Oleh: Bambang Budi Utomo
Pengantar
Hipotesa tentang luasnya wilayah Kerajaan Majapahit yang hampir seluas Indonesia sekarang, demikian “merasuk” dan dipercaya oleh sebagian masyarakat Indonesia. Akibat dari hipotesa yang kurang didukung oleh data yang kuat ini, timbul anggapan bahwa Majapahit adalah kerajaan maritim yang mempunyai angkatan laut yang kuat. Kapal-kapalnya menguasai jalur-jalur pelayaran di Nusantāra. Kecuali Sunda (Jawa bagian barat) yang masih satu daratan dengan Majapahit, beberapa daerah lain masuk dalam wilayah Kerajaan Majapahit.
Untuk “meluruskan” hipotesa yang sudah terlanjur berkembang tersebut, dalam makalah ini akan dikemukakan beberapa persoalan yang berkenaan dengan wilayah Majapahit, dan pelabuhan-pelabuhan penting yang berada di wilayah Majapahit. Sumber-sumber kajian diperoleh dari sumber-sumber sejarah yang berupa prasasti dan naskah-naskah. Sementara itu data menge¬nai teknologi perkapalan, baik data arkeologis yang berupa data temuan runtuhan kapal/perahu dari abad ke-13-15, data dari relief bangunan, maupun dari data prasasti dan naskah kuna, hingga kini nyaris tidak ada atau belum ditemukan.
Usaha Penyatuan Nusantara
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Beliau Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusāntara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tañjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".
Demikianlah isi Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Mahāpatih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit seperti yang dikutip dari Kitab Pararaton. Sumpah ini diucapkan di hadapan Tribhūwanottunggadewī Jayawisnu¬warddhanī (1328-1372). Atas dasar sumber Pararaton dan penyebutan nama-nama tempat di Nusāntara dalam Nāgarakĕrtāgama , sebagian besar di antara kita percaya bahwa luas wilayah Kerajaan Majapahit nyaris seluas Republik Indonesia sekarang.
“Konsekuensi” dari anggapan ter¬sebut tentu timbul pertanyaan sebe¬rapa besar angkatan laut Majapahit kala itu? Sementara itu Majapahit baru sele¬sai me¬numpas beberapa pemberontak¬an yang terjadi di Tanah Jawa (kawasan inti Maja¬pahit), seperti pem¬berontakan di Sadĕng dan Keṭa pada tahun 1331. Apakah mung¬kin Majapahit dapat menaklukan daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahannya? Memang beberapa sumber sejarah dari dua arah (Majapahit dan daerah taklukan) menyebutkan tentang penak¬lukan seperti dalam naskah Rāja Puraṇa (Kidung Pasunggrigis) menye¬butkan tentang penaklukan Bali pada tahun 1343 dan Prasasti Wadu Tunti menyebut¬kan tentang penaklukan Kerajaan Kapalu di Sumbawa pada sekitar tahun 1343. Namun di tempat-tempat lain yang daftar namanya tercantum dalam Nāgarakĕrtāgama, sumber sejarah seperti itu nyaris tidak ada. Kalaupun ada, hanya bersifat oral yang diceriterakan dari mulut ke mulut yang pada akhirnya banyak terjadi penyimpangan dan pada akhirnya hilang.
Semacam bukti arkeologis juga ditemukan di beberapa situs di luar Jawa. “Bukti” arkeologis itu antara lain berupa tembikar dalam bentuk kendi yang oleh para pakar disebut dengan istilah “kendi Majapahit” dengan ciri mempunyai payungan dan dibuat dari tanah liat halus yang berwarna merah. Kendi semacam ini ditemukan di Situs Muara Jambi (Jambi), Ketapang (Kalimantan Barat) dan Bontobontoa (Sulawesi Selatan). Dengan bukti semacam ini beberapa pakar menduga bahwa daerah tersebut merupakan salah satu bagian dari wilayah Majapahit.
Ada pendapat yang menya¬takan bahwa persatuan dapat ter¬wujud apa¬bila ada ancaman dari luar. Beberapa puluh tahun sebelum Mahāpatih Gajah Mada bersumpah untuk menyatukan Nusāntara di bawah Majapahit, Mahā¬rāja Kěrtanā¬gara dari Kerajaan Siŋha¬sāri juga berniat menyatukan Nusāntara. Hal ini dianggap penting untuk menghadapai ancaman serangan Khubilai Khan dari Kerajaan Mongol. Prasasti yang dipahatkan pada bagian belakang arca Camuṇḍi (1292 Masehi) dari Desa Ardimulyo yang dikeluarkan oleh Mahārāja Kěrtanāgara terkandung gagasan perluasan cakrawāla maṇḍala ke luar pulau Jawa yang meliputi daerah seluruh dwīpāntara. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa arca Bhaṭṭari Camuṇḍi ditahbiskan pada waktu Śrī Mahārāja Kěrtanāgara menang di seluruh wilayah dan menunduk¬kan semua pulau-pulau yang lain.
