Oleh : Retno Purwanti
A. Pendahuluan
Secara administrastif situs Karangberahi terletak di Dusun Batu Bersurat, Desa Karangberahi, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Dusun Batu Bersurat berbatasan dengan Sungai Merangin dan Desa Pangkalan Harapan, dan Desa Karangberahi di sebelah selatan. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Papit dan Desa Karanganyar, di sebelah timur berbatasan dengan Desa Jalatang dan di sebelah utara dengan daaerah transmigrasi Itam Ulu, Kecamatan Tabir dan Kecamatan Pauh. Desa Karangberahi sendiri secara astronomis berada pada 2o28’ Lintang Selatan dan 102o28’ Bujur Timur.
Karangberahi merupakan salah satu situs penting yang berasal dari masa Kerajaan Sriwijaya (abad VII Masehi). Temuan prasasti Karangberahi menunjukkan bahwa daerah ini merupakan taklukan Kerajaan Sriwijaya. Penguasaan atas daerah ini merupakan salah satu upaya Sriwijaya untuk menguasai sumber-sumber perekonomian, karena daerah ini terletak di jalur transportasi utama perdagangan interinsuler saat itu. Minimnya temuan arkeologis di situs ini dan sekitarnya sempat meragukan eksistensi daerah ini dalam percaturan politik dan perekonomian pada masa itu. Namun demikian, dengan ditemukannya dua buah sisa-sisa struktur bangunan dari bata mengindikasikan bahwa daerah ini bukan merupakan daerah kosong tanpa penghuni. Temuan tersebut dan juga tempayan di setiap sudut salah satu sisa struktur bangunan menandakan bahwa lokasi ini pernah dijadikan lokasi permukiman yang relatif ramai pada masanya. Apalagi di dalam tempayan ditemukan juga serpihan emas, pecahan keramik asing dan batu-batu permata.
Sebagai suatu kerajaan yang mengembangkan perekonomian perdagangan, tidaklah aneh jika Sriwijaya mempunyai struktur perkeonomian yang berbeda dengan negara agraris. Dengan mengacu pada struktur (pemerintahan) kerajaan Sriwijaya yang dikemukakan oleh Herman Kulke (1985) dan dipadukan dengan teori Leong Sao Heng dalam perkembangan sistem perdagangan di Asia Tenggara, maka dalam makalah ini berusaha untuk mengungkapkan peran penting daerah Karangberahi pada masa kerajaan Sriwijaya, khususnya dalam struktur perekonomiannya. Seperti telah diketahui oleh umum selama ini bahwa kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan maritim terbesar yang pernah ada di Asia Tenggara. Sebagai daerah maritim tentunya dilengkapi dengan jaringan-jaringan perekonomian yang saling terkait dan mendukung kelangsungannya. Salah satu bentuk jaring perekonomian yang diyakini keberadaannya selama ini adalah pelabuhan-pelabuhan antara (entrepot) tempat menyimpan dan mendistribusikan barang-barang komoditi dari satu musim ke musim berikutnya. Pelabuhan-pelabuhan tersebut mempunyai peran penting karena sistem pelayaran pada masa itu bergantung pada angin muson, maka kapal-kapal dari India, Cina dan negara-negara kepulauan biasanya berlayar ke Asia Tenggara pada suatu musim dan menunggu musim berikutnya untuk kembali ke negaranya (Wheatley,1961).
B. Situs dan Lingkungannya
Situs Karangberahi terletak di daerah dengan derajat kemiringan landai, yakni antara 2 – 15 %, yang merupakan lereng kaki perbukitan rendah. Lahan daerah ini merupakan perbukitan lipatan. Sementara kemampuan lahan adalah AlbT dengan kedalaman tanah lebih dari 90 cm, bertekstur tanah halus dan sedang, tidak tergenang air, dan tidak ada erosi. Lahan di sekitar situs merupakan endapan alluvial dan terletak sekitar 200 meter dari Sungai (Batang) Merangin dan berada pada ketinggian 50 m di atas permukaan air laut. Di sebelah utara situs terdapat danau yang digunakan sebagai saluran irigasi sawah di sekitarnya. Letak danau ini kurang dari 50 meter dari sisa-sisa bangunan bata yang ditemukan pada tahun 1995 dan sekitar 500 meter dari struktur bangunan yang ditemukan pada tahun 1994. Dengan kondisi topografis seperti itu situs Karangberahi terletak di daerah yang cocok untuk dijadikan suatu pemukiman karena kondisi lingkungan fisiknya yang landai dan dekat dengan tubuh perairan. Kedekatan dengan tubuh perairan di sini sangat penting karena akses-akses yang dimilikinya selain untuk pertanian dan sumber air minum, juga memungkinkan untuk sarana transportasi.
