakan komplek percandian yang terletak di Desa Bumiayu, Kecamatan Tanah Abang, Kabupaten Muaraenim, Propinsi Sumatera Selatan. Untuk sampai ke wilayah percandian Situs Bumiayu kita dapat menempuh dengan menggunakan kendaraan air atau darat. Luas area komplek percandian Bumiayu diperkirakan sekitar 15 hektar. Rute tempat untuk melakukan perjalanan agar sampai ke komplek percandian Bumiayu dengan menggunakan kendaraan air bisa melalui Sungai Musi dan Sungai Lematang ke arah hulu sejauh 80-an kilometer, sedangkan melalui rute jalan darat adalah bisa melalui Palembang, Prabumulih, Gunungmegang dan Tanah Abang sejauh 90 kilometer. Berdasarkan letak astronomisnya komplek percandian Bumiayu berada pada garis 3o19’5,59” Lintang Selatan dan 104o5’5,45” Bujur Timur. Daerah ini dibatasi oleh Desa Tanah Abang Selatan di sebelah utara, Desa Kemala di sebelah Timur, Desa Siku di sebelah Selatan dan Desa Pantadewa di sebelah Barat.
Peninggalan bukti Arkeologis yang tersebar di wilayah Sumatera Selatan, Seringkali di hubungkan dengan keberadaan dari Kerajaan Sriwijaya di masa kejayaannya. Kerajaan Sriwijaya yang berlangsung sekitar abad ke-7 sampai dengan abad ke-14 masehi ini banyak meninggalkan bukti-bukti sejarah dalam bentuk prasasti dan Candi. Keberadaan bangunan-bangunan ini merupakan sejarah masa lalu yang menandai adanya sebuah kerajaan besar di Sumatera. Kerajaan Sriwijaya ini tercatat sebagai sebuah kerajaan maritime yang besar dan segaligus sebagai pusat pendidikan agama Hindu-Budha pada masanya.
Selama ini kita mengenal hasil peninggalan kerajaan Sriwijaya dalam bentuk komplek percandian di Muara Takus yang ditemukan sebagai bukti adanya Kerajaan Sriwijaya yang beragama Hindu-Budha. Peninggalan kerajaan Sriwijaya ini ternyata tidak hanya terdapat di Muara Takus, komplek percandian lain yang ditemukan adalah komplek percandian Bumiayu hasil dari masa klasik kerajaan Sriwijaya.
Hasil penemuan penelitian di sekitar situs Bumiayu telah ditemukan 12 buah gundukan tanah yang mengandung pecahan bata di permukaan tanahnya. Dari keduabelas gundukan tanah tersebut beberapa diantaranya telah berhasil ditampakungkapkan kembali, yaitu Candi 1, Candi 2, Candi 3, Candi 7 dan Candi 8. Candi-candi lainnya, antara lain Candi 4, candi 5, Candi 6, Candi 9 dan Candi 10 pernah diteliti oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, EFEO-Perancis dan Balai Arkeologi Palembang sejak tahun 1990 sampai 2004. Candi-candi tersebut diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-8 sampai ke-14 Masehi. Pertanggalan tersebut didasarkan pada temuan pecahan prasasti bata, gaya seni bangunan (arsitektur) maupun gaya seni arcanya yang berlanggam Singasari di Candi Bumiayu 1, serta temuan pecahan keramik asing. Sementara itu temuan lempengan emas dengan tulisan pada bagian permukaan di tepian Sungai Lematang menunjukkan kisaran waktu antara abad ke-11sampai 12 Masehi. Kronologi tersebut diperoleh berdasdarkan bentuk paleografi huruf-huruf Jawa Kuna yang tertera pada prasasti. Kesimpulan dari hasil penelitian sementara yang dilakukan sejak tahun 1990-2004 dapat diketahui tidak tidak semua “Candi” yang ada menunjukan bangunan candi dalam pengertian sebenarnya, yaitu suatu bangunan suci para penganut agama Hindu-Budha. Dari beberapa candi yang telah berhasil ditampakungkapkan dan dipugar seperti, Candi 1, Candi2, Candi 3, dan Candi 8 dan yang lainnya nampak bukan merupakan bangunan suci, karena tidak ditemukan unsur-unsur lain yang mengaitkannya dengan suatu tempat pemujaan.
Banyak yang menarik untuk di teliti dari setiap peninggalan sejarah termasuk candi-candi yang ada di nusantara ini, salah satu yang menarik dari peninggalan komplek percandian Bumiayu ini adalah ditemukannya batu bata bertanda, baik berupa gambar maupun tulisan pada salah satu permukaan atau sisi bata di Candi Bumiayu 1. Temuan tersebut dikumpulkan dari hasil pembongkaran dinding-dinding bata Candi Bumiayu 1 yang berasal dari keempat bagian dinding candi, kecuali sisi utara. Dari sejumlah huruf yang berhasil diidentifikasi adalah huruf Jawa Kuno, yang berdasarkan bentuk paleografinya berasal dari sekitar abad ke-11sampai 12 Masehi. Bahkan ada beberapa huruf yang diduga berasal dari masa yang lebih tua. Keberadaan bata-bata bertanda tersebut kemungkinan berkaitan dengan simbol-simbol atau tanda-tanda tertentu tentang keagamaan atau tahap pembangunan candi.
2. Landasan Teori
Mengenai definisi kebudayaan, berikut ini akan dipaparkan beberapa definisi kebudayaan menurut para tokoh:
a. Menurut E.B. Taylor (1832-1917)
Beliau merupakan orang yang pertama kali merumuskan definisi kebudayaan, E.B Taylor mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut “ Kebudayan adalah mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”.
b. Menurut Koentjaraningrat
Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan,tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia manusia dengan cara belajar.
c. Ki Hajar Dewantara
Kebudayaan yang berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yaitu alam dan zaman atau kodrat dan masyarakat untuk mengatasi berbagai rintangan dalam kehidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Selain istilah kebudayaan, terdapat juga konsep tentang peradaban, atau keluhuran budi dalam bahasa inggris disebut civilization. Istilah peradaban ini sering digunakan untuk mengungkapkan unsur-unsur kebudayaan yang lebih tinggi, halus, dan indah, seperti kesenian, ilmu pengetahuan, atau untuk menunjukkan suatu kebudayaan yang lebih maju dan kompleks, seperti sistem teknologi, sistem kenegaraan dan lain-lain.
3. Hubungan Komplek Candi Bumiayu Dengan Hindu Budha
Kalau kita perhatikan dengan cermat peninggalan sejarah yang ada di komplek percandian Bumiayu dan mengacu kepada beberapa definisi kebudayaan yang dikemukakan di atas jelas menunjukan bahwa komplek percandian ini termasuk kedalam hasil kebudayaan, dalam hal ini hasil dari kebudayaan Kerajaan Sriwijaya. Sedangkan kalau melihat kepada definisi yang diberikan oleh Ki Hajar Dewantara, kita bisa memasukannya juga kedalam peradaban karena komplek percandian ini mengandung beberapa unsure seperti keindahan, kesenian, ilmu pengetahuan teknologi dll. Hasil dari kebudayaan manusia yang bisa dimasukan kedalam sebuah kebudayaan biasanya berhubungan dengan hal-hal kemajuan dan lebih maju dari yang lainnya.
Perjalanan sejarah hubungan antara orang-orang Indonesia dengan bangsa-bangsa luar termasuk India, Cina, Bangsa Arab dll, telah mengantarkan bangsa Indonesia mengenal kebudayaan Hindu-Budha termasuk bangunan-bangunan tempat ibadahnya yang berbentuk candi. Kontak hubungan dengan orang-orang yang ada di Nusantara ini telah berlangsung lama, yaitu sebelum terbentuknya sebuah kerajaan di Nusantara. Banyak pendapat yang mengatakan tentang proses masuknya pengaruh Hindu Budha ke nusantara, seperti N.J.Krom berpendapat bahwa pengaruh Hindu Budha datang ke nusantara dibawa oleh para pedagang, para pedagang ini dianggap sebagai golongan pertama yang melakukan kontak dengan wilayah nusatara melalui aktivitas perdagangan. Pedapat lain mengatakan bahwa yang membawa pengaruh tersebut adalah para ksatria, Brahmana dan yang terakhir adalah oleh orang-orang Indonesia sendiri yang belajar di ke India dan sepulangnya mereka menyebarkan kepercayaan tersebut.
Bukti pertama adanya pengaruh masuknya agama Hindu-Budha ke Nusantara diperkirakan sekitar abad ke 5 Masehi yaitu di Kutai, Kalimantan Timur. Hal ini berdasarkan prasasti yang ditemukan berhuruf Pallawa dengan bahasa Sansekerta. Di dalam prasasti menyebutkan nama seorang raja Kudungga yang berlatar belakang agama Hindu. Selanjutnya agama Hindu berkembang di Jawa yaitu di Kerajaan Tarumanegara, Jawa Barat Abad ke-7 Masehi dan Kerajaan Mataram Hindu abad 11 Masehi. Bukti pertama yang menyatakan adanya pengaruh Hindu-Budha sekitar abad ke-5 ini, bukan berarti bahwa kontaknya orang-orang yang ada di nusantara dengan bangsa-bangsa luar terjadi pada abad tersebut. Dalam beberapa keterangan banyak yang menyatakan bahwa orang nusantara sudah melakukan kontak dengan bangsa-bangsa luar sekitar awal-awal masehi, kontak pertama ini diperkirakan berhubungan dengan masalah perdagangan. Kalau kita lihat proses persebaran manusia ke nusantara jelas menjukan bahwa orang-orang yang ada di Nusantara ini sudah melakukan kontak dengan bangsa luar terutama untuk wilayah Asia Tenggara.
Di Sumatera agama Hindu muncul dan berkembang sekitar abad ke-6 Masehi. Hal ini berdasarkan temuan runtuhan bangunan candi dan arca Wisnu di situs Kota Kapur, Pulau Bangka. Pada waktu bersamaan Kerajaan Sriwijaya berkembang (sekitar abad ke-7 Masehi). Agama Buddha mencapai kejayaannya, banyak candi dibuat berserta arca-arcanya dan pengaruh seninya sampai ke luar Nusantara. Kebesaraan kerajaan Sriwijaya dalam perkembangan agama Hindu-Budha dapat dilihat dalam catatan I-Tsing, yang pernah singgah di Kerajaan Sriwijaya, disana dia belajar selama enam bulan. Di Sriwijaya juga dikatakan sebagai salah satu pusat pendidikan agama Hindu-Budha, ini menandakan bahwa pada saat itu Kerajaan Sriwijaya sangat besar samapai menjadi pusat pendidikan agama Hindu-Budha.
Mayoritas penduduk Sriwijaya bermukim dan beribadah di ibukota Kerajaan Sriwijaya yaitu Palembang. Umat Hindu pada waktu itu merasa terdesak, selanjutnya menyingkir dan mengambil lokasi bermukim ke pedalaman. Oleh karena itu tinggalan agama Hindu sedikit ditemui di ibukota Kerajaan. Agama Hindu di pedalaman mengalami kejayaan, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kompleks percandian Bumiayu yang dikelilingi oleh Sungai Lematang beserta anak-anak sungainya. Pada situs ditemukan 10 gundukan tanah yang setelah diekskavasi menujukkan bangunan candi adalah Candi Bumiayu 1, 2 dan 3, sedangkan gundukan tanah 4,5,6,7,8,9,10 yang menunjukkan sebagai bangunan non sakral.