Dalam usahanya menyatukan Nusāntara, Śrī Mahārāja Kěrtanāgara tidak selalu dengan kekuatan senjata. Ekspedisi Pamalayu menghadiahkan sebuah arca Amoghapāśa kepada Mālayu sebagai tanda persahabatan merupakan contohnya. Mengenai pengiriman arca, tercantum dalam Prasasti Dharmmāśraya yang isinya sebagai berikut:
“Pada tahun 1208 Śaka sebuah arca Amo¬ghapāśa dengan keem¬pat¬belas pengiringnya dan saptaratna dibawa dari Bhūmi Jawa ke Swarnna¬bhūmi untuk ditempatkan di Dharmmāśraya seba¬gai punya Śrī Wiśwarūpa¬kumāra. Yang diperintahkan oleh Śrī Mahā¬¬rā-jādhirāja Kĕrtanāgara untuk mengi¬ringkan arca terse¬but ialah Rakryān Mahā¬mantri Dyaḥ Adwayabrahma, Rakryān Sirikan Dyaḥ Suga¬ta¬brahma, Samgat Payānan Haṅ Dipang¬ka¬radāsa, dan Rakry¬ān Dmuṅ Pu Wira. Seluruh rakyat Mālayu da¬ri keempat kasta ber¬suka cita, terutama rajanya, Śrīmat Tribhū¬wanarāja Mauli¬warmma¬dewa”.
Maksud pengiriman arca itu jelas bahwa Siŋhasāri tidak bermaksud menguasai Mālayu seperti tersirat dalam kalimat “Seluruh rakyat Mālayu da¬ri keempat kasta ber¬suka cita, terutama rajanya, Śrīmat Tribhū¬wanarāja Mauli¬warmma¬dewa”. Mungkin maksudnya mengajak beraliansi dalam menghadapi serangan tentara Mongol yang datang dari utara. Tetapi yang perlu diingat bahwa ketika itu gagasan menyatukan Nusāntara sudah mulai tumbuh jauh sebelum Gajah Mada mengucapkan sumpah Palapa-nya.
Dari kedua contoh tersebut (Majapahit dan Siŋhasāri), jelas bahwa untuk memenuhi keinginan penyatuan Nusāntara diperlukan sarana angkut¬an laut dan tentara yang kuat. Tentu saja mempunyai alasan yang kuat sebe¬lum niatan tersebut dilontarkan dan dilaksanakan, seperti Kerajaan Siŋhasāri dalam usahanya mengantisipasi serangan dari Khubilai Khan yang sebelum¬nya telah ada peringatan dengan dikirimkan¬nya utusan Mongol ke Siŋhasāri pada tahun 1280 dan 1281.
Dalam usaha mengungkap peristiwa ini Sumber sejarah yang menye¬butkan peristiwa itu juga cukup valid dan kuat seperti dalam kaitannya dengan perluasan cakrawāla maṇḍala ke luar pulau Jawa oleh Śrī Mahārāja Kěrtanāgara. Dalam mengungkap peristiwa ini ada sumber Prasasti Camuṇḍi yang ada di Jawa, Prasasti Dharmaśrāya yang ada di Sumatra (Mālayu), dan sumber naskah Pararaton dan Nāgarakĕrtāgama. Sumber-sumber sejarah tersebut saling mendukung dan mengisi. Bagaimana halnya dengan Majapa¬hit dengan sumpah Palapa-nya Gajah Mada? Apa alasannya sampai meng¬ucapkan sumpah hendak menyatukan Nusāntara?
Kalau berdasarkan bukti-bukti yang masih sumir, jelas bahwa wilayah Majapahit tidak seluas apa yang diduga oleh banyak orang. Berdasarkan sumber sejarah yang sampai kepada kita, wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit hanya meliputi sebagian Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Bali, sampai Sumbawa. Di dalam wilayah ini terdapat 21 negara daerah yang masing-masing diperintah oleh Paduka Bhaṭṭara. Negara daerah itu antara lain Mataram, Pajang, Lasĕm, Kadiri, Lumajang, Madura, Bali, dan Gurun.