Selain prasasti dari masa kerajaan Sriwijaya, di situs Karangberahi ditemukan juga struktur bangunan bata berdenah segi empat panjang berukuran 5,26 meter x 1,96 meter. Susunan bata tersebut membujur ke arah tenggara-baratdaya, terdiri atas 2 – 3 lapis. Ukuran bata ini relatif besar jika dibandingkan dengan bata-bata yang digunakan untuk pembangunan candi-candi yang ada di kompleks percandian Muarajambi, karena bata di sini berukuran panjang 55 cm, lebar 36 cm dan tebal 17,5 cm. Besarnya ukuran bata inilah yang memungkinkan pennyusunan bata tanpa perekat, sehingga menampakkan sebuah struktur bangunan yang disusun dengan cara merebahkan bata secara horizontal. Bata-bata ini kemudian disusun ke atas dengan satu bata berada di atas bata yang lainnya (Purwanti,1996:30 -- 31).
Di setiap sudut bangunan bata di atas ditemukan empat buah periuk tanah liat. Satu buah periuk yang terletak di sudut timurlaut saat ditemukan masih dalam keadaan utuh, sedangkan tiga periuk lainnya dalam kondisi retak dan tidak utuh lagi. Diameter keempat periuk tersebut antara 36 – 46 cm. Periuk ini berbentuk bulat dengan dasar cembung. Lubang mulutnya berdiameter 10,62 – 13 cm, sementara bagian bibirnya memiliki ketebalan 1,24 – 1,33 cm. Tinggi periuk utuh 25,5 cm. Pada saat ditemukan tidak satupun memiliki tutup (Ibid.).
Hasil analisis basah terhadap tanah yang terdapat di dalam dan di luar periuk menunjukkan kandungan yang hampir sama. Tanah yang diperoleh dari bagian dalam periuk mengandung pirit, kuarsa, emas, manik-manik, laterit, pecahan tembikar, kapur dan arang. Kandungan tanah di luar periuk terdiri atas pasir, batu kerakal, arang, kapur, kuarsa dan emas. Analisis kandungan tanah dari bagian dalam periuk ini diperoleh dari periuk yang berada di sudut timur laut dan tenggara, yang ditemukan relatif utuh dibandingkan dengan periuk-periuk lainnya. Sementara itu, contoh tanah di luar periuk diambilkan dari bagian bawah periuk dari sudut tenggara bangunan (Sri Padmiarsi,1994).
Emas yang didapat dari dalam maupun luar priuk berbentuk butiran dan serpihan. Dari tanah sebert 12,9 kg yang dikeluarkan dari dalam periuk di sebelah tenggara diperoleh 0,05 gram emas, sementara dari tanah di luar periuk dengan berat 6,25 gram dikumpulkan 0,04 gram emas dengan ukuran butiran relatif lebih besar dibandingkan emas yang terkandung dalam tanah di bagian dalam periuk.
Seluruh manik-manik diperoleh dari kandungan tanah di bagian dalam periuk. Manik-manik tersebut dibuat dari bahan kaca dan mutisala. Manik-manik kaca tersebut berwarna biru, sedangkan manik-manik mutisala berwarna merah kecoklatan (Ibid.).
Di sebelah utara lokasi penemuan struktur bangunan tersebut, tepatnya di atas gundukan tanah pemakaman umum, ditemukan juga sisa-sisa struktur bata pada tahun 1995. Di lokasi yang sama dengan penemuan prasasti Sriwijaya ditemukan struktur bata dua lapis yang diduga merupakan bagian dari dinding bangunan. Salah satu bagian struktur bata tersebut merupakan sudut bangunannya. Di bagian puncak gundukan tanah tempat ditemukannya sisa-sisa bangunan dijumpai adanya tanah timbunan yang terdiri atas: lapisan atas berwarna hitam keabuan, lapisan tanah kedua berupa tanah bercampur kerakal, kemudian pada lapisan tanah ketiga yaitu tanah bercampur dengan hancuran bata, kemudian berisi lapisan tanah bercampur kerakal, lapisan hitam tanah keabuan dan seterusnya sampai kedalaman satu setengah meter dari permukaan tanah ((Suaka PSP Sumbagsel,1995:22 -- 23; Purwanti,2004). Selain itu ditemukan juga dua buah pecahan bata berbentuk sisi genta di sekitar gundukan.
Selain data arkeologi dari hasil penggalian di sekitar situs, dari penduduk Desa Rantau Limau Manis bernama Haji Khadir usia 86 tahun dapat diketahui bahwa di Sungai Tabir sampai saat ini masih terdapat penambang emas tradisional. Sungai ini merupakan salah satu anak Sungai Batanghari dan terletak ke arah hulu dari Sungai Batang Merangin. Di situs ini pernah ditemukan dua buah arca Budha perunggu yang berasal dari sekitar abad ke-9 -- 10 Masehi. Data tersebut memperkuat bukti selama ini bahwa sejak jaman dahulu Pulau Sumatera terkenal dengan kandungan emasnya, sehingga memunculkan adanya sebutan “Pulau Emas” (swarnadwipa). Potensi ini merupakan daya tarik bagi kawasan lain di luarnya, terutama bagi kalangan-kalangan niaga yang setiap saat lalu-lalang di Selat Malaka dan berkesempatan singgah di bandar-bandar pantai timur Sumatera.
Kabupaten Merangin yang merupakan salah satu daerah di Pulau Sumatera dengan kondisi tropik berupa suhu dan kelembaban tinggi akibat energi matahari merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan adanya hutan dengan indeks keragaman tinggi. Berbagai relung ekologi terdapat di kawasan ini, yang berisi pepohonan kecil; semak belukar; herba; tumbuhan melekat; tumbuhan pemanjat; epifit; paraasit; dan lain sebagainya (Anwar,et. al.,1984: 92 -- 94). Indeks keragaman yang tinggi pada flora dan fauna di kawasan ini, termasuk juga di sepanjang Derah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, merupakan sumberdaya alam yang penting sejak jaman dahulu karena menurut pengamatan kasar kurang lebih 2500 jenis dari 7500 jenis tumbuhan yang ada di Sumatera memiliki nilai ekonomik yang potensial. Sampai saat ini di sepanjang DAS Batanghari terdapat hutan-hutan yang menghasilkan komoditi perdagangan yang menguntungkan, antara lain jerenang, kayu jelutung, dan rotan manau.
C. Struktur Perekonomian Sriwijaya
Dalam artikelnya yang berjudul “Collecting Centres, Feeder Points and Entreport in The Malay Peninsula, circa 1000 B.C. – A.D. 1.400”, Leong Sau Heng menyebutkan adanya hubungan antara daerah Asia Tenggara khususnya dan Semenanjung Melayu dalam hal perdagangan interinsuler, baik antara pedagang Cina, Arab maupun India dengan penduduk lokal (1990:17). Namun demikian nama-nama daerah yang tertulis dalam sumber berita Cina tersebut sulit untuk diidentifikasikan dengan nama-nama lokal terkecuali yang disebut dalam sumber primer seperti prasasti (Ibid.).
Dengan mengacu pada sejumlah sumber asing sejak awal hingga masa penjajahan tampak adanya peta politik Asia Tenggara ditentukan tidak hanya oleh wilayah perbatasan (peripheral boundaries), melainkan juga oleh perluasan radiasi otoritas dari pusat kekuasaan yang terletak di daerah pedalaman sepanjang daerah yang dapat dilayari dan umumnya sejak abad ke-15 terletak di sepanjang pesisir pantai (the littoral) dan muara-muara sungai. Oleh karena itu, dalam tulisannya, Sau Heng menjelaskan bahwa setidak-tidaknya dilihat dari peta sebaran situs-situs arkeologi yang ada di Semenanjung Malaya serta berdasarkan atas kronologi temuannya dapat ditentukan adanya tiga tahap perkembangan dalam sistem perdagangan di Asia Tenggara (Ibid.,hlm. 18).
Adapun ketiga tahap tersebut adalah pusat pengumpul (collecting centers), feeder points dan entreport. Pusat pengumpul (collecting centers) merupakan daerah atau situs yang biasanya terletak baik di pantai maupun di sepanjang daerah aliran sungai di pedalaman. Sebagai pusat pengumpul, maka peranannya adalah sebagai penyedia komoditi khusus lokal (outlets for special local produce). Situs ini biasanya terletak di daerah jalur utama perdagangan maupun tidak. Meskipun demikian, daerah ini umumnya terletak pada wilayah ekosone tempat produk barang-barang lokal itu diproduksi atau dihasilkan. Misalnya terletak di daerah wilayah yang kaya akan tambang timah atau emas seperti Kampung Sungai Lang atau Kelang.
Di wilayah Asia Tenggara, situs atau pusat perdagangan besar atau dikenal dengan istilah entreport baru dimulai sejak abad pertama Masehi. Situs seperti itu umumnya lebih mudah dikenali karena melimpahnya artefak-artefak dagangan masa itu, bukan hanya dilihat dari segi kuantitasnya tetapi juga dari segi validitasnya. Di wilayah Semenanjung misalnya, daerah yang terkenal sebagai entreport itu adalah wilayah Pangkalan Bujang, di muara sungai Bujang wilayah Kedah. Umumnya pelabuhan entreport itu terletak di muara-muara sungai.
Yang disebut dengan feeder points dalam kaitan ini umumnya diidentifikasikan sebagai pusat pelayanan dalam skala lokal kecil. Tidak seperti halnya dengan entreport yang umumnya terletak di daerah lintasan perdagangan jarak jauh yang strategis, melainkan lebih ditentukan oleh faktor hubungan (jarak termudah) untuk mencapai daerah produsen. Oleh karenanya situs yang diperkirakan merupakan daerah feeder points dapat saja ditemukan di wilayah pedalaman yang dekat dengan sungai (daerah aliran sungai di pedalaman atau daerah pantai). Biasanya situs yang menjadi feeder points itu ditandai oleh sedikitnya bukti adanya pengaruh budaya luar yang masuk.
Dengan mengacu kondisi geografis Sumatera yang tidak berbeda jauh dengan daerah semenanjung, maka teori Sau Heng tersebut tentunya juga dapat diterapkan. Adanya ketiga tahap perkembangan sistem perdagangan tersebut bisa dikaitkan dengan model struktur kerajaan Sriwijaya yang dikemukakan oleh Herman Kulke (1985). Berdasarkan kajian terhadap prasasti Telagabatu yang berasal dari abad ke-7 Masehi Herman Kulke menyebutkan bahwa kerajaan Sriwijaya merupakan sebuah mandala yang meliputi daerah pusat dan daerah bawahan dari hasil penaklukkan. Daerah pusat terdiri dari kadatuan, vanua, dan desa sebagai daerah hinterland (samaryyada). Kadatuan adalah istana atau tempat tinggal raja, yang dikelilingi oleh vanua yang merupakan daerah pemukiman. Di tempat inilah penduduk bermukim dan tempat berdiri bangunan-bangunan keagamaan (vihara). Para pedagang (vaniyaga) dan nakhoda (puhavam) yang datang dari luar melakukan perdagangan di daerah vanua.
Berdasarkan kedua teori tersebut dapat diperoleh suatu struktur perekonomian pada masa Sriwijaya, yaitu colleting centers terletak di daerah vanua; feeder points feeder points berada di daerah hinterland (samaryyada); sedangkan entreport terletak di kadatuan atau pusat pemerintahannya. Dengan demikian kedudukan Sriwijaya menurut Peter J. M. Nas merupakan salah satu city-state yang paling awal dan amat penting. Eksistensinya didasarkan kepada fungsinya sebagai kerajaan emporium dan merchantilis dan bekerja keras untuk monopoli perdagangan serta menguasai Jambi, Lampung, Semenanjung Malayu dan Semenjung Kra.
Posisi ini memungkinkan karena letak geografis Sumatera baik sekali untuk turut serta dalam kegiatan perdagangan internasional yang mulai berkembang antara India dengan daratan Asia Tenggara sejak awal tarikh Masehi. Berita Cina menyebutkan bahwa adat di Kan-t’oli sama dengan adat di Kamboja dan Campa. Hal itu berarti bahwa bagi orang-orang Cina atau sumber berita mereka, keadaan di ketiga tempat tersebut sama. Hal itu hanya dapat terjadi jika di antara ketiga tempat itu terjadi hubungan yang cukup internsif. Dengan sendirinya perkembangan perdagangan di dua tempat di daratan Asia Tenggara tadi juga berpengaruh di Sumatera. Besar kemungkinan bahwa dunia perdagangan di Sumatera sejak semula telah terlibat langsung dalam perdagangan dengan India meluas ke selatan. Pada saat negeri Cina terbuka untuk hasil-hasil Asia Tenggara. Letak Selat Malaka mendorong perdagangan di daratan Asia Tenggara untuk yang baru terjadi setelah perdagangan dengan India berkembang, penduduk Sumatera khususnya di pantai timur, bukan awam lagi dalam perdagangan internasional. Oleh karena itu, jika kerajaan Sriwijaya mengembangkan perekonomian yang berbasis pada perdagangan bukan merupakan pilihan yang salah.
D. Karangberahi dan Peranannya
Situs Karangberahi terletak di tepi Sungai (Batang) Merangin, yang merupakan salah satu DAS Batanghari. DAS Batanghari memanjang dari daerah hulu yang terletak di Provinsi Sumatera Barat sampai ke hilir yang terletak di Provinsi Jambi. Sungai Batanghari dan anak-anak sungainya pada umumnya dapat dilayari serta merupakan peraian yang penting bagi lalu-lintas antar perkampungan, pelabuhan-pelabuhan sungai sampai di pesisir dan antar kota dari bagian hulu sampai ke hilir. Lalu-lintas yang paling penting terutama di daerah sepanjang sungai Batanghari dan Batang Tembesi, karena dapat dilayari dengan menggunakan perahu-perahu besar dan kapal-kapal uap. Sementara itu, anak-anak sungainya dapat dilayari sampai ke bagian-bagian hulunya dengan menggunakan perahu-perahu kecil atau rakit. Dengan kondisi seperti itu memungkinkan daerah tersebut terbuka bagi masuknya arus informasi dan komunikasi dengan daerah-daerah luar sejak jaman dahulu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di sepanjang DAS Batanghari banyak dijumpai tinggalan-tinggalan arkeologis dari berbagai periode dengan berbagai jenis dan bentuknya. Tinggalan-tinggalan arkeologis inilah yang menjadi bukti adanya aktifitas manusia masa lampau di sepanjang DAS Batanghari.
Dalam paparan sebelumnya disebutkan bahwa DAS Batanghari mempunyai potensi berbagai jenis sumberdaya biotik yang berpotensi sebagai komoditi. Komoditi niaga tersebut biasanya diperoleh dari ekosistem hutan dataran rendah primer, berupa rotan manau, damar, getah jerenang, dan damar. Jenis lainnya sumberdaya biotik yang secara langsung mendukung bagi kelangsungan kehidupan permukiman dan manusianya, misalnya sebagai bahan bangunan maupun sumber makanan.
Secara fisik situs Karangberahi terletak sekitar 200 meter dari Sungai Merangin dan sekitar 500 dari danau. Jarak 500 meter terhadap tubuh perairan (sungai dan danau) untuk keperluan sehari-hari maupun untuk prasarana transportasi air diperkirakan masih termasuk dalam jangkauan jarak tempuh manusia pada waktu itu. Dengan lingkungan yang mendukung secara fisik, maka tidaklah aneh jika di sini ditemukan tinggalan-tinggalan arkeologi yang cukup penting. Salah satu di antaranya ialah prasasti kutukan dari masa kerajaan Sriwijaya.
Produk hutan pada umumnya dihasilkan oleh para pemburu dan peramu, sebenarnya tidak mempunyai nilai jual yang tinggi di sektor perdagangan regional dan akan lebih berarti berupa barang-barang yang dihasilkan oleh sekelompok masyarakat yang telah terorganisir. Demikian pula masyarakat yang telah terorganisasi di pedalaman umumnya akan mencari jaringan yang lebih dekat dan tidak harus mengikuti jalur sungai yang ada di sekitarnya, namun jarak tempuhnya lebih jauh. Dengan cara ini mereka justru dapat mempermainkan nilai tukar barang antara pusat yang satu dengan pusat lainnya yang terletak di wilayah pantai (Christie,1990:45).
Produk dari sekitar situs Karangberahi antara lain, emas, getah jelutung, damar, dan rotan. Seperti diutarakan oleh Wolters, kemampuan melayari lautan saja belum dapat menumbuhkan suatu kekuatan perdagangan (Ibid., hlm. 135-155). Di samping kemampuan pelayaran harus pula ditumbuhkan kepercayaan dunia perdagangan. Para pedagang harus yakin bahwa berdagang dengan tempat itu akan mendatangkan keuntungan. Keyakinan ini tentu tidak perlu selalu disebabkan karena para pedagang tertarik kepada kondisi yang disediakan, tetapi dapat juga karena memang tidak ada alternatif lain. Agaknya Sriwijaya dapat juga mengembangkan keadaan yang disebut belakangan ini. Berkat armadanya yang kuat ia berhasil menguasai daerah-daerah yang potensial menjadi saingannya, termasuk di dalamnya adalah Karangberahi. Dengan cara ini ia menyalurkan barang-barang dagangannya ke pelabuhan-pelabuhan yang dikuasainya. Dari berita-berita Cina dapat disimpulkan bahwa Sriwijaya adalah salah satu pusat perdagangan terpenting antara Asia Tenggara dengan Cina.
Berdasarkan atas data arkeologi yang relatif sedikit tersebut, namun mempunyai sumberdaya biotik dan abiotik yang tinggi, maka dapat diasumsikan bahwa daerah ini pernah menjadi salah satu mata rantai dalam sistem perdagangan pada masa kerajaan Sriwijaya, yaitu sebagai pusat pelayanan dalam skala kecil (feeder points). Temuan berupa struktur bata dan prasasti membuktikan bahwa di daerah Karangberahi sebelum dikuasai oleh Sriwijaya merupakan daerah penting dengan organisasi masyarakat yang sudah teratur. Meskipun terletak di daerah pedalaman, namun Karangberahi mempunyai nilai ekonomis dan strategis bagi kelangsungan kehidupan perekonomian kerajaan Sriwijaya. Suatu daerah bernilai ekonomis karena memiliki sumberdaya alam yang kaya, sedangkan suatu daerah dinilai strategis berdasarkan kestrategisan lokasinya, misalnya terletak di tepi sungai, laut, dan lain-lain. Dengan dikuasaainya daerah yang bernilai strategis dan ekonomis, Sriwijaya dapat menguasai perdagangan internasional serta mendapatkan keuntungan melimpah dari perdagangan tersebut.
Menurut Lapian (1992:3) kerajaan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan sungai yang memerlukan hubungan yang baik dengan penduduk di daerah pedalaman. Sifat dari poros ulu – ilir (upstream-downstream) ini sejak dahulu senantiasa mewarnai pamor suatu kerajaan yang mengandalkan hidupnya pada lalulintas sungai. Bagi kerajaan maritim seperti Sriwijaya yang mutlak diperlukan adalah “penguasaan” penduduk yang mampu memanfaatkan wilayah laut sebagai sumber nafkah (Ibid.). Jadi jumlah penduduk saja tidak cukup untuk membangun kekuatan maritim; yang lebih penting adalah jumlah penduduk yang berorientasi ke laut. Dalam hal itu suku Laut yang menghuni kawasan muara sungai dan pulau-pulau lepas pantai memegang peran utama (Ibid.).
Jika suatu negara hidup dari perdagangan berarti bahwa penguasanya harus menguasai jalur-jalur perdagangan dan pelabuhan-pelabuhan tempat barang-barang itu ditimbun untuk diperdagangkan. Penguasaan jalur-jalur perdagangan dan pelabuhan-pelabuhan ini dengan sendirinya memerlukan pengawasan langsung dari penguasa. Oleh karena itu tidaklah heran kalau raja Sriwijaya tidak dapat membenarkan sikap tidak setia, meskipun hanya sedikit, termasuk dari anaknya sendiri.
Sebagai suatu negara maritim yang berdagang, Sriwijaya telah mengembangkan suatu tradisi diplomasi yang menyebabkan kerajaan tersebut lebih metropolitan sifatnya. Untuk dapat mempertahankan peranannya sebagai negara berdagang, Sriwijaya lebih memerlukan kekuatan militer yang dapat melakukan gerakan ekspedisioner daripada sebuah negara agraris. Suatu penguasaan langsung atas daerah kekuasaannya lebih mutlak diperlukan daripada di sebuah negara agraris, seperti umum berkembang di Pulau Jawa dan memberikan kekuasaan serta kebebasan yang cukup besar kepada para penguasa daerah atau rakai-nya. Pola ekonomi kerajaan Sriwijaya antara pemerintah pusat dengan negara bawahan berupa penyerahan anugerah atau hadiah secara langsung, sedangkan dari negara bawahan ke pemerintah pusat sebagai tanda kesetiaan berupa penyerahan upeti.
Sriwijaya sebagai entreport bagi negara bawahan berfungsi sebagai perantara untuk memasarkan hasil buminya dalam perdagangan internasional. Pola ekonomi antara pemerintah pusat dengan daerah pedalaman berupa distribusi komoditi melalui jaringan sungai. Barang komoditi dari tempat asalnya dibawa ke pusat perdagangan yang paling kecil yaitu di hulu (tempat pertemuan cabang-cabang anak sungai). Fungsi pusat perdagangan di sini untuk mengawasi arus keluar masuknya komoditi dalam satuan yang kecil. Kemudian komoditi tersebut diangkut ke pusat perdagangan kedua yang terdapat di pertemuan anak-anak sungai. Fungsi pusat perdagangan kedua adalah untuk mengawasi arus perdagangan yang keluar dan masuk melalui wilayahnya. Kemudian komoditi yang terkumpul diangkut dengan kapal yang lebih besar lagi menuju ke pelabuhan utama (Sriwijaya). Fungsi pelabuhan utama adalah mengawasi komoditi yang datang dan pergi dari seluruh wilayah kekuasaannya. Sementara itu, pola ekonomi antara negara Sriwijaya dengan negara asing dapat berupa persembahan dengan maksud meminta perlindungan.
Kelangsungan negara Sriwijaya lebih bergantung pada perkembangan pola-pola perdagangannya, sedangkan pola-pola tertentu tidak sepenuhnya dapat dikuasainya. Seperti terbukti dari perkembangan sejarahnya, yaitu ketika orang-orang Cina mulai ikut berdagang di kawasan selatan, peranan Sriwijaya berkurang sebagai pangkalan utama perdagangan antara Asia Tenggara dengan Cina. Sejak abad XII, Sriwijaya hanyalah salah satu tempat yang dikunjungi pedagang-pedagang Cina. Peranan ini semakin berkurang setelah orang-orang Cina membawa sendiri keperluan mereka ke negerinya. Tempat-tempat penghasil barang dagangan yang tadinya mengumpulkan barang dagangan mereka ke pelabuhan-pelabuhan di daerah kekuasaan Sriwijaya, tidak perlu lagi berbuat demikian karena para pedagang Cina menyinggahi pelabuhan-pelabuhan mereka. Utusan dari negeri-negeri taklukkan Sriwijaya di sepanjang pesisir Selat Malaka, mulai bertindak sebagai negeri yang langsung memberikan upeti ke negeri Cina. Jadi dengan demikian mereka dianggap setaraf dengan Sriwijaya. Negeri itu antara lain Kampe dan Lamuri di Sumatera Utara (1993:72 -- 73).
E. Penutup
Karangberahi merupakan salah satu situs penting dari masa kerajaan Sriwijaya, yang ditandai dengan ditemukannya prasassti kutukan, sisa-sisa struktur bangunan, dan temuan-temuan lainnya. Keletakan situs yang dekat dengan tubuh perairan, baik sungai maupun danau memungkinkan daerah ini sebagai lokasi permukiman yang layak di masa lampau. Hal itu didukung oleh sumber daya alam yang cukup melimpah di sekitar situs, baik berupa bahan mineral (emas) maupun hasil hutan. Komoditi inilah yang diperkirakan menjadikan daerah Karangberahi ini mempunyai posisi ekonomis dan sekaligus berada di jalan lintas perdagangan yang straategis. Sedikitnya temuan arkeologis yang diperoleh di daerah ini bukan berarti bahwa daerah ini terisolasi dari daerah lainnya dalam percaturan politik dan perekonomian di masa lalu. Adanya temuan dua struktur bangunan dari bata dan komponen-komponen bangunan lainnya, serta prasasti justru menunjukkan bahwa situs Karangberahi mempunyai kedudukan yang penting pada masa Sriwijaya dan telah mempunyai organisasi kemasyarakatan yang teratur. Posisi tersebut yaitu sebagai daerah feeder points atau pengumpul komoditi hutan. Sampai saat ini daerah sepanjang perairan Batang Merangin dikenal dengan suku kubu yang masih hidup dari meramu dan mengumpulkan makanan. Tampaknya masyarakat seperti suku Kubu ini telah ada sejak dulu. Dari situs ini kemudian komoditi dibawa ke tingkat yang lebih atas, sehingga akhirnya berada di daerah city state, yaitu Sriwijaya yang sekaligus merupakan pelabuhan antara.
DAFTAR PUSTAKA
Ambary, Hasan Muarif. 1984. “Archaeological Research in Indonesian Related to Commodity Products and Maritim Trade”. Dalam SPAFA Consultative Workshop on Research on Maritim Shipping and Trade Networks in Southeast Asia). Cisarua, West Java, Indonesia, November 20 – 27, 1984. p. 81 – 88.
Amelia. 1989. “Sriwijaya Sebagai Pelabuhan Antara Sekitar Abad 7 – 13 Masehi”. Proceedings Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, Yogyakarta, 4 – 7 Juli 1989. Jilid I. Studi Regional. Jakarta: Ikatan ahli Arkeologi Indonesia, hlm. 1 – 13.
Anggraeni. 1987. “Strategi Hubungan Dagang Antara Sriwijaya dan Cina”. dalam Artefak 6:29 -- 3. Yogyakarta: Himpunan Mahasiswa Arkeologi Fakultas Sastra UGM.
Christie, Jan Wisseman. 1990. “Trade and State Formation in The Malay Peninsula and Sumatra, 300 B.C. – A.D. 700.” dalam J. Kathirithamby Wells & John Villiers, The Southeast Asian Port and Polity. Singapore: Singapore University Press, p. 39 -- 60.
Djafar, Hasan. 1992. “Prasasti-prasasti Masa Kerajaan Melayu Kuno dan Beberapa Permasalahannya.” makalah Seminar Sejarah Melayu Kuno. Jambi: Pemerintah Daerah Tk. I dan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi.
Hapsoro, Eadhiey Laksito. 1989. “Shih – li – fo – shih Siang Hari.” Proceedings Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, Yogyakarta, 4 – 7 Juli 1989. Jilid III. Metode dan Teori, hlm. 32 -- 51. Jakarta: Ikatan ahli Arkeologi Indonesia.
Hirth, F. and W.W. Rockhill. 1966. Chau Ju Kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelft and Thirteenth Centuries, entitled ‘ Chu fan chi’. St. Petersburg.
Groeneveltd, W.P. 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiles from Chinese Sources. Djakarta: Bhratara.
Lapian, A.B. 1984. “The Maritim Network in The Indonesian Archipelago in The Fourteenth Century.” SPAFA Consultative Workshop on Research on Maritim Shipping and Trade Networks in Southeast Asia). Cisarua, West Java, Indonesia, November 20 – 27, 1984. p. 71 – 80.
---------. 1992. “Jambi dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Masa Awal”, makalah Seminar Sejarah Malayu Kuno Jambi, 7 – 8 Desember 1992. Kerjasama Pemda Tingkat I Propinsi Jambi dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jambi.
Leong Sau Heng. 1990. “Collecting Centres, Feeder Points and Entreport in The Malay Peninsula, circa 1000 B.C. – A.D. 1.400.” dalam J. Kathirithamby Wells & John Villiers, The Southeast Asian Port and Polity. Singapore: Singapore University Press. P. 17 -- 38.
McKinnon, E.E. 1984. “New Data for Studying the Early Coastline in the Jambi Area”, dalam JMBRAS LVII: 56-66.
----------. 1992. “Malayu-Jambi: Interlocal and International Trade (11th to 13 th Centuries).” makalah Seminar Sejarah Melayu Kuno. Jambi: Pemerintah Daerah Tk. I dan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi.
Mundardjito. 1990. “Metode Permukiman Arkeologis.” dalam Monumen Karya Persembahan Untuk Prof Dr. R. Soekmono. Lembaran Sastra 11 (edisi khusus): 19 -- 31. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
--------. 1994. “Hubungan Situs Arkeologi dan Lingkungan di Wilayah Propinsi Jambi” dalam Laporan Hasil Penelitian Arkeologi dan Geologi Propinsi Jambi. Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jambi. Hlm. 226-251.
--------. 1995. “Kajian Kawasan: Pendekatan Strategis dalam Penelitian Arkeologi di Indonesia Dewasa Ini.”Berkala Arkeologi (Edisi Khusus): 24 -- 28. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
Purwanti, Retno. 1996. “Struktur Bangunan Ssitus Karangberahi : Sebuah Mandala?” dalam KALPATARU Majalah Arkeologi 11: 29 -- 41. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
----------. 1997. “Situs Karangberahi: Kajian pendahuluan terhadap Pola Pemukiman”, dalam CINANDI Persembahan Alumni Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada kepada Prof. Dr. H.R. Soekmono. Hlm. 135 – 139.
Rangkuti, Nurhadi. 1989. “Struktur Kota Sriwijaya di Daerah Palembang.” Proceedings Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, Yogyakarta, 4 – 7 Juli 1989. Jilid I. Studi Regional: 161 -- 177l. Jakarta: Ikatan ahli Arkeologi Indonesia.
Reid, Anthony. 1984. “Trade Goods and Trade Routes in Southeast Asia: C. 1300 – 1700.” dalam proceeding SPAFA Consultative Workshop on Research on Maritim Shipping and Trade Networks in Southeast Asia). Cisarua, West Java, Indonesia, November 20 – 27, 1984. P. 249 – 272.
Sartono, S. 1984. “Emas di Sumatera Kala Purba.”, dalam AMERTA 8: 1 -- 16. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Soekmono. 1992. “Rekonstruksi Sejarah Melayu Kuno Sesuai Tuntutan Arkeologi.” makalah Seminar Sejarah Melayu Kuno. Jambi: Pemerintah Daerah Tk. I dan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi.
Soeroso M.P. 2002. “Seni Bangunan Masa Hindu-Buddha di Jambi.” dalam 25 Tahun Kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan EFEO. Jakarta: EFEO. Hlm. 99-111.
Suleiman, Satyawati. 1984. “Maritim Routes in The Classical Periode.” SPAFA Consultative Workshop on Research on Maritim Shipping and Trade Networks in Southeast Asia). Cisarua, West Java, Indonesia, November 20 – 27, 1984. p. 53 – 70.
Tjandrasasmita, Uka. 1992. “Beberapa Catatan tentang Perdagangan di DAS Batanghari, Hubungannya dengan Jalur Perdagangan Internasional Pada Abad-abad Pertama sampai Abad XVI.”, makalah Seminar Sejarah Malayu Kuno Jambi, 7 – 8 Desember 1992. Kerjasama Pemda Tingkat I Propinsi Jambi dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jambi.
Utomo, Bambang Budi. 1996. “Daerah Aliran Sungai Batanghari dan Kerajaan Malayu: Gambaran Aktivitas Kehidupan Manusia Pada Masa Klasik.” makalah Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi Ujungpandang, 20-26 September 1996.
Wolters, O.W. 1974. Earley Indonesian Commerce : A Study of the Origin of Srivijaya. Ithaca and London : Cornell University Press.
Sumber: http://www.balarpalembang.go.id