Edy Sedyawati mengemukakan asumsi mengenai agama. Agama diasumsikan ada 4 hal: pertama, agama tertentu yang merumuskan konsep tertentu mengenai “yang adi kodrati”, dua, agama tertentu merumuskan konsep tertentu mengenai kosmos, tertuang ke dalam kosmologi, yang selanjutnya pada umumnya dapat dipilah antara kosmografi dan kosmogoni , tiga, agama mengatur perilaku keagamaan manusia, khususnya yang berkaitan dengan hubungan antara manusia Yang Adi-kodrati dan sering pula terkait tata perilaku antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam empat, dalam petalaksanaan tindakan keagamaan (ibadah) diperlukan sejumlah sarana baik yang berupa benda-benda maupun teks-teks tertentu. Mengacu kepada asumsi diatas, permasalahan yang muncul adalah bagaimana halnya dengan agama di kompleks percandian Bumiayu ?
4. Kerangka Pemikiran
Konsep Kosmogonis diungkapkan oleh R. von Heine Geldern yang mengemukakan kepercayaan adanya keserasian antara dunia manusia (mikrokosmos) dan alam semesta (makrokosmos). Menurut kepercayaan itu manusia selalu ada di bawah pengaruh kekuatan-kekuatan yang terpancar dari bintang-bintang dan planet-planet. Kekuatan itu membawa kebahagiaan, kesejahteraan dan perdamaian atau bencana kepada manusia tergantung dari dapat atau tidaknya individu, kelompok-kelompok sosial terutama kerajaan, menyerasikan hidup dan semua kegiatannya dengan gerak alam semesta. Orang dapat memperoleh keserasian itu dengan mengikuti petunjuk-petunjuk astrologi, alamat-alamat yang menunjukkan akan datangnya keberuntungan atau bencana. Menurut ajaran agama Hindu alam ini terdiri dari suatu benua pusat berbentuk lingkaran yang bernama Jambudwipa. Benua ini dilingkari oleh tujuh lautan dan tujuh daratan dan semuanya itu dibatasi oleh suatu pegunungan tinggi. Di tengah-tengah Jambudwipa berdiri Gunung Meru sebagai pusat alam semesta. Matahari bulan dan bintang-binatang bergerak mengelilingi Gunung Meru tersebut. Di puncaknya terdapat kota dewa-dewa yang dikelilingi oleh tempat tinggal ke delapan penjaga dewa mata angin.
Sedangkan dalam agama Buddha disebutkan Gunung Meru sebagai pusat alam semesta dilingkari oleh tujuh lautan dan tujuh pegunungan. Di luar deretan pegunungan yang ketujuh terdapat samudera yang melingkar dan terdapat empat benua yang terletak di keempat penjuru mata angin. Benua di sebelah selatan disebut Jambudwipa, tempat tinggal manusia.
Untuk melakukan penelitian tentang agama atau keyakinan memerluakn sebuah kajian yang mendalam, maka untuk itu dalam penelitian tentang masalah keagama diperlukan data artefaktual (peninggaln) dan tekstual. Data artefaktual agama seperti benda-benda untuk upacara keagamaan, bangunan suci dan asesori yang dikenakan oleh pelaku agama baik terkait dengan statusnya yang tetap berkenaan dengan tugas keagamaan, maupun yang terkait dengan pelaksanaan upacara-upacara tertentu. Data tekstual agama yang dapat dicari adalah uraian mengenai ajaran, uraian mengenai ketentuan peribadatan dan teks-teks yang digunakan dalam ritus. Data-data dalam bentuk artefak dan tektual ini akan membuktikan bagaimana masyarakat pada masa itu berkeyakinan. Dari semua inilah manusia pada saat sekarang akan mengenal kehidupan manusia pada masa itu, untuk dipahami sebagai sebuah ilmu pengetahun.
5. Pembahasan
5.1 Candi Bumiayu 1
Arca singa dari bangunan Candi 1 Situs Bumiayu, abad ke-13 Masehi (dok. Puslitarkenas)
Hasil penelitian yang dilakukan ternyata bagian atap candi 1 sudah tidak ditemukan, tetapi dari komponen-komponen yang masih ada diketahui bahwa bahan yang dipergunakan untuk pembuatan atap adalah tanah liat. Hiasan-hiasan yang biasa terdapat di bagian atap candi masih dapat ditemukan dalam kondisi relatif utuh. Hiasan-hiasan tersebut berbentuk ratna, antefiks dan bentuk-bentuk lain diduga merupakan bagian menara sudut atap candi. Hiasan antefiks yang ditemukan pada candi Bumiayu 1 adalah segitiga dengan hiasan berupa motif stiliran daun-daunan, beberapa diantaranya polos. Hiasan antefiks ini biasanya terdapat di bagian atap candi yang berdasarkan keletakannya dapat dibagi menjadi antefiks sisi dan antefiks sudut. Pada beberapa bangunan candi, antefiks atau simbar ini juga ditemukan pada bagian dasar candi. Antefiks diperkirakan menghiasi atap candi. Selain temuan tersebut, di candi 1 ditemukan juga bentuk ratna berbentuk genta. Ratna merupakan hiasan atap candi yang mengidentifikasikan bahwa bangunan tersebut berlatar belakang agama Hindu. Ratna dari candi Bumiayu 1 seperti halnya ratna dari candi-candi Hindu dari periode Jawa Tengah berbentuk seperti genta bagian bawahnya membulat dan bagian atasnya meruncing. Hanya saja tidak seperti ratna yang ditemukan pada candi-candi dari periode Jawas Tengah yang sebagian besar dibuat dari batu andesit, maka ratna dari candi bumaiyu 1 dibuat dari tanah liat yang di bakar.
Bagian tubuh candi berbentuk empat persegi panjang berukuran 10,21 x 10,47 meter, terbuat dari bata berwarna putih kekuningan yang umumnya dalam kondisi rapuh. Bagian badan candi ini tinggal menyisakan beberapa lapis bata saja, sehingga bentuk utuh dari bagian badan inipun tidak direkonstruksi dengan baik. Meskipun demikian dari bagian badan bangunan ini dapat diketahui adanya empat penampil termasuk pintu masuk yang berada di sebelah timur, sehingga dapat diketahui arah candi adalah timur. Selain penampil yang merupakan pintu masuk tersebut ditemukan juga penampil-penampil lain yang terletak di sebelah selatan, utara dan barat. Penampil-penampil tersebut diduga merupakan bangunan tambahan karena terlihat adanya ketidaksatuan antara penampil dengan bangunan aslinya, sehingga memberi kesan seolah-olah bangunan ini menempel pada bangunan aslinya yang dibangun terlebih dahulu. Hal ini terlihat jelas pada penampil sisi barat yang terlepas dari bangunan asli yang mengakibatkan meleseknya pondasi bangunan. Bangunan penampil ini kemungkinan dibuat pada tahap II. Penambahan bangunan penampil seperti ini umum terjadi pada candi-candi dari periode Jawa tengah, yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari bentuk awal bangunannya yang biasanya berdenah bujur sangkar dan hanya mempunyai satu pintu masuk dan relung-relung di ketiga sisi bangun lainnya.
Profil penampil pada bangunan Candi bumaiyu 1 terdiri dari kombinasi antara bidang datar, pelipit setengah lingkaran dan pelipit sisi genta. Bata-bata yang ditempelkan pada banguan asli dibentuksedemikan rupa seolah-olah saling berhubungan. pada bagian ini masih terlihat adanya sebuah panil menghiasi dinding penampil sisi barat barupa bingkai yang terbuat dari bata-bata dipahat menyudut terletak di bagian atas pelipit sisi genta. Hiasan lain yang masih tampak berupa pilater terdapat penampil barat dan selatan dengan pola penempatan yang berbeda. Pada penampil barat pilaster itu ditempatkan agak jauh dari sudut-sudut yang menghadap keluar, sedangkan pada penampil selatan pilater tersebut menyatu dengan sudut-sudutnya. Pilaster-pilaster tersebut susunannya terlihat tidak menyatu dengan struktur bangunan yang di belakangnya sehingga mengesankan bahwa komponen tersebut merupakan bangunan tambahan. Profil kedua pilater ini polos dengan satu pelipit setengah lingkaran yang terletak sejajar dengan pelipit sisi genta pada bangunan penampil, yang menarik dari Candi Bumiayu 1 adalah pilaster-pilaster sudut yang terletak pada sudut timur laut, tenggara dan barat daya tempat ditemukannya arca singa dalam kondisi yang sudah rusak. Seperti halnya bangunan penampil yang diperkirakan dibuat pada pembangunan tahap kedua, maka hiasan pilater inipun dibuat pada masa yang sama. Hal ini terlihat dari perbedaan warna bata yang digunakan untuk membentuk pilaster ini berbeda dengan bata dinding bangunan induk. Selain juga didukung oleh penampakan susunan bata yang tidak menyatu dengan struktur kaki, bangunan induk. Penambahan bagian pilaster ini terlihat dari singkapan susunan bata kaki bangunan induk yang tampak masih utuh di belakang pilaster.
Pada penampil sisi barat, utara dan selatan tidak ditemukan sisa-sisa tangga, sehingga belum dapat diketahui cara yang digunakan untuk memasuki ruangan penampil. Tidak adanya tangga masuk ke bagian penampil ternyata juga dijumpai pada candi-candi dari periode Jawa Tengah yang telah mengalami pengembangan dari bentuk bangunan awalnya. Yang menarik dari penampil-penampil ini ialah ditemukan fragmen arca berupa bagian perut dan kepala makara di dekat penampil selatan yang mengindikasikan bahwa pada pilaster tersebut dulunya pernah berdiri arca dimaksud. Hal ini sesuai dengan gaya seni candi-candi Hindu-Buddha yang umunya memiliki hiasan kala-makara pada relung atau pintu masuk ruangan. Bukti penggunaan hiasan kala-makara adalah temuan kepala kala yang sekarang disimpan di Balai Penyelamatan Bumiayu.
Pintu masuk bangunan candi induk telah dibangun menjadi semacam penampil bersudut empat belas yang menjorok ke muka sekitar 4,46 meter dari dinding timur bangunan asli. Seluruhnya terdiri dari tiga bagian yang masing-masing berdenah segi empat panjang dan diletakkan di hadapan lainnya, sehingga secara keseluruhan penampil ini membentuk denah persegi dua belas yang semakin ke timur semakin kecil ukurannya. Di depan penampil terdapat teras berlantai. Penampil pintu masuk ini diduga pernah memiliki lorong yang menghubungkan bagian dalam bangunan yang menjadi pusat kesucian candi dengan bagian luar bangunan (antarala). Melihat adanya ketidaksatuan antara bangunan penampil ini dengan bangunan yang ada di belakangnya diperkirakan bangunan ini meruapkan bangunan tambahan. Penambahan tersebut diduga dilakukan pada pembangunan Tahap III. Di bagian depan dari penampil timur terdapat bangunan tambahan yang bentuknya seperti teras. Bangunan tambahan ini berhubungan dengan tangga naik yang terbawah berukuran 2,1 x 2,2 meter dan tinggi dari permukaan tanah sekitar 30 cm. Di bagian depan dari bangunan ini juga terdapat bangunan yang sama dengan ukuran tinggi 40 cm, berdenah empat persegi panjang dengan ukuran 1,55 x 1,62 meter.
Bagian kaki Candi Bumiayu 1 dibangun langsung diatas tanah dengan menggunakan bata. Pada bagian kaki candi ini biasanya mempunyai komponen lainnya, yaitu tangga masuk ke ruangan candi. Tangga masuk pada Candi Bumaiyu 1 hanya ditemukan pada bagian timur, yang merupakan pintu masuk utama bangunan candi menunjukkan arah hadap candi yaitu timur. Pintu masuk candi induk telah dibangun semacam penampil bersudut empat belas yang menjorok ke depan sekitar 4,46 meter dari dinding timur bangunan Tahap I. Bentuk penampil ini dapat dibagi menjadi tiga bagian dan masing-masing berdenah segi empat panjang, diletakkan berderet ke arah depan sehingga secara keseluruhan penampil ini membentuk denah segi dua belas yang semakin ke depan semakin kecil ukurannya. Di depan penampil terdapat teras berlantai bata setinggi 0,25 meter dari muka tanah dengan ukuran 2,28 x 2,80 meter. Bahan yang dipergunakan untuk komponen tangga dan penampil ini sama dengan bahan struktur utamanya, yakni bata. Bagian kaki candi yang masih tersisa menunjukkan adanya perbedaan warna dan ukuran bata, sehingga memungkinkan timbulnya dugaan bahwa bangunan candi asli berukuran 10,21 x 10,47 meter. Bangunan yang terbuat dari bata berwarna putih kekuningan ini tidak mempunyai profil dan diperkirkan merupakan bangunan tahap I. Bangunan candi tahap I ini terletak di belakang penampil-penampil dan pilaster sudut. Profil yang berupa bidang datar, pelipit setengah lingkaran dan pelipit padma baru muncul pada pembangunan Tahap II. Pelipit-pelipit tersebut dibentuk dengan cara memahat bata-bata yang telah disusun untuk bagian kaki candi. Tebal dinding bangunan Tahap I berkisar 65 sampai 72 cm. Diantara dinding bagian dalam dan dinding bagian luar terdapat timbunan tanah berwarna kemerahan dengan becak-bercak kuning dan banyak bercampur laterit setebal 68 cm, yang diduga pengganti bata. Bagian kaki candi tidak mempunyai hiasan.
a. Bata-bata bertanda Candi Bumiayu 1
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, batu bata yang diperoleh selama dilakukannya pembongkaran dinding bangunan Candi Bumiayu 1 ditemukan sebanyak 314 bata berhias, baik yang berupa huruf maupun bentuk tanda lain. Keseluruhan bata tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan jenis-jenis tanda yang digoreskan di atas permukaannya, yaitu:
1. Bata dengan tanda berupa huruf terdiri dari 115.
2. Bata bercap atau bertanda selain huruf berjumlah 100.
3. Bata dengan hiasan berupa gores garis berjumlah 75.
4. Bata pecahan dengan tanda berupa huruf dalam kondisi tidak utuh lagi berjumlah 26.
Bata-bata yang ditemukan tersebut merupakan hasil pembongkaran dinding bangunan bagian barat timur dan selatan Candi Bumiayu 1. Hasil identifikasi terhadap bata-bata bertulis memperlihatkan adanya 18 jenis huruf dengan beberapa variasi penulisannya. Keseluruhan huruf tersebut merupakan aksara Jawa Kuna. Masing-masing terdiri dari: huruf ”ja”, “da”, “pa”, dan “la” dituliskan dalam satu variasi bentuk; sementara hurut “ka” terdiri dari tiga variasi, huruf “ca” ada dua variasi, huruf “Å£a” dituliskan dalam dua variasi, huruf “ta” digoreskan dalam tiga bentuk berbeda, huruf “wa” terdiri dari dua variasi dan huruf “ha” ditulis dalam bentuk empat bentuk.
Selain ditemukannya tulisan dalam batu bata di Candi Bumiayu 1, ternyata diketahui pula adanya hiasan tera yang masing-masing terdiri atas hiasan berbentuk: gores garis, jejak kaki binatang, bunga, daun, cap jari tangan manusia dan hiasan gores lain yang belum dapat diidentifikasikan. Bata dengan hiasa cap jari tangan terkumpul sebanyak 54 buah yang meliputi cap satu jari, dua jari, empat jari, lima jari tangan, serta enam jari tangan. Adapun bata dengan bentuk hiasan garis tercatat sebanyak 46 bata, yang dapat dikelompokkan lagi atas bentuk satu garis berjumlah 32 bata, dua garis sejajar berjumlah tiga bata, dan tiga garis sejajar hanya dijumpai pada dua bata. Bata dengan “hiasan” jejak kaki binatang berjumlah 23, terdiri dari jejak kaki ayam, anjing dan kucing. Selain bentuk hiasan di atas, juga berhasil dikumpulkan bentuk-bentuk hiasan berupa ikan dan daun masing-masing satu bata. Adapun 27 bata bentuk hiasannya belum dapat diidentifikasikan. Hal ini karena bata tersebut pecah, sehingga hiasan-hiasannya menjadi terpotong. Namun demikian ada dugaan bahwa tanda-tanda yang terdapat di atas permukaan keduapuluh tujuh bata tersebut merupakan potongan-potongan dari huruf Jawa Kuna.
Sebagian besar tanda-tanda atau hiasan tersebut ditulis atau digambar di bagian atas salah satu permukaan bata, sedangkan sisanya dipahatkan pada bagian sisi samping bata. Bentuk-bentuk hiasan yang terdapat pada permukaan bata meliputi hiasan gores garis, huruf-huruf yang belum teridentifikasi dan jejak kaki binatang. Sementara itu, bentuk-bentuk hiasan berupa daun, ikan, dan cap jari tangan diletakkan pada bagian sisi samping bata. Bata-bata bertulis yang berhaisl direkam seluruhnya dipahatkan pada bagian permukaan bata.
Setelah dilakukan identifikasi terhadap bata-bata yang ditemukan dalam penggalian Candi Bumiayu 1 dan dilakukan pengkajian terhadap peruses pembuatan “hiasan” pada bata-bata, ternyata menggunakan teknik gores, tera atau cap. Teknik gores digunakan untuk membuat bentuk huruf dan hiasan gores garis, sedangkan teknik tera atau cap digunakan untuk hiasan berupa cap jari tangan, jejak kaki binatang, ikan, daun dan bunga. Di samping bata bertulis dan berhias tersebut, ditemukan juga sebuah fragmen prasasti yang dipahatkan pada permukaan bata terdiri dari tiga baris dan ditulis dalam huruf Jawa Kuna.
Selain di Candi Bumiayu 1 bata atau batu bertanda juga ditemukan di sejumlah tempat. Sampai saat ini diketahui bahwa tanda atau bentuk hiasan yang dipahatkan pada batu atau bata bangunan candi juga ditemukan di Candi Sambisari, Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta; Candi Sewu, Prambanan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah; Situs Biting, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Candi Sirah Kencong di Jawa Timur dan di Situs Muarajambi, Provinsi Jambi. Di Candi Sambisari, tanda berbentuk goresan dengan berbagai variasi ditemukan pada batu isian candi, makna dan tujuan pembuatan tanda tersebut belum dapat diketahui secara pasti (Soediman, 1977: 158). Di Candi Sewu tanda-tanda tersebut dipahatkan pada batu candi yang berasal dari candi induk. Bata bertanda dan bergores juga ditemukan pada Situs Biting yang merupakan sisa bangunan yang diduga berfungsi sebagai benteng. Tanda-tanda tersebut terdiri dari berbagai bentuk yang sebagian besar berupa bentuk-bentuk geometris (Koestoro, 1986: 139). Bentuk lain yang ditemukan pada bata situs Biting adalah motif menyerupai pohon, sulur, burung atau clurit (Koestoro, 1986: 139).
Selain Candi Bumiayu, temuan candi bertulis dan bertanda lainnya terdapat di Situs Muarajambi berasal dari Candi Gumpung, Candi Tinggi dan Candi Kembar Batu. Bata bertulis yang ditemukan pada Candi Gumpung sebanyak 221 yang dapat dibedakan ke dalam 9 macam huruf (Sukardjo, 1984: 118-119). Hiasan-hiasan yang dipahatkan pada bata tersebut berupa hias gores garis dalam berbagai bentuk, di antaranya ialah bentuk garis lurus (vertikal), garis miring, garis mendatar (horisontal), garis silang, garis lengkung, garis berbentuk sudut, garis bergelombang, garis bersulur, garis bulat dan motif gabungan atau lebih dari satu garis dalam bentuk satu motif (Soekardjo, 1984: 119). Pada ketiga candi tersebut ditemukan juga bata dengan jejak kaki binatang, cap tangan dan kaki manusia sebanyak 25 bata. Selain itu, masih di kompleks percandian Muarajambi juga ditemukan bata bergores gambar rumah, senjata, manusia, hewan, padma, dan perpaduan motif padma dengan senjata (Setiani, dkk., 1986: 238-239). Menurut Machi Suhadi (1986: 176-177), selain di ketiga candi tersebut, bata bertanda juga ditemukan di Candi Kedaton terdiri dari 9 tulisan pada bata, di Candi Gedong satu bata dan di Candi Tinggi 4 bata.
Berdasarkan data temuan batu atau bata bertulis dan bertanda di berbagai situs tersebut, sampai saat ini belum dapat diketahui secara pasti arti dan fungsinya. Beberapa pendapat memang mengarah pada dugaan mengenai arti dan fungsinya. Menurut Wibowo (1974), batu bertanda dari Candi Sirah Kencong mempunyai fungsi untuk menunjukkan letak dan arah mata angin dari batu. Batu-batu dengan tanda berupa garis-garis pendek menunjukkan letak lapisan terbawah, sedangkan batu dengan dua garis berarti letaknya pada lapisan kedua dan seterusnya. Berdasarkan hasil penelitiannya, Wibowo sampai pada suatu kesimpulan bahwa berdasarkan bata-bata berhias tulisan maupun goresan tersebut dapat diketahui adanya kelompok kerja pembuat candi, yang terdiri dari:
1. kelompok perencana atau arsitek;
2. kelompok pencari dan mengerjakan batu;
3. kelompok pemahat;
4. kelompok pemasang batu, dan
5. kelompok pembuat pahatan relief atau hiasan-hiasan candi.
Meskipun asal keletakan dari bata-bata bertanda di Candi Bumiayu 1 ini dapat dilacak, yaitu berasal dari dinding bagian barat, timur dan selatan, namun penempatannya secara pasti tidak dapat diketahui. Oleh karena itu cukup sulit untuk mengetahui secara pasti makna ataupun fungsi bata-bata bertanda tersebut dalam kaitannya dengan Candi Bumiayu 1. Meskipun demikian, dari sejumlah bata-bata bertanda tersebut dapat diidentifikasi adanya huruf-huruf Jawa Kuna seluruhnya berjumlah 115 huruf. Seperti telah dipaparkan di atas, huruf-huruf Jawa Kuna tersebut berasal dari 18 huruf yang dituliskan ke dalam beberapa variasi bentuk. Huruf-huruf tersebut jika dilihat berdasarkan paleografinya diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-8 sampai 12 Masehi. Huruf-huruf tersebut kemungkinan merupakan mantra dalam agama Hindu yang digunakan dalam melakukan ritual peribadatan.
Selain itu, ditemukan juga satu pecahan bata yang memuat tiga baris kata yang disusun dengan menggunakan aksara Jawa Kuna dari sekitar abad ke-11-12 Masehi. Berdasarkan hasil pembacaan M.M. Soekarto Karto Atmodjo tulisan tersebut berbunyi: baris 1 yalu........; baris 2. ka kanya si....; dan baris 3. kata dkat ... (kawa dkat...). Karena tulisannya tidak utuh lagi, maka maksud dan maknanya tidak dapat diketahui dengan pasti.
Dari sejumlah bata bertanda terdapat bata-bata dengan motif hias garis berjumlah 46, terdiri dari 32 bata dengan motif satu garis, 8 bata dengan dua garis dan 6 bata dengan tiga garis. Sebagian besar bata-bata tersebut berasal dari dinding bagian barat. Garis-garis yang diterakan di atas salah satu permukaan bata ini kemungkinan dimaksudkan untuk menunjukkan arah peletakan bata pada bangunan candi. Jumlah garis menunjukkan urutan lapisan batanya saat penyusunan.
Di luar motif garis tersebut, terdapat motif-motif lain yang juga digoreskan di atas salah satu permukaan bata berjumlah 27. Goresan-goresan tersebut diduga merupakan huruf-huruf atau simbol-simbol tertentu yang berkaitan dengan ritual keagamaan.
Motif-motif hiasan lain yang terdapat pada bata di Candi Bumiayu 1 adalah jejak-jejak kaki binatang (ayam, kucing dan anjing), daun, bentuk menyerupai ikan dan simbol lainnya. Jejak-jejak binatang diduga tidak berkaitan dengan simbol atau tanda tertentu. Jejak-jejak kaki binatang itu diperkirakan ada karena pada saat proses pengeringan bata di bawah terik matahari dilintasi oleh hewan-hewan tersebut sehingga meninggalkan jejak di atasnya. Dengan adanya jejak-jejak binatang tersebut dapat diketahui bahwa pada masa itu ketiga jenis binatang tersebut sudah menjadi peliharaan penduduk setempat. Sementara itu untuk jejak-jejak lainnya ada kemungkinan disengaja untuk maksud-maksud tertentu. Hal ini berlaku juga untuk cap jari tangan yang seluruhnya berjumlah 53 bata. Dari jumlah tersebut yang paling dominan adalah cap dua jari tangan berjumlah 24, diikuti dengan tiga jari tangan sebanyak 19, empat jari tangan 8, satu jari tangan 2 dan enam jari tangan satu bata. Maksud pemberian cap jari tangan tersebut diduga berkaitan dengan letak penyusunan batanya, sama seperti fungsi dari garis-garis yang digoreskan pada bata. Adapun jumlah jari tangan diperkirakan mengacu pada peletakan bata pada susunan tertentu, misalnya bata dengan cap jari tangan empat ditempatkan pada lapisan keempat.
Berdasarkan uraian di atas dapat diperkirakan bahwa makna dan fungsi bata-bata bertulis dan bertanda yang ditemukan di Situs Candi Bumiayu 1, tidak berbeda jauh dengan bata-bata atau batu bertulis dari berbagai situs yang telah disebutkan di atas, yaitu sebagai tanda untuk menunjukkan keletakan bata pada susunan bangunan Candi Bumiayu 1 atau sebagai mantra yang tentunya berkaitan dengan keagamaan. Di samping itu, sesuai dengan sifat manusia sebagai “Homo Simbolicum”, maka bata-bata bertanda baik tulisan maupun gambar mempunyai simbol tertentu, yaitu sebagai alat komunikasi seperti yang diuraikan oleh Langer (1971: 109). Komunikasi yang terjadi di sini adalah antara perencana atau arsitek dengan pelaksana pembangunan candi.
b. Arca-Arca dari Candi Bumiayu 1
1. Arca Siwa Mahadewa
Arca Siwa ditemukan dalam beberapa bagian terpisah yang kemudian berhasil direkonstruksi. Arca ini ditemukan sudah dalam keadaan retak dan pecah pada bagian kepala atau wajah, sandaran atas hilang, tangan kiri dan kanan belakang pecah, dada sebagian pecah dan lengan bawah kiri patah. Tinggi keseluruhan arca 62 cm, tinggi antara 51 cm, lebar 36 cm, tebal 24 cm dan tebal sandaran 5 cm. Arca digambarkan dalam sikap duduk bersila diatas padmasana. Kedua telapak tangan diatas pangkuan, yang sebagian sudah pecah sehingga tidak diketahui lagi benda yang menjadi laksananya. Arca yang dibuat dari batu putih (limestone) ini mempunyai sandaran berbentuk sisi sejajar, bentuk puncaknya sudah pecah. Sandaran ini polos tanpa hiasan. Sirascakra dipahat polos, berbentuk bulat telur samapai di belakang bahu. Asananya berupa padmasana ganda berbentuk segi empat polos di bagian bawah, sementara lapik bagian atas berhias pola segi enam.
Arca Siwa Mahâdewa dari Candi 1 (abad ke-9 atau 10 Masehi, dok. Puslitarkenas)
Mahkota yang dikenakan berbentuk jatamakuta berhias pola lengkungan dengan untaian manik-manik di dalamnya. Jamang sudah dalam keadaan pecah. Kalung yang dipahatkan di bagian leher arca bersusun 2, berupa untaian manik-manik dan jumbai. Hiasan telinga pecah. Tangannya mengenakan dua gelang lengan berupa untaian manik-manik berhias simbar dengan pola sulur, sedangkan gelang tangan pecah. Gelang kaki berwujud untaian manik-manik. Arca Siwa ini tidak mempunyai ikat pinggang atau uncal yang biasanya menghiasai bagian pinggul arca. Sampur yang dikenakan hanya tampak pada bagian melingkar di paha dan simpul di kanan-kiri pinggul, ujung sampur mengarah ke atas (di atas simpul). Kain yang melekat di badan tipis, panjang sampai mata kaki dan berhias pola bunga. Selain hiasan-hiasan tersebut di belakang telinga arca terdapat untaian manik-manik menjuntai ke bahu. Menilik gaya pemahatan dan ciri-cirinya arca ini lebih mendekati gaya seni pahat pada periode Jawa Timur dan diperkirakan berasal dari abad ke-12 Masehi. Dalam suatu gugusan candi Hindu arca ini menempati bilik atau ruang utama candi induk.
2. Arca Tokoh 1
Arca ini keadaannya relatif utuh, tetapi pada bagian muka atas dan sandaran sebelah kiri sebagain pecah. Arca diwujudkan dalam sikap duduk diatas padmasana ganda berbentuk segi empat dengan ujung membulat. Bentuk permukaan atas asana berhias pola geometris (segi empat dengan bulatan di tengah). Arca terbuat dari batu tufaan (limestone) dan digambarkan mempunyai dua tangan. Sikap kedua tangan berada diatas pangkuan, telapak tangan kiri di bawah telapak tangan kanan dan di atas telapak tangan kanan terdapat bunga padma mekar. Pada bagian sisi sandaran arca agak mengecil ke bawah, puncak membulat, sekeliling tepi berhias lidah api. Sirascakra berbentuk polos, lonjong sampai di belakang bahu.
Mahkota yang dikenakan jatamakuta (mahkota yang terbuat dari pilinan rambut) meninggi, berhias simbar dan pola sulur. Hiasan lainnya ialah jamang berbentuk pita lebar berhias deretan manik-manik dihiasi lima simbar dengan pola sulur. Di samping itu juga terdapat dua kalung berhias pola sulur. Kalung yang kecil kecuali berhias pola sulur juga berhias deretan manik-manik. Hiasan telinga berwujud ratna kundala dengan pola sulur. Gelang tangan berupa pita dengan deretan manik-manik berhias simbar dengan pola sulur. Ikat pinggang yang dikenakan berupa deretan manik-manik yang bagian depannya terdapat semacam gesper berhias pola sulur. Memiliki 2 gelang kaki polos, demikian juga dengan gelang tangan.
Arca ini tidak memakai uncal, sedangkan sampur yang dikenakan berbentuk polos berlipat-lipat, tidak ada simpul. Kain yang dikenakan panjang sampai ke betis dan berhias bunga dengan pola geometris, tepinya berhias deretan bulatan dengan pola sulur. Selain hiasan diatas masih terdapat sumping di belakang telinga. Di bagian belakang kedua bahu terdapat rambut ikal sebagai ciri khas arca-arca bergaya Jawa timur. Di belakang badan terdapat sandaran, selain itu, arca digambarkan memakai rompi bertangan panjang, yang panjangnya sampai ke pinggul. Asananya berbentuk memanjang ke depan sehingga lebih tebal dari badan arca. Hiasan terdapat pada asana berupa pola bunga dan sulur. Arca ini berukuran tinggi keseluruhannya 62 cm, tinggi arca 50 cm, lebar 36 cm dan tebal 4,5 cm. Berdasarkan gaya seninya arca ini berasal dari sekitar abad ke-11-12 Masehi.
3. Arca Tokoh 2
Arca digambarkan berbadan gemuk, terutama di bagian perut Agastya atau Ganesya dari Jawa Timur. Berdasarkan langgamnya arca ini diperkirakan berasal dari kurun antara abad ke-11 dan 12 Masehi. Arca perwujudan ini ditemukan di sebelah timur bangunan Candi Bumiayu 1 dalam keadaan retak pada bagian dada dan sandaran atas. Bahan yang dipergunakan untuk membuat arca ini adalah limestone. Penggambaran arca ini dalam sikap duduk padmasana diatas asana yang berupa lapik polos setengah bulat. Mempunyai tangan dua yang terletak diatas pangkuan, telapak kiri di bawah telapak tangan, yang diatasnya terdapat bunga mekar. Sandaran tepi berjenjang, bagian bawah lebar, kemudian mengecil berbentuk lonjong, polos. Sirascakra digambarkan polos berbentuk bulat telur sampai ke belakang bahu. Pada kedua bahu terdapat rambut ikal menjurai.
Hiasan yang dikenakan terdiri dari mahkota berupa jatamakuta berhias lengkung semacam jala ; jamang berbentuk pita lebar polos dan berhias 3 simbar dan memakai sumping. Kalung yang terdapat arca ini berjumlah dua yang berhias pola sulur tetapi dalam keadaan aus. Hiasan telinga berbentuk bulatan dan ujungnya berhias jumbai. Hiasan lain adalah gelang tangan berupa pita dengan deretan manik-manik berhias simbar dengan pola sulur. Ikat pinggang yang dikenakan berbentuk pita berhias, tetapi aus berlekuk-lekuk. Gelang berupa untaian manik-manik bersusun dua, sedangkan gelang kaki ada dua polos. Arca ini tidak memakai uncal, tetapi memakai sampur yang tidak jelas, karena hanya tampak bagian ujungnya yang menjurai di asana dan bagian yang menempel di paha, berhias geometris tetapi agak aus. Memakai kain yang panjangnya sampai betis dan berhias pola bunga, tetapi sudah aus.
4. Arca Agastya
Dalam mitologi Hindu, Agastya dianggap sebagai pendeta yang menyebarkan agama Hindu di India Selatan, karena besar jasanya dalam menyebarkan agama maka ia dianggap sebagai salah satu aspek dari dewa Siwa mahayogi. Dalam pengarcaannya, Agastya digambarkan berdiri, bertangan dua dan berjanggut panjang. Agastya ini termasuk dalam kelompok dewa pariwara (pendamping) bersama Ganesya dan Durga Mahisasuramardhini. Dalam konstelasi arca pada candi Hindu, arca Agastya diletakkan pada salah satu sisi ruang atau relung candi utama (induk), yaitu pada sisi selatan. Adapun ciri-ciri Agastya dari Bumiayu ini antara lain : membawa kamandalu (kendi), aksamala (tasbih), berperut buncit (gendut) dan trisula dipahatkan menempell pada sandaran arca sebelah kanan.
Arca Agastya dari candi Bumiayu 1, ditemukan secara terpisah dalam dua bagian. Sebagian sandarannya telah patah. keadaan arca relatif utuh, tetapi sebagain kepala pecah, sandaran kiri pecah dan mengalami keretakan pada beberapa bagian. Penggambaran arca yakni dalam posisii berdiri diatas padmasana ganda berbentuk segi empat membulat, bagian atas berhias pola geometris segi enam yang menggambarkan bentuk biji teratai. Asana ini terdiri dari dua bagian, satu bagian menjadi satu dengan tokoh arca, sedangkan bagian lainnya berupa asana yang jika digabungkan membentuk rongga. Arca dipahatkan bertangan dua, tangan kanan berada di depan perut memegang aksamala dan tangan kiri lurus ke bawah memegang kendi (kamandalu). Sandaran arca merupakan bentuk sisi sejajar, polos yang pecah pada bagian puncaknya. Sirascakra tidak ditemukan pada arca Agastya ini. Ukuran arca, tinggi keseluruhan 69 cm, lebar 29 cm, tinggi lapik 14 cm dan tebal sandaran 3,5 cm.
Mahkota dan jamang yang terdpat pada arca pecah sehingga tidak teridentifikasi. Meskipun demikian terlihat adanya sumping si bagian telinganya. Di kedua bahu terdapat rambut ikal menjurai. Hiasan lain yang dikenakan adalah kalung berhias pola bunga dan sulur, sedangkan hiasan telinga membentuk bulatan dengan jumbai. Gelang lengan berupa pita polos, berhias simbar dengan sulur. Ikat pinggang lebar dengan hiasan yang tidak jelas, sedangkan ikat pinggul berhias semacam gesper tetapi sudah aus. Gelang tangan ada dua, polos, sementara gelang kaki, polos. Arca digambarkan memakai uncal yang pada bagian depannya berhias gesper tetapi aus, ujungnya menguntai sampai ke bawah lutut. Mengenakan sampur di paha dengan simpul berbentuk kipas di kiri-kanan badan, ujungnya menjurai berlipat-lipat, ujung simpul pendek hanya sampai lutut. Kain yang dikenakan tipis, berhias pola bunga, panjangnya sampai diatas pergelangan kaki tetapai bagian bawahnya berlekuk, wiron lebih pendek. Ciri fisik menampilkan keistimewaan karena arca ini digambarkan dalam postur perut yang tidak terlalu buncit, bahkan cenderung kecil.
5. Arca Stambha
Arca terdiri dari (bawah ke atas) gajah, ghana (raksasa berbadan kerdil) dan singa. Pola gajah dan singa ini merupakan pola yang populer di Indonesia dan India Timur antara abad 10-12 Masehi. Arca terbuat dari batu andesit, keadaannya sudah retak pada bagian bawah, yaitu singa dan kepala raksasa. Sikap arca ialah gajah dalam posisii mendekam, raksasa naik gajah dengan kedua kainya menjuntai di kiri-kanan badan gajah. Sikap tangan raksasa masing-masing memegang kaki singa. Singa menduduki badan raksasa, kedua kaki depan diangkat ke atas. Pada belalai gajah terdapat setangkai bunga dan daun-daunan dan mempunyai dua gading. Secara keseluruhan arca ini berukuran tinggi 55 cm. Lebar 18 cm dan tebal 17,5 cm. Ada kemungkinan bahwa arca ini menggambarkan karivairi suatu bentuk yang sangat populer di wilayah Orissa sekitar 11-12 Masehi. Dalam sistem percandian yang dikenal di India biasanya terdapat bangunan menara di setiap sudut dekat pagar. Di atas menara-menara inilah biasanya ditempatkan suatu arca (biasanya beruapa binatang singa atau gajah) stambha sebagai hiasan puncaknya. Dengan analogi ini kemungkinan arca stambha ini juga berasal dari suatu menara yang mungkin didirikan di sekitar candii Bumiayu 1 tidak menutup kemungkinan bahwa disinilah lokasi semula arca stambha tersebut.
6. Nandi
Nandi adalah nama vahana (kendaraan) dewa Siwa yang berwujud binatang lembu. Arca yang terbuat dari batu putih (limestone) ini ditemukan di Candi Bumiayu 1. Bentuk keseluruhan dan detail hiasnya masih utuh. Posisi arca mendekam dengan kedua kaki berlipat di atas lapik berbentuk segi empat. Hiasannya berupa kalung dengan bandul genta-genta kecil. Selain itu memakai hiasan kepala, yaitu diantara kedua matanya berbentuk simbar dengan motif pola sulur. Pada bagian moncongnya terdapat untaian manik-manik, mempunyai fungsi sebagai pengikatnya. Arca ini berukuran panjang 85 cm dan tinggi 35 cm sedangkan ukuran lapik arca pangnya 70 cm, lebar 37 cm dan tebal 4,5 cm.
5.2 Candi Bumiayu 2
Bangunan candi Bumiayu memiliki denah dasar bujur sangkar, ukuran 9, 52 meter x 9,91 meter, tiga penampil di depan dengan ukuran 0,52 meter, penampil kedua 2,70 meter dan penampil ketiga 1,93 meter. Hiasan pelipit pada sisi kiri-kanan candi berbentuk seperti padma. Di muka tangga candi terdapat empat perwara, diantara empat perwara , 1 perwara masih utuh sedangkan tiga lainnya sebagian batanya sudah lepas. Ukuran panjang, lebar dan tinggi masing-masing perwara : 1) 67 cm x 76 cm x 35, 2) 70 cm x 80 cm x 94 cm , 3) 68 x 68 x 22 cm. Penampil yang tidak terlalu menonjol terdapat di sisi utara (menjorok 40 cm), selatan (menjorok 44 cm) dan barat (menjorok 30 cm) dengan ukuran lebar 4,90 meter. Bangunan penampil tempat tangga naik terletak di sebelah timur menjorok 3,22 meter dari denah sisi timur. Pada Candi Bumiayu 2 tangga naik terletak pada bangunan penampil timur di sisi utara dan selatan dengan ukuran lebar sekitar 1 meter. Di sisi timur bangunan penampil tidak terdapat tangga naik. Di bagian atas reruntuhan Candi Bumiayu 2 ditemukan 2 arca logam :
- Arca Dhyani Buddha
Arca Dhyani Buddha terbuat dari bahan perunggu, posisi arca duduk bersila dengan kedua kakinya dilipat, tangan kiri berada diatas kedua kaki dalam sikap semadi, lengan tangan kanan patah. Ringgi arca seluruhnya 5 cm dan lebar 2, 7 cm.
- Arca Awalokiteswara
Arca Awalokiteswara terbuat dari bahan perunggu. pada bagian muka terlihat aus, begitu juga pada bagian tangan dan kaki tampak lepuhan logam berwarna hijau pada permukaannya. Arca memakai jatamakuta dengan hiasan arca amitabha diatas kepalanya, mengenakan kalung berupa untaian manik-manik, upavita berupa tali polos yang diselempangkan pada bahu kiri ke ujung pinggang kanan, berkain panjang dengan wiru di bagian tengah. Tangan kiri menekuk, jari-jari tangan mengenggam, telapak tangan menghadap muka. Tangan kanan patah sampai ke lengan. Arca dalam posisi berdiri tribangga, pada kaki terdapat tonggak kecil berfungsi untuk menegakkan arca pada suatu tempat. Tinggi arca 10 cm dan lebar 3 cm.
5.3 Candi Bumiayu 3
Candi Bumiayu 3 berdenah segi empat belas. Denah tersebut pada dasarnya dibentuk dari denah bujur sangkar yang sisi-sisinya diberi penampil. Denah bujur sangkar berukuran 13,88 meter, sedangkan masing-masing penampilnya berukuran sama, yaitu 6,78 meter x 1,80 meter. Fondasi kaki bangunan induk terdapat 4 struktur dinding bata yang selanjutnya dari luar ke dalam secara berurutan masing-masing disenut dinding I, II, III, IV. Denah dinding I dan II bujur sangkar, sedangkan dinding III dan IV segi delapan tidak sama sisi. Bidang batas antara kaki dan tubuh bangunan tidak diketahui secara jelas karena bata kulit luar bangunan telah terlepas. Meskipun demikian dapat diduga bahwa empat lapis dinding tersebut masing-masing dibangun untuk mewujudkan bangunan berdenah bujur sangkar dan segi delapan. Dinding I dan II yang terletak di bagaian luar diperkirakan merupakan struktur bangunan bagian bawah, mungkin kaki bangunan, sedangkan dinding III dan IV merupakan struktur bangunan diatasnya, mungkin badan bangunan.
Struktur badan bangunan merupakan segi delapan yang terletak di bagian dalam dari denah bangunan yang diduga kuat dibuat untuk membentuk ruang dalam bangunan yang berdenah segi delapan pula. Dalam suatu bangunan kuil, ruang tersebut biasa disebut garbhagrha. Ruang tersebut terletak di dalam badan candi. Struktur atap tidak dapat diketahui lagi, kecuali adanya hiasan-hiasan yang terdapat pada struktur tersebut. Hiasan-hiasan yang dimaksudkan adalah simbar (antefiks) dan menara-menara hias yang berbentuk seperti genta serta hiasan kemuncak yang ditemukan diantara runtuhan bangunan. Pintu masuk bangunan tidak diketahui lagi, akan tetapi sisa struktur tangga pintu masuk ada sehingga diketahui arah hadap candi tersebut adalah timur laut, tepatnya U 1060 Candi Bumiayu 3 merupakan compound dari sekurang-kurangnya empat bangunan yaitu satu bangunan induk dan tiga bangunan penunjang.
a. Arca-Arca dari Candi Bumiayu 3
1. Fragmen Badan Dewi Bhairawi
Fragmen badan arca Dewi Bhairawi yang ditemukan di halaman Candi Bumiayu 3 tinggal sebatas ujung leher sampai pertengahan perut. Ukuran tinggi 44 cm, lebar 48,5 cm, tebal 42 cm. Arca tersebut digambarkan mengenakan upavita berupa hiasan enam kepala tengkorak yang diuntai dari bahu kiri sampai ke pertengahan perut. Kedua buah dadanya menonjol. Tangan kanannya patah, sedangkan tangan kirinya dilipat ke bahu kiri dengan jari-jari tangan terbuka, telapak tangan menghadap ke depan, hanya jari jempol yang masih utuh, keempat jari lainnya telah patah. Kelat bahu pada tangan kiri dihias dengan kepala tengkorak dihias dengan dengan untaian biji mutiara. Di bagian belakang badan arca terdapat sambungan upavita dengan hiasan empat kepala tengkorak.
Fragmen arca Camundi dari Candi 3 (abad ke-13 Masehi, dok. Puslitarkenas)
2. Arca Singa
Tinggi keseluruhan 77 cm, tinggi arca : 68,5 cm, lebar 50 cm. Arca digambarkan dalam sikap duduk diatas lapik berbentuk empat persegi panjang. Kaki kanan depan tegak, sedangkan kaki kiri depan diangkat keatas sambil mencengkram seekor ular. Wajah mendongak keatas, mata melotot, mulut terbuka sehingga lidah dan giginya tampak. Surai diatas punggung distilasikan. Di bawah badan dipahat kura-kura dalam sikap kepala terjulur dari tempurung.
3. Arca Pendeta
Arca digambarkan berada dalam mulut makara. Rambut diikat ketas, berjenggot panjang, mata memandang ke bawah. Kedua tangannya bertumpu diatas kaki, dengan tangan kanan diatas dengan 4 jari tegak, ibu jari berdiri sedangkan tangan dalam posisi di bawah, tangan kanan dengan jari-jari terbuka telapak tangan mengarah keatas. Badannya mengenakan upavita berbentuk tali polos yang diselempangkan dari bahu kiri ke pingul kanan.
4. Kepala Arca Siwa Bhairawa
Ukuran tinggi 23 cm, lebar 14,5 cm dan tebal 18 cm. Alis, hidung dan mulut arca sudah aus. Matanya melotot, memiliki bulu mata, mengenakan jatamakuta yaitu rambaur ikal disusun ke ujung dahi. Telinga panjang dengan hiasan subang berbentuk bulat hati. Rambut ikal disusun ke ujung dahi. Telinga panjang dengan subang berbentuk bulat hati.
5. Arca Makhluk Ghana
Ukuran tinggi arca 51 cm, lebar 45 cm, dan tebal 13,5 cm. Digambarkan di pipi tangga candi, dalam posisi berdiri dengan kedua tangan terangkat keatas dan kaki mengangkang. Jari-jari terbuka dan telapak tangan menghadap keatas , mata melotot memiliki alis, hidung besar. Nampak mulutnya terbuka dengan dereta gigi runcing menutup rahang bawah. Rambut lurus disisir ke belakang kepala, memiliki telinga lebar, subang berbentuk cincin, berjenggot dan mahkota berupa tengkorak yang diuntai dengan sulur-suluran. Hiasan kalung berupa tengkorak, mengenakan dua gelang di tiap tangan, yang berbentuk tali polos. Perut buncit dan buah dadanya menonjol.
6. Topeng-Topeng Tanah Liat
Ditemukan 5 topeng dari candi Bumiayu 3 (2 topeng sama bentuknya). dinamakan topeng A, B, C, D. dan E. Digambarkan ada yang menyeramkan dengan mata melotot, bertaring dan bertanduk serta memakai hiasan candrakapala, ada juga dalam bentuk melongo.
7. Arca-arca binatang yang tinggal kepalanya saja yaitu buaya, anjing dan ular.
5.4 Reruntuhan Bumiayu 4
Ekskavasi yang dilakukan sejak pada tahun 1992 di runtuhan bangunan Candi Bumiayu 4 berhasil menampakkan struktur yang ditemukan masih terus berlanjut ke arah utara dan ke arah timur. Pada bagian tengah struktur tersebut tidak menunjukkan struktur yang masif, malainkan diisi dengan tanah. Hal ini membuktikan bahwa struktur ini diduga merupakan struktur bangunan yang semi permanen seperti bangunan rumah tinggal (bangunan profan di suatu perkampungan.
5.5 Runtuhan Bangunan Bumiayu 5
Ditemukan runtuhan bangunan yang berjarak sekitar 60 meter ke arah barat laut dari Candi Bumiayu 1. Pada waktu ditemukan runtuhan bangunan Bumiayu 5 masih berupa gundukan tanah seluas 100 meter persegi yang ditumbuhi oleh ilalang. Beberapa pecahan bata tampak berserakan di permukaan tanah. Di bagian timur tampak struktur bata yang menyerupai lantai bangunan. Jika dibandingkan dengan struktur bata pada Candi Bumiayu 1 dan 3, struktur bata Candi Bumiayu 5 dibuat asal aja, seperti halnya kalau menumpuk bata untuk bagian lantai bangunan rumah tinggal semi permanen.
5.6 Runtuhan Bangunan Bumiayu 6
Merupakan gundukan tanah yang tingginya sekitar 0,5 meter dengan diameter 90 meter persegi, diduga didalamnya adalah runtuhan bangunan yang masih berhubungan dengan kompleks percandian Bumiayu. Terletak di sebelah utara Candi Bumiayu 1 berjarak sekitar 20 meter.
5.7 Runtuhan Bangunan Bumiayu 7
Berada di sebelah timur laut dari candi Bumiayu 1, berbentuk empat persegi panjang. Di tengah runtuhan bangunan ditemukan lubang berdiameter 1 meter yang didalamnya ditemukan arang dan tulang (binatang ?), untuk mengetahui apakah juga memiliki bangunan pendampingnya, maka pada tahun 2004 dilakukan test spit di sebelah tenggara candi Bumiayu 1 (mengambil jarak yang sama antara candi Bumiayu 1 dengan runtuhan bangunan Bumiayu 7) namun tidak berhasil menemukan struktur bata di sebelah tenggara candi Bumiayu 1.
5.8 Runtuhan Bangunan Bumiayu 8
Runtuhan bangunan Bumiayu 8 bentuk denahnya sangat berbeda dengan bangunan candi lain yang ada di kompleks percandian Bumiayu. Pada candi lain mempunyai tangga naik yang umumnya ditemukan disisi timur, namun pada bangunan Bumiayu 8 indikator tangga naik tidak ditemukan. Bentuk denahnya empat persegi panjang tanpa penampil dengan ukuran 6 x 15 meter. Di bagian atas dua lapis bata yang terakhir, terdapat sebuah profil bingkai mistar dan pada lapisan yang keempat, hampir seluruhnya diisi relief bunga-bungaan. Diatas relief tersebut terdapat tiga susun bata bata yang berbentuk bingkai polos selanjutnya diteruskan dengan bingkai sisi genta. Di bagian atas bingkai sisi genta itu diteruskan dengan bingkai mistar masuk ke dalam selanjutnya berkembang menjadi lantai bagian atas. Dilihat dari bentuknya yang sangat sederhana tersebut timbul suatu kesan bahwa bangunan mandapa atau bangunan profan.
Secara keseluruhan hiasan bangunan candi 8 terdiri dari relief bunga dalam bentuk ceplok bunga dan sulur-suluran. Hiasan-hiasan tersebut ditemukan pada bingkai datar 4 lapis di atas fondasi. Secara sepintas memberi kesan bahwa hiasan tersebut merupakan suatu kesatuan. Namun demikian apabila diperhatikan ternyata hiasan-hiasan itu merupakan penggabungan dari sejumlah panil yang dilaukan secara acak sehingga tidak simetris. Atas dasar bukti tersebut diatas akhirnya dapat disimpulkan bahwa runtuhan bangunan Bumiayu 8 yang tampak sekarang merupakan bangunan yang telah mengalami perubahan secara total dan bahkan cenderung sangat jauh menyimpang dari desain awalnya. Beberapa panil hiasan bahkan dipasang dalam posisi terbalik dengan bidang hiasan di bagian belakang atau samping, sedangkan bidang polosnya justru diletakkan di bagian depan. Banyak pula dari hiasan-hiasan itu dipasang di bagian samping.
5.9 Runtuhan Bangunan Bumiayu 9
Candi Bumiayu 9 berada di lokasi berjarak 90 meter di sebelah timur-laut Candi Bumiayu2. Lingkungan merupakan kebun yang ditanami pohon jeruk, rambutan dan kopi serta karet. Saat ditemukan nampak beberapa pecahan bata di permukaannya. Lima meter ke arah selatan terdapat bekas penggalian liar. Selanjutnya dilakukan penggalian oleh tim Puslit dan berhasil menemukan fondasi ukuran 158 x 158 cm. Di bagian timur dari struktur tersebut diatas permukaanya terlihat runtuhan bata sementara di bagian barat nampak sangat sedikit pecahan-pecahan yang ditemukan. Orientasi fondasi adalah utara dengan kemiringan 3550
5.10 Runtuhan Bangunan Bumiayu 10
Lokasi berada di sebelah timur Sungai Tebat Jambu, anak Sungai Lematang. Permukaan tanahnya banyak ditumbuhi semak belukar, di sekitarnya terdapat pohon duku, durian, kelapa dan mangga. Terdapat jalan setapak di sisi timur gundukan tanah, yang membujur dari utara ke selatan. Berdasarkan penggalian 14 kotak diketahui gundukan tanah berisi runtuhan bata yang runtuh dari arah timur ke barat. Dari permukaan tanah samapi spit (2) dijumpai sebaran bata tidak beraturan atau tumpang tindih hampir menyeluruh kotak galian dan struktur bata ditemukan pada kotak 10 dan 1 (4 lapis bata), 13 (3 lapis bata), 11 (3 lapis bata) dan 12 (5 lapis bata), membujur dari utara ke selatan kurang lebih 3 meter menyilang dari timur ke barat 4,2 meter. Pada kotak 1 dekat sisi tenggara ditemukan struktur bata yang rusak akibat penggalian liar. Pada kotak 1 dekat sisi tenggara ditemukan struktur bata yang rusak akibat penggalian liar. Begitupula berdasarkan hasil penggalian di sisi tenggara gundukan tanah 10, diindikasikan adanya runtuhan bangunan bata. Fondasi yang ditemukan pada gundukan tanah 10 diduga adalah bangunan pendukung kompleks percandian Bumiayu, yaitu bangunan profan dari masyarakat jaman dahulu.
6. Analisis
6.1 Bangunan
a.Denah Bangunan
Setelah diadakan penggalian dan penelitian, pada dasarnya bangunan candi Bumiayu 1, 2 3 memiliki denah dasar bujur sangkar yang selanjutnya mengalami penambahan penampil pada sisi-sinya. Bangunan candi Bumiayu 1 didirikan 2 tahap: tahap awal terletak di bagian dalam bangunan yang kedua, bentuk denahnya berukuran : 5,2 meter X 5,5 meter dengan tinggi yang tersisa 1, 6 meter pada sisi barat, pada tahap kedua denah dasarnya berukuran 10,4 x 11 meter, pada sisi utara, barat dan selatan terdapat penampil dengan bentuk dan ukuran yang sama 1,9 meter x 4,4 meter. Bangunan candi Bumiayu 2 berdenah 9,52 cm x 9, 91 meter, penampil yang tidak terlalu menonjol terdapat di sisi utara menjorok 40 cm, selatan menjorok 44 cm, barat 30 cm dengan ukuran lebar 4, 90 meter (Utomo 2004 : 4-5). Ukuran denah bangunan candi Bumiayu 3 adalah 13,85 x 13,94 meter, berdenah segi empat belas. Pada dasarnya bangunan candi Bumiayu 3 berdenah bujur sangkar diberi penampil pada sisi-sisinya yang berukuran sama yaitu 6,78 meter x 1, 80 meter. Dengan demikian ukuran denah keseluruhan 18,90 meter x 18, 90 meter (Marhaeni 2000 : 4). Denah runtuhan bangunan candi Bumiayu 8 empat persegi panjang ukuran 6 meter x 15 meter.
b.Kaki Bangunan
Kaki bangunan candi Bumiayu 1 dibangun langsung diatas tanah dengan menggunakan bata, mememiliki 11 lapis bata, lapis ke-12 dibuat sedikit masuk ke dalam dan merupakan pelipit tegak, lapis ke-13 dan ke-14 dibentuk menjadi pelipit padma, di bagian atasnya (lapis ke-15 -17) dibentuk menjadi pelipit gala yang langsung berhubungan dengan pelipit kumuda pada lapis ke-18 dan ke-19. Pada bangunan tahap kedua penampil tidak mempunyai udak-undakan sehingga tidak dapat dikatakan penampil tangga naik. Penampil tangga naik terletak di sisi timur ukuran lebar berjenjang 7, 6 meter, 4, 8 meter dan 2,6 meter. Bangunan candi Bumiayu 2 memiliki tangga naik di sisi timur menjorok 3,22 meter dari denah sisi timur. Berbeda dengan umumnya bangunan candi dimana tangga naik terletak satu arah, namun pada candi Bumiayu 2 terletak pada bangunan penampil timur di sisi utara dan selatan tangga naik.
Kaki bangunan candi Bumiayu 3 berbentuk bujur sangkar berukuran panjang dan lebarnya 13,88 meter x 13, 88 meter, terdapat penampil di sebelah utara ukuran 1,8 x 6, 8 meter, timur : 1,8 x 8,45 meter, selatan 1,8 x 6,8 meter dan barat 1,8 x 6,8 meter. Penampil pada sisi timur dengan tangga naik yang semakin ke timur menjadi mengecil dengan ukuran 1, 5 x 4, 6 meter (Utomo 2004 : 6). Runtuhan bangunan Bumiayu 8 tidak memiliki tangga naik. Fondasi bangunan berupa lapisan bata yang dihias pelipit rata dan padma. Diatas fondasi terdapat panil-panil berisi relief ceplok bunga dan sulur-suluran. Penggambaran hiasan dalam panil ada yang terbalik, sehingga diduga bata-bata yang digunakan untuk mendirikan bangunan ini diambil dari tempat lain, bata-bata tersebut tidak berfungsi lagi. (Utomo 2004 : 8)
c. Badan Bangunan
Badan candi Bumiayu 1 berbentuk empat persegi panjang ukuran 10,21 x 10,47 meter. Bagian badan candi ini tinggal menyisakan beberapa lapis bata saja, sehingga tidak dapat direkonstruksi dengan baik. Ditemukan penampil-penampil di beberapa sisi, yang diduga dibangun pada tahap kedua. Profil penampil terdiri dari kombinasi antara bidang datar, pelipit setengah lingkaran dan pelipit sisi genta. Terdapat pilaster pada sisi barat dan selatan, pilaster-pilaster tersebut disusun tidak menyatu dengan struktur bangunan. Yang menarik adanya pilaster-pilaster sudut di timur laut, tenggara dan barat daya : tempat ditemukannya arca singa dalam posisi berdiri. Badan bangunan candi Bumiayu 3 berdenah segi delapan dengan sisi-sisinya berukuran (dari utara searah jarum jam) : 4, 6 meter, 4,2 meter, 4,3 meter, 4,6 meter, 4,0 meter, 4,6 meter dan 4,0 meter. Tinggi badan bangunan yang masih tersisa setebal 24 lapis bata yang ukurannya sekitar 1,20 meter.
d. Atap Bangunan
Atap bangunan candi Bumiayu 1, 2 dan 3 sudah roboh namun dari hasil penggalian masih menemukan komponen-komponen dari atap bangunan candi Bumiayu 1 dan 3 seperti antefiks, menara hias, kemuncak dan kepala kala.
6.2 Arca
a. Bahan Arca
Arca-arca dari candi Bumiayu 1 terbuat dari bahan batu putih (tufa) seperti arca Siwa Mahadewa, arca Agastya, arca tokoh 1 dan 2, dan arca yang terbuat dari bahan tanah liat adalah arca-arca singa (penjaga candi), 1 arca terbuat dari bahan granit adalah arca stambha : arca singa-ghana-gajah. Arca-arca dari candi Bumiayu 3 terbuat dari tanah liat adalah arca Durga Mahisasuramardini dan arca-arca singa penjaga, dan relief-relief yang digambarkan, di panil candi yang menggambarkan binatang seperti anjing, buaya dan ular terbuat dari bahan tanah liat. Pada candi Bumiayu 3 juga ditemukan 5 topeng terbuat dari tanah liat. Sedangkan pada candi Bumiayu 2 ditemukan arca terbuat dari bahan logam yaitu arca Buddhis dan arca Awalokiteswara.
b. Sikap Arca
Sikap arca pada candi Bumiayu 1 adalah santa (tenang) seperti arca Siwa Mahadewa, arca Agastya, arca tokoh 1 dan 2, arca Nandi dan arca singa-singa penjaga candi. Arca Siwa Mahadewa, arca tokoh 1 dan 2 digambarkan dalam posisi duduk, Nandi dalam sikap mendekam, digambarkan berdiri adalah arca Agastya yang memegang kamandalu (kendi) dan stambha yaitu gajah mendukung mahluk mahkluk ghana yang menggendong singa diatasnya. Sedangkan arca-arca dari candi Bumiayu 3, digambarkan dalam sikap ugra (seram) adalah arca Durga Mahisasuramardini, hal tersebut digambarkan juga pada topeng-topeng tanah liat yang ditemukan pada candi Bumiayu 3.
c. Hiasan Arca
Arca-arca dari candi Bumiayu dihias lebih raya memakai mahkota, sumping, kalung, kelat bahu, upavita, gelang tangan. Mahkota arca Siwa adalah jatamakuta lonjong, arca Agastya mengenakan sanggul, sedangkan arca Arca tokoh 1 dan 2 mengenakan topi yaitu kiritamakuta berbentuk lonjong. Arca Siwa mengenakan sumping berbentuk bulat hati, sedangkan kepala kala mamakai sumping berbentuk bunga. Arca-arca dari candi Bumiayu 1 seperti Arca Siwa Mahadewa, Agastya, tokoh 1 dan 2 rambutnya ikal dipilin sebatas bahu. Arca Agastya dari candi Bumiayu 1 mengenakan upavita : selempang kain polos. Dari candi Bumiayu 3 digambarkan arca pendeta dan makhluk ghana memakai upavita tali polos. Kelat bahu dan upavita arca Durga dari candi Bumiayu 3 dihias dengan tengkorak. Makhluk ghana yang menghiasi pipi tangga candi Bumiayu 3 mengenakan kalung tengkorak.
d. Teknologi
Arca-arca pada candi Bumiayu 1 penggarapan permukaannya lebih halus karena bahan yang digunakan berpartikel halus dan suhu pembakaran cukup. Sedangkan arca-arca dari candi Bumiayu 3 penggarapan permukaannya lebih kasar, hal ini disebabkan bahan yang dipergunakan berpartikel kasar dan suhu pembakarannya kurang memadai. Proses pembuatannya sebelum bahan dibakar. Pemberian hiasan arca-arca candi Bumiayu 1 dan 3, dilakukan dengan teknik tekan, gores, congkel dan tempel. Proses pembuatan dikerjakan sebelum bahan dibakar. Pada saat bahan masih lunak dilakukan pembentukan dengan teknik tekan sehingga membentuk lekukan-lekukan postur tubuh. Teknik gores dikerjakan untuk membentuk mata, telinga, hidung, mulut dan rambut dan anggota-anggota badan lainnya, yaitu goresan-goresan yang melengkung dan vertikal, khususnya pada rambut dan jenggot. Permukaan arca digores dangkal. Lubang-lubang kecil untuk menggambarkan mata, telinga, hidung pada beberapa arca dikerjakan dengan teknik congkel permukaan sehingga membentuk lubang. Teknik tempel dan gores juga dilakukan untuk menggambarkan surai pada arca singa.
Kompleks percandian Bumiayu merupakan sarana peribadatan bagi umat Hindu, khususnya pada Candi Bumiayu 1, 2 dan 3 dilaksanakan upacara-upacara keagamaan sedangkan bangunan lainnya (runtuhan bangunan Bumiayu 4,5,6,7,8,9,10) merupakan bangunan pendukung dalam kompleks percandian Bumiayu. Candi Bumiayu 1 diperkirakan yang pertama dibangun di situs Bumiayu, hal ini terlihat dari denah yang berbentuk bujur sangkar, memiliki hiasan pelipit kumuda, mistar dan padma. Profil semacam ini lazim ditemukan pada candi-candi tua di Jawa tengah abad k- 9 sampai 10 Masehi. Penggambaran arca-arca memperkuat dugaan tersebut yaitu arca-arca yang terbuat dari batu tufa (putih): arca Siwa Madewa, Agastya, arca tokoh 1 dan 2 dengan postur badan agak kebulat-bulatan. Hiasan rambut ikal yang dipilin terjuntai ke atas bahu mirip dengan arca-arca dari candi Prambanan dan candi Plaosan Lor dari Jawa Tengah. Begitupula penggambaran Nandi dari candi Bumiayu 1, matanya digambarkan tenang dengan hiasan badan sederhana mirip arca singa dari candi Prambanan. Oleh karena itu diperkirakan candi Bumiayu 1 dibangun sekitar abad ke-9 Masehi. Candi Bumiayu mengalami 2 tahap pembangunan, tahap 1: pembangunan badan candi induk, penampil, perwara, komponen-komponen bangunannya seperti kemuncak, relief kakaktua, pembuatan arca-arca dari batu putih (tufa) yang gaya seninya mendapat pengaruh gaya seni Jawa Tengah dan tahap kedua pembangunan antarala dengan relief arca singa membawa kereta dan pembuatan arca-arca singa di sudut-sudut Candi Bumiayu 1.
Penggambaran roda kereta ditemukan juga pada candi Hindu Tantris, disebut Surya Temple di Orissa, India Utara yang didirikan abad 13 sampai 14 Masehi. Seluruh bangunan dianggap padanan kereta dewa. Di muka pintu candi dipahat arca-arca kuda yang menarik roda kereta Surya. Mungkinkah roda kereta di Candi Bumiayu 1 adalah kereta Mahakali? Di tepi Sungai Lematang, Muaraenim, ditemukan lempengan emas yang diatas terdapat paleografi berasal dari abad ke-10 sampai 12 Masehi, yang ditulis 2 sisi. Isinya antara lain bajra ri pritiwi, mungkin berkaitan dengan mantra-mantra untuk dewi pritiwi (dewi bumi).
Berdasarkan temuan-temuan diatas diperkirakan dahulu di Candi Bumiayu 1 telah berlangsung kegiatan keagamaan Hindu yang dilaksanakan oleh sekelompok masyarakat yang selanjutnya agama Hindu tersebut mendapat pengaruh aliran Tantris. Kalau kita hubungkan dengan keberadaaan Kerajaan yang ada di Sumatra, yang mana pada masa itu berdiri Kerajaan Sriwijaya, beribukota di Palembang, diperkirakan pada waktu itu telah terjalin toleransi agama antara penganut Buddha yang mayoritas penduduknya tinggal di pusat kerajaan dan penganut Buddha yang mayoritas penduduknya tinggal di pedalaman. Hal yang menarik diatas runtuhan bangunan Candi Bumiayu 2 ditemukan dua arca logam perunggu yaitu arca Buddhis dan arca Awalokiteswara, gaya seni arca berasal dari abad 9 sampai 10 Masehi. Kedua arca tersebut diperkirakan bukan buatan setempat. Kemungkinan setelah umat Hindu menyingkir dari Bumiayu, umat Buddha menggunakan Candi Bumiayu 2 sebagai sarana ibadahnya dengan menempatkan kedua arca yang dipuja di atas runtuhan bangunan Candi Bumiayu 1.
Tantra mengandung pengertian naskah tentang upacara keagamaan yang berhubungan dengan pengundangan deva-deva serta pencapaian tingkat siddhi melalui mantra, mudra dan mandala. Aliran yang mengajarkan Tantra disebut Tantrayana atau Mantrayana, Vajrayana dan Mantranaya. Tantrayana termasuk dalam aliran Buddha Mahayana yang mempunyai konsep bahwa seorang penganut dalam mencapai moksa (kelepasan) dengan menggunakan sihir, bersemadi (yoga) dan mengucapkan mantra-mantra. Upacara yang terpenting dalam aliran itu adalah upacara Bhairawa yang dilakukan diatas ksetra, yaitu halaman kuburan, tempat jenazah-jenazah dikumpulkan sebelum dibakar. Tempat itu menjadi menarik bagi hantu, setan, burung hantu dan makhluk-makhluk lain yang menambah suasana mengerikan. Di tempat itu para penganut melakukan upacara-upacara rahasia, seperti bersemadi. Menari-nari, mengucapkan mantra-mantra, membakar jenazah, minum darah, tertawa-tawa dan mengeluarkan bunyi seperti banteng.
Salah satu data sumber tertulis yang berisi tentang ajaran Tantrayana adalah Sang Hyang Kamahayanikan menyebutkan bahwa ajaran Tantrayana pada mulanya hanya disampaikan melalui lisan dari seorang guru kepada murid-muridnya, karena bersifat rahasia dan seorang murid diwajibkan secara tepat dan teliti. Oleh karena itu seorang guru harus mampu mempersiapakan dan menuntun muridnya secara benar. Tanpa bimbingan seorang guru, seorang murid akan memperoleh kesengsaraan, kegilaan, kematian bahkan masuk neraka, bukannya mencapai kebudhaan. Upacara terpenting yang harus dilakukan seorang murid adalah Pancatatwa: mada : minum anggur, matsya : makan ikan, mamsa : makan daging, madu : makan madu dan maituna : bersetubuh sebebas-bebasnya. Aliran Tantra muncul pertama kali pada prasasti Sriwijaya yaitu prasasti Talang Tuwo (684 M). Kemudian raja Krtanegara dari Kerajaan Singhasari tahun 1268. Raja terakhir dari Singhasari ini menganut aliran Tantra dalam rangka mensejahterakan rakyatnya, melakukan pembrantasan setan-setan yang merajalela di dunia guna penyempurnaan ajaran ini, pesta pora diselenggarakannya dengan minum-minuman keras dan perbuatan-perbuatan seksual (Hall : 1968, 65). Raja Krtanegara juga melakukan Ekspedisi Pamalayu tahun 1275 ke Sumatera. Ia berhasil menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Melayu, untuk mempererat hubungan persahabatan raja Singhasari mengirimkan hadiah arca Buddha Amoghapasha beserta 14 pengiringnya ke Malayu pada tahun 1286 M.
Situs Bumiayu diperkirakan mendapat pengaruh agama dan budaya yang dibawa raja Krtanegara dari Singhasari, ketika ia melaksanakan Ekspedisi Pamalayu ke Sumatera. Topeng-topeng tanah liat dari candi Bumiayu 3 merupakan gambaran sikap wajah penganut Tantrayana dalam melaksanakan upacara Bhairawa seperti mengucapkan mantra-mantra, tertawa-tawa dan mengeluarkan bunyi seperti banteng. Arca-arca dari Candi Bumiayu 3 sebagian besar digambarkan menakutkan seperti mata melotot dengan hiasan tengkorak, merupakan ciri gambaran arca-arca yang dipuja pada penganut aliran Tantrayana. Hal ini diperkuat dengan adanya temuan fragmen kepala dewa Bhairawa dan fragmen tubuh Bhairawi. Oleh karena itu diperkirakan dahulu pendiri kompleks percandian Bumiayu menganut agama Hindu Tantrayana.
Pendukung situs Bumiayu bermukim di dekat kompleks percandian Bumiayu, hal ini berdasarkan penelitian terakhir di sebelah utara Candi Bumiayu 3 (berjarak 75 meter) ditemukan sisa-sisa pemukiman penduduk masa lalu. Indikasi adanya aktivitas permukiman adalah temuan keramik kuno di sekitar Danau Candi. Danau Candi memiliki luas kurang lebih 2 hektar, sekarang dalam kondisi kering, dahulu diperkirakan berisi air yang dimanfaatkan penduduk untuk kebutuhan sehari-hari dan upacara keagamaan. Bentuk-bentuk keramik berupa piring, mangkuk, periuk, kendi buli-buli dan tempayan. Di tepi Sungai Lematang, sebelah timur Candi Bumiayu 1 juga ditemukan sisa-sisa pemukiman penduduk biasa yang berasal dari abad 9 Masehi. Dengan adanya temuan sisa-sisa pemukiman ini diketahui bahwa pendiri kompleks percandian Bumiayu tidak terlalu ketat menerapkan konsep agama dalam pendirian bangunan suci permukiman masyarakat harus berada di sebelah selatan dari bangunan suci. Sedangkan di situs Bumiayu, sisa-sisa permukiman penduduk ditemukan berdekatan dengan sumber air yaitu di sebelah timur bangunan suci (Candi Bumiayu 1) dan sebelah utara (Candi Bumiayu 3). Hal ini disebabkan masyarakat telah memiliki kearifan untuk mempertahankan hidup dengan lebih memilih tinggal/bermukim di dekat sumber mata air.
7. Kesimpulan
Keberadaan komplek candi Bumiayu tidak terlepas dari berkembangnya pengaruh Hindu di kawasana Sumatra, terutama pada masa kerajaan Sriwijaya. Setiap bangunan tentunya memiliki fungsi dan tujuan dalam pembangunannya, terlebih bangunan candi dibangun sebagai tempat keagamaan Hindu-Budha. Keberadaan reruntuhan bangunan Candi Bumiayu merupakan bangunan yang dibuat oleh penduduk yang bertujuan sebagai tempat beribadah umat Hindu.
Keberadaan arca-arca dibuat ditujukan kepada dewa-dewa yang dipuja oleh penganutnya. Umumnya arca candi Bumiayu 1 digambarkan dalam raut santa (lembut), berbeda dengan candi Bumiayu 3 yang digambarkan dalam raut krodha (menyeramkan). Perbedaan penggambaran arca ini menunjukan terjadinya sebuah perubahan dalam agama yang dianut, arca-arca dalam bentuk emngerikan menunjukan bahwa pada mulanya agama yang dianut adalah agama Hindu murni dan pada masa selanjutnya mendapat pengaruh dari aliran Tantrayana, dimana dewa-dewa yang dipujanya digambarkan dalam raut yang menakutkan. Keberadaan aliran Tantrayana tidak akan terlepas dari kebijakan Krtanegara melakukan Ekspansi Pamalayu ke Sumatra pada abad ke 13-14 Masehi, hal inilah yang mempengaruhi seni dan budaya ke situs Bumiayu.
Temuan lain dari sekitar komplek candi Bumiayu adalah sebaran fragmen keramik kuno, ini menunjukan adanya pemukiman masyarakat di sekitar situs Bumiayu. Masyarakat dahulu tidak terlalu ketat dalam menerapkan konsep agama dalam pendirian bangunan suci yang menyebutkan bahwa pemukiman penduduk harus terletak di sebelah selatan bangunan suci, namun masyarakat sudah memiliki kearifan dalam mempertahankan kehidupannya dengan mengambil tempat bermukim di dekat sumber-sumber mata air.
Kepustakaan :
Boehari, 1980. “Candi dan Lingkungannya“ dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi II (Cibulan, 21-25 Februari 1977). Jakarta : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hlm. 328-329.
Ferdinandus, Peter. 1993. Peninggalan Arsitektur dari Situs Bumiayu Sumatera Selatan, dalam Amerta 13. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hlm. 33-38
Marhaeni, Tri, dkk., 2000. Analisis Candi Bumiayu 3 dalam “Berita Penelitian Arkeologi No. 5”. Palembang : Balai Arkeologi Palembang.
Poesponegoro, Marwati Djoened, dkk., 1993 Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 37, 157.
Purwanti, Retno, 1998. Arsitektur Candi Bumiayu 1 dalam “Siddhayatra No. 2/III/Nopember/1998”. Palembang : Balai Arkeologi Palembang
Purwanti, Retno. (………). “Bata Bertanda dari Candi Bumiayu: Kajian Pendahuluan”.
Santiko, Hariani, 1996. Seni Bangunan Sakral Masa Hindu-Buddha di Indonesia (Abad VIII-XV Masehi), Analisis Arsitektur dan Makna Simbolik dalam “Jurnal Arkeogi Indonesia” No. 2. Jakarta Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 136-142.
Setiani, Nina, dkk., 1988. Tinjauan Seni Pahat di Situs Muarajambi, dalam Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi III, Pandeglang 5-9 Desember 1986. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hlm. 235-251.
Siregar, Sondang M, 2001. Tantrayana di Sumatera dalam “Siddhayatra Vol. 6”. Palembang : Balai Arkeologi Palembang.
Soediman. 1980. Candi Sambisari dan Masalah-salahnya, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi I, Cibulan 21-25 Februari 1977. Jakarta: Puspan. Hlm. 155-188.
_____________, 2002. Topeng-Topeng Tanah Liat dari Candi Bumiayu 3 dalam “Siddhayatra Vol. 7”. Palembang : Balai Arkeologi Palembang.
_____________, 2002. Laporan Penelitian Ekskavasi Gundukan Tanah 10, Situs Bumiayu, Kabupaten Muaraenim. Palembang : Balai Arkeologi Palembang.
_____________, 2003. Laporan Penelitian Pemukiman di Das Lematang, Desa Bumiayu, Kabupaten Muaraenim. Palembang : Balai Arkeologi Palembang.
_____________, 2004. Laporan Penelitian Arkeologi, Tata Letak Bangunan Kompleks Percandian Bumiayu 1, Situs Bumiayu, Kabupaten Muaraenim. Palembang : Balai Arkeologi Palembang.
_____________, 2005. Laporan Penelitian Arkeologi, Permukiman Kuno di Sekitar Candi Bumiayu 3, Situs Bumiayu, Kabupaten Muaraenim. Palembang : Balai Arkeologi Palembang. (belum diterbitkan)
Utomo, Bambang Budi, 1988. “Permasalahan Umum Arkeologi Jambi” dalam Rapat Hasil Penelitin Arkeologi III, Padeglang 5 - 9 Desember 1986, hlm. 160.
http://startdoor.com/wisata/kota/sumateraselatan/candibumiayu.html
Sumber Tulisan:
http://www.wacananusantara.org/2/625/candi-bumiayu-sebuah-warisan-buday