Kitab Nāgarakĕrtāgama menyebutkan sekurang-kurangnya 60 nama tempat di Nusāntara mulai dari Sumatra hingga Maluku/Irian (Nāg. 13:1-2; 14:1-5). Juga nama-nama tempat yang terdapat di Semenanjung Tanah Melayu. Dalam struktur kewilayahan, tempat-tempat ini disebut desantara kacayya, yaitu tempat-tempat yang mendapat perlindungan dari Raja Maja¬pahit. Tempat-tempat ini bukan merupakan daerah wilayah kekuasaan Majapahit. Persembahan upeti pada waktu-waktu tertentu kepada Raja Majapahit, tidak lain sebagai tanda terimakasih karena Raja telah melin¬dungi, dan bukan sebagai tanda tunduk.
Negara asing yang mempunyai hubungan dengan Majapahit, antara lain Ayudhyapura, Dharmanagari, Marutma, Rajapura, Singanagari, Campa, Kamboja, dan Yawana (Nāg. 15:1). Negara-negara yang ada di Asia Tenggara daratan ini menjalin hubungan politik dan perdagangan dengan Majapahit. Mereka disebut sebagai mitra satata (negara sahabat yang sama kedudukannya).
Pelabuhan di Pantai Utara Jawa
Kalau direkonstruksi jalur-jalur pelayaran pada sekitar abad ke-7-9 Masehi berdasarkan berita-berita asing dan artefak asing seperti keramik dan kaca, agaknya Jawa masih kurang ramai jika dibandingkan dengan Sumatra bagian timur. Namun kalau ditelusuri dari gaya seni arca Śailendra (abad ke-8-9 Masehi) yang ditemukan di Jawa, Sumatra, dan Semenanjung Tanah Melayu, hubungan pelayaran di tempat-tempat tersebut cukup ramai dan intensif. Apalagi kalau ditelusuri dari perdagangan cengkeh dan pala yang hanya dihasilkan di kawasan timur Nusāntara (Maluku), tentunya pantai utara Jawa merupakan tempat yang strategis untuk pelabuhan. Posisi Jawa Timur terletak di tengah jalur pelayaran antara Sumatra dan Maluku.
Di Jawa Timur pada waktu itu, termasuk daerah inti kerajaan adalah beberapa kota pelabuhan, misalnya pelabuhan Kambang¬putih (Tuban), Pajarakan, Gresik, Surabaya, dan Canggu. Jauh sebelum Maja¬pahit, pada masa pemerintahan Raja Airlangga (abad ke-11 Masehi), di wilayah Jawa Timur telah dikenal pembagian fungsi pelabuhan sesuai dengan asal kedatangan kapal. Pela¬buhan Hujuṅgaluh yang merupakan pelabuhan sungai (Sungai Brantas) terletak di sekitar Mojo¬kerto dan diatur untuk pelabuhan pulau, sedangkan pelabuhan Kambangputih yang letaknya di pesisir Tuban diatur untuk pelabuhan antarpulau.
Nama Hujuṅgaluh disebutkan dalam Prasasti Kamalagyan yang ber¬angka tahun 959 Śaka (1037 Masehi) sebagai sebuah kota pelabuhan dan perniagaan yang terpenting pada masa itu. Kapal-kapal niaga dan para saudagar dari pulau-pulau lain berdatangan ke Hujuṅgaluh untuk berniaga (“…….. maparahu samanghulu mangalap bhanda ri hujunggaluh tka rikang para puhawang para banyaga sangka ring dwipantara, samanunten ri hujunggaluh ……..”). Pelabuhan ini terletak di daerah delta Brantas, kira-kira dekat kota Surabaya sekarang.
Tuban dengan Kambangputih sebagai pelabuhannya, juga merupakan tempat penting untuk disinggahi para saudagar. Tempat ini juga baik sebagai tempat untuk memperbaiki kapal-kapal niaga yang rusak karena dekat hutan jati sebagai bahan pembuat dinding lambung. Pada awalnya Tuban meru¬pakan pelabuhan yang ideal. Di pelabuhan ini banyak tinggal orang Tionghoa yang berasal dari Kanton dan Chang-chou. Namun pada akhir Majapahit, Tuban dikenal sebagai pelabuhan yang tidak aman. Sumber-sumber Tiong¬hoa abad ke-15 menyebut pelabuhan Tuban sebagai tempat yang tidak aman, sehingga kapal-kapal saudagar Tionghoa menjauhinya. Mereka lebih suka ke Gesik dan Surabhaya. Kapal-kapal Tuban memaksa dengan kekeras¬an kapal-kapal Tionghoa agar singgah di Tuban. Selanjutnya disebutkan bahwa Tuban sebagai sarang lanun.
Dari beberapa pelabuhan yang terdapat di pantai utara Jawa Timur, agaknya pelabuhan Gresik yang paling berperan. Peranan Gresik sebagai kota pelabuhan tidak dapat dipisahkan dari rangkaiannya dengan kota-kota pelabuhan lainnya di daerah pantai utara Jawa Timur, seperti Tuban (Ta-pan atau Tu-pan), Sidhayu, Hujuṅgaluh (Jung-ya-lu atau Chung-kia-lu), dan Surabhaya. Lebih-lebih lagi jika kita lihat dari perspektif perkotaan dan perniagaan dari kurun waktu antara abad ke-11 sampai sekitar awal abad ke-16, Gresik dapat berkembang karena dukungan pelabuhan-pelabuhan lain serta keletakkan geografisnya yang lebih menguntungkan.
Sejalan dengan perkembangan perdagangan antara kawasan timur dan barat Nusāntara, di Jawa Timur pada masa Majapahit lahir pula beberapa kota pelabuhan. Kota-kota pelabuhan yang sudah ada berkembang lebih besar lagi. Kota-kota pelabuhan yang lahir pada masa Majapahit antara lain Canggu yang disebutkan dalam prasasti Selamandi II tahun 1318 Śaka (1396 Masehi). dan prasasti Canggu (Trawulan I) tahun 1280 Śaka (1358 Masehi).
Berdasarkan hasil penelitian arkeologi di Situs Manyar (Gresik), permukiman di Gresik telah muncul pada sekitar abad ke-13 Masehi. Meskipun telah lama dihuni, nama Gresik baru muncul pada masa Majapahit. Dalam prasasti Karangbogem (Trawulan V) yang dikeluarkan oleh Bhre Lasĕm pada tahun 1387 Masehi, disebutkan adanya orang-orang dari Gresik (“hana ta kawulaningong saking gresik”) yang diperkerjakan di perusahan tambak (perikanan) di Karangbogem. Menurut berita Tionghoa yang ditulis oleh Ma Huan (1433 Masehi), Gresik merupakan sebuah ‘Desa Baru’ yang dalam bahasa Mandarin disebut Ko-erh-hsi. Desa baru ini terletak di sebelah timur Tuban pada jarak sekitar setengah hari perjalanan.
Pada awalnya Gresik merupakan daerah pantai berpasir. Oleh orang-orang Tionghoa yang datang dari Tiongkok Tengah, antara tahun 1350 dan 1400 Masehi dibangun menjadi sebuah desa pemukiman yang baru. Gresik berkembang pesat setelah tahun 1400 Masehi, dan ketika Ma Huan datang Gresik telah menjadi sebuah kota pelabuhan terbaik dan terpenting. Nama Gresik (Ko-erh-shi) disebut dalam Ying-yai Shĕng-lan bersama-sama dengan nama Tuban (Tu-pan), Surabhaya (Su-lu-ma-i atau Su-erh-pa-ya), Canggu (Chang-ku), dan Majapahit (Man-che-po-i). Penghuninya telah berkembang menjadi lebih dari seribu keluarga. Orang asing dari berbagai tempat banyak berdatangan ke tempat ini untuk berniaga. Berbagai jenis barang dagangan diperjual-belikan dalam jumlah yang banyak. Karena perdagangan ini penduduk kota Gresik menjadi sangat makmur.
Ma Huan menyebutkan barang-barang dagangan yang diperjual-belikan di pelabuhan Gresik diantaranya berupa emas dan batu-permata, dan berbagai jenis barang dagangan dari luar negeri. Dari kawasan timur Nusāntara diperjual-belikan pula rempah-rempah dari Maluku dan kayu cendana (sandalwood) dari Timor yang ditukar dengan beras, tekstil, dan keramik.
Menurut Tomé Pires dalam Suma Oriental, kota pelabuhan Gresik (Agracij, Agacij, atau Agraci) pada sekitar tahun 1512 merupakan sebuah bandar yang besar dan terbaik di seluruh Jawa, sehingga dijuluki “Permata dari Jawa”. Para pedagang asing dari Gujarat, Calicut, Benggala, Siam, Tiongkok, dan Liu-Kiu (Lequeos) sudah sejak lama berdatangan untuk berniaga di pelabuhan ini.
Gresik mempunyai dua bagian kota yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Kota pelabuhan Gresik dihubungkan di bagian utara dengan kota pelabuhan Sidhayu (Cedayo), dan di bagian selatan, dihubungkan dengan pelabuhