Oleh R. Kiki Taufik
Tulisan Kiki di situs Buana Khatulistiwa (www.bk.or.id). — Istilah masyarakat terasing telah lama beredar di Indonesia yang dipelopori Departemen Sosial sebagai institusi pemerintah yang bertugas mengurusi masalah masyarakat terasing ini. Orang Rimba merupakan salah satu dari 370 suku/sub suku yang dikategorikan Departemen Sosial sebagai masyarakat terasing, yang tersebar di pedalaman hutan-hutan di Jambi, Sumatera Selatan dan Riau.
Pada tulisan ini akan dibahas Orang Rimba yang hidup dikawasan Bukit Duabelas Jambi, dimana telah dan sedang terjadi proses marginalisasi terhadap mereka. Padahal dari 2670 jiwa Orang Rimba yang tersebar di Jambi, 1046 jiwa hidup dikawasan ini dan mereka inilah yang sampai saat ini masih sangat konsisten dan fanatik dalam menjalankan dan menjaga kelestarian adat istiadatnya.
Penyebutan Orang Rimba
Penyebutan terhadap Orang Rimba perlu untuk diketahui terlebih dahulu, karena ada tiga sebutan terhadap dirinya yang mengandung makna yang berbeda, yaitu : Pertama KUBU, merupakan sebutan yang paling populer digunakan oleh terutama orang Melayu dan masyarakat Internasional. Kubu dalam bahasa Melayu memiliki makna peyorasi seperti primitif, bodoh, kafir, kotor dan menjijikan. Sebutan Kubu telah terlanjur populer terutama oleh berbagai tulisan pegawai kolonial dan etnografer pada awal abad ini.
Kedua SUKU ANAK DALAM, sebutan ini digunakan oleh pemerintah melalui Departemen Sosial. Anak Dalam memiliki makna orang terbelakang yang tinggal di pedalaman. Karena itulah dalam perspektif pemerintah mereka harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari hutan dan dimukimkan melalui program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT). Ketiga ORANG RIMBA, adalah sebutan yang digunakan oleh etnik ini untuk menyebut dirinya. Makna sebutan ini adalah menunjukkan jati diri mereka sebagai etnis yang mengembangkan kebudayaannya yang tidak bisa lepas dari hutan. Sebutan ini adalah yang paling proposional dan obyektif karena didasarkan kepada konsep Orang Rimba itu sendiri dalam menyebut dirinya.
Penyebutan Orang Rimba pertama kali dipublikasikan oleh Muntholib Soetomo tahun 1995 dalam desertasinya yang berjudul ‘Orang Rimbo : Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat terasing di Makekal, Propinsi Jambi’. Penyebutan Orang Rimba dengan berakhiran huruf ‘o’ pada disertasi tersebut dipertentangkan oleh beberapa antropolog meski tidak ada perbedaan makna, tetapi akhiran ‘o’ pada sebutan Orang Rimbo merupakan dialek Melayu Jambi dan Minang. Sementara fakta yang sebenarnya adalah Orang Rimba tanpa akhiran ‘o’ (Aritonang).
Persebaran dan populasi Orang Rimba di propinsi Jambi
Orang Rimba tersebar di tiga propinsi di hutan pedalaman Sumatera, yaitu propinsi Jambi, Sumatera Selatan dan Riau. Populasi terbesar berada di propinsi Jambi dengan jumlah 2670 jiwa, dengan persebaran di tiga lokasi yaitu pertama, di sekitar/sepanjang lintas jalan sumatera antara kabupaten Sarolangun Bangko dan Bungotebo dengan jumlah populasi sebesar 1259 jiwa. Kedua, di kawasan Bukit Duabelas dengan populasi sebesar 1046 jiwa dan terakhir, di kawasan Bukit Tigapuluh dengan jumlah 365 jiwa.
Kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas adalah kawasan hidup Orang Rimba yang dilindungi dan ditetapkan melalui Surat Usulan Gubernur Jambi No. 522/51/1973/1984 seluas 26.800 Ha. Ditetapkannya kawasan Bukit Dua Belas sebagai Cagar Biosfir, karena kawasan ini memenuhi ciri-ciri atau kriteria yang sifatnya kualitatif yang mengacu pada kriteria umum Man and Biosphere Reserve Program, UNESCO , seperti berikut :
- Merupakan kawasan yang mempunyai keperwakilan ekosistem yang masih alami dan kawasan yang sudah mengalami degradasi, modifikasi dan atau binaan;
- Mempunyai komunitas alam yang unik, langka dan indah;
- Merupakan landscape atau bentang alam yang cukup luas yang mencerminkan interaksi antara komunitas alami dengan manusia beserta kegiatannya secara harmonis;
- Merupakan tempat bagi penyelenggaraan pemantauan perubahan-perubahan ekologi melalui kegiatan penelitian dan pendidikan (Dirjen PHPA, 1993).
Secara administratif kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas terletak di antara tiga kabupaten yaitu kabupaten Sarolangun Bangko, Bunga Tebo dan Batang Hari. Ketiga kabupaten tersebut saling berbatasan di punggungan Bukit Duabelas. Kawasan yang didiami oleh Orang Rimba ini secara geografis adalah kawasan yang dibatasi oleh Batang Tabir di sebelah barat, Batang Tembesi di sebelah timur, Batang Hari di sebelah utara dan Batang Merangin di sebelah selatan. Selain itu, kawasan inipun terletak diantara beberapa jalur perhubungan yaitu : lintas tengah Sumatera, lintas tengah penghubung antara kota Bangko – Muara Bungo – Jambi, dan lintas timur Sumatera. Dengan letak yang demikian, maka dapat dikatakan kawasan ini berada di tengah-tengah propinsi Jambi.
Di kawasan Cagar Biosfir Bukit Duabelas yang merupakan wilayah tempat tinggal atau habitat Orang Rimba ini , terdapat tiga kelompok Orang Rimba yaitu kelompok Air Hitam di bagian selatan kawasan, Kejasung di bagian utara dan timur serta Makekal di bagian barat kawasan. Penamaan kelompok-kelompok tersebut disesuaikan dengan nama sungai tempat mereka tinggal. Seperti halnya masyarakat umum, Orang Rimba juga merupakan masyarakat yang sangat tergantung dengan keberadaan sungai sebagai sumber air minum, transportasi dan penopang aktifitas kehidupan lainnya. Orang Rimba hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang selalu menempati wilayah bantaran sungai baik di badan sungai besar ataupun di anak sungai dari hilir sampai ke hulu.
Budaya Orang Rimba dalam mengelola Sumberdaya Alam
Sebagaimana suku-suku terasing lainya di Indonesia, Orang Rimba yang selama hidupnya dan segala aktifitas dilakukan di hutan, juga memiliki budaya dan kearifan yang khas dalam mengelola sumberdaya alam. Hutan, bagi mereka merupakan harta yang tidak ternilai harganya, tempat mereka hidup, beranak-pinak, sumber pangan, sampai pada tempat dilakukannya adat istiadat yang berlaku bagi mereka. Begitupula dengan sungai sebagai sumber air minum dan berbagai fungsi lainnya. Perlu kita cermati disini adalah bagaimana cara mereka memperlakukan sumberdaya alam tersebut secara lestari dan berkelanjutan.
Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, Orang Rimba mengenal wilayah peruntukan seperti adanya Tanoh Peranok-on, rimba, ladang, sesap, belukor dan benuaron. Peruntukan wilayah merupakan rotasi penggunaan tanah yang berurutan dan dapat dikatakan sebagai sistem suksesi sumberdaya hutan mereka. Hutan yang disebut rimba oleh mereka, diolah sebagai ladang sebagai suplai makanan pokok (ubi kayu, padi ladang , ubi jalar), kemudian setelah ditinggalkan berubah menjadi sesap. Sesap merupakan ladang yang ditinggalkan yang masih menghasilkan sumber pangan bagi mereka. Selanjutnya setelah tidak menghasilkan sumber makanan pokok, sesap berganti menjadi belukor.
Belukor disini meski tidak menghasilkan sumber makanan pokok, tetapi masih menyisakan tanaman buah-buahan dan berbagai tumbuhan yang bermanfaat bagi mereka yang diantaranya adalah durian, duku, bedaro, tampui, bekil, nadai, kuduk kuya, buah sio, dekat, tayoy, buah buntor, rambutan, cempedak, petai, pohon sialong (jenis pohon kayu Kruing, Kedundung, Pulai, Kayu Kawon/Muaro Keluang), pohon setubung dan tenggeris (sebagai tempat menanam tali pusar bayi yang baru lahir), pohon benal (daunnya digunakan untuk atap rumah), kayu berisil (digunakan untuk tuba ikan) dan berbagai jenis rotan termasuk manau dan jernang.
Benuaron memiliki fungsi yang sangat besar bagi Orang Rimba, dimana selain berperan sebagai sumber makanan (buah-buahan) dan kayu bermanfaat (pohon benal, sialong, dan berisil) juga berperan sebagai tanoh peranok-on. Tanah peranok-on merupakan tempat yang sangat dijaga keberadaanya, tidak boleh dibuka atau dialih fungsikan untuk lahan kegiatan lain, misalnya untuk lahan perladangan atau kebun., karena merupakan tempat proses persalinan ibu dalam melahirkan bayi/anaknya. Tanoh peranok-on yang dipilih biasanya yang relatif dekat dengan tempat permukiman atau ladang mereka serta sumber air atau sungai. Seiring berjalannya waktu, disaat seluruh tumbuhan yang terdapat di benuaron tersebut semakin besar dan tua, maka pada akhirnya benuaron tersebut kembali menjadi rimba.
Rotasi penggunaan sumberdaya hutan dari rimba menjadi ladang kemudian sesap, belukor dan benuaron, terakhir kembali menjadi rimba, merupakan warisan budaya mereka. Sehingga patut kita cermati juga bahwa Orang Rimba yang tergolong sebagai masyarakat terasing, ternyata memiliki kearifan tradisional dimana selama ini dilupakan oleh masyarakat atau pemerintah pusat.
Proses marginalisasi terhadap Orang Rimba
Lajunya pembukaan lahan serta perambahan hutan oleh pihak luar sangat dirasakan oleh Orang Rimba dikawasan ini, sehingga hampir disetiap wilayah kelompok-kelompok Orang Rimba dari hulu hingga hilir selalu dapat ditemui baik bukaan ladang ataupun penebangan kayu liar di wilayah ini. Orang Rimba merupakan suku yang tergolong defensive dan tidak terbiasa melakukan peperangan atau berjuang untuk mempertahankan haknya. Apalagi jika pihak luar tersebut masuk ke wilayah mereka dengan membawa surat bahwa mereka mendapat izin dari pemerintah, sangat dipastikan mereka akan diam saja. Hal tersebut karena mereka belum mengenal baca tulis dan yang terpenting adanya budaya mereka yang menyebutkan halom sekato rajo atau alam diatur oleh pemerintah.
Dengan adanya perkembangan dalam kehidupan Orang Rimba serta lajunya pembangunan di wilayah ini, maka saat ini telah banyak Orang Rimba yang mulai kelur dari hutan sebagai tempat tinggalnya untuk beradaptasi atau menukar hasil hutan dengan kebutuhan lain yang tidak mereka dapat didalam hutan dengan masyarakat pendatang (transmigran) dan masyarakat dusun disekitar kawasan. Selain itu perubahanpun telah menyentuh mereka, di antara mereka mulai tumbuh harapan dan hak kepemilikan meski sikap terhadap alam yang merupakan warisan nenek moyang tetap mereka jaga. Namun demikian, keterbukaan mereka terhadap masyarakat transmigran, masyarakat dusun ataupun pihak luar lainnya disalah artikan dan dimanfaatkan oleh oknum yang mencari keuntungan semata. Akibatnya, banyak terjadi pembukaan lahan secara ilegal, penebangan kayu liar dan kegiatan lainnya yang berdampak pada hancur dan rusaknya hutan tempat tinggal mereka.
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRW-P) Jambi, sebagaian besar kawasan ini diperuntukkan sebagai areal budidaya perkebunan dalam bentuk HTI, budidaya kehutanan (HP dan HPT), dan kawasan konservasi Cagar Biosfer Bukit Duabelas seluas 26.800 ha. Jelas disini pemerintah daerah Jambi, tidak secara lengkap melihat data dilapangan dan seperti halnya kebiasaan di masa Orde Baru, perencanaan tata ruang selalu dibuat diatas kertas tanpa data lapangan yang detail. Dengan adanya RTRW-P Jambi tersebut, maka dikawasan tersebut sudah banyak dimulai penebangan, baik penebangan tebang jalur ataupun tebang habis. Padahal surat izi bagi instansi yang bergerak di HTI ini belum keluar.
Dapat disimpulkan bahwa ancaman keterdesakan terhadap wilayah tempat tinggal Orang Rimba, bukan hanya datang dari masyarakat di sekitar kawasan, tetapi juga dari pemerintah yang masih menutup mata terhadap keberadaan mereka. Dalam kondisi yang demikian, sangat tidak mungkin jika Orang Rimba dibiarkan berjuang sendiri untuk mempertahankan wilayah mereka, selain baru mengenal budaya baru dan hak kepemilikan, merekapun belum mengenal baca tulis. Sehingga perlu ada lembaga/organisasi atau institusi baik dari pemetintah ataupun non pemerintah yang membantunya.
Direktorat Bina masyarakat Terasing
Pemerintah Indonesia dalam menangani masalah masyarakat terasing, membentuk Direktorat Bina Masyarakat Terasing dibawah Departemen Sosial. Institusi pemerintah ini memiliki pandangan bahwa sesuai dengan penyebutan sebagai masyarakat terasing yang secara definitif berarti kelompok masyarakat yang mendiami suatu lokasi tertentu, baik yang orbitasinya terpencil, terpencar dan berpindah-pindah maupun yang hidup mengembara di kawasan laut, yang taraf kesejahteraannya masih mengalami ketertinggalan, ditandai oleh adanya kesenjangan sistem sosial, sistim ideologi dan sistim teknologi mereka, serta belum atau sedikit sekali terintegrasi dalam proses pembangunan nasional(Dir. BMT,1992), maka masyarakat tersebut akan di bina dan di mukimkan seperti halnya masyarakat umum di Indonesia. Pembinaan yang dimaksudkan adalah untuk mengarahkan mereka untuk memiliki sistem sosial, ideologi, teknologi serta kesejahteraan yang sesuai dengan ukuran masyarakat umum. Salah satu program yang dilakukan adalah program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT), dimana dengan program tersebut Depsos melalui Dir.BMT membuat rumah-rumah untuk masyarakat tersebut.
Program PKMT yang telah berjalan lebih dari 10 tahun diberbagai daerah, ternyata tidak mendapatkan respon positif dari masyarakat yang tergolong terasing ini. Begitu pula Orang Rimba, dengan budaya yang mereka miliki dan masih dilakukan hingga kini seperti melangun, memungkinkan mereka menolak program tersebut. Sangat disayangkan, instansi yang berwenang untuk menangai masalah masyarakat ini tidak melihat keragaman budaya yang dimiliki oleh suku-suku terasing ini sebuah kekayaan budaya yang patut dipertahankan. Sebagai negara besar yang memiliki wilayah yang luas dengan penduduk yang sangat banyak (210 juta jiwa) serta budaya yang beragam, maka perlu kiranya kita bersama-sama untuk menjaga keragaman tersebut.
Sebagai penutup, dengan tulisan ini penulis mencoba untuk membuka mata kita bahwa masih ada masyarakat yang masih jauh dari pembangunan yang saat ini hidup secara lestari, arif dan bijaksana dalam mengelola sumberdaya alam. Namun demikian, keberadaan mereka juga semakin terdesak oleh yang namanya ‘pembangunan’, meski ‘pembangunan’ tersebut hanya untuk beberapa orang saja. (R. Kiki Taufik)
Sumber: http://www.mapalaui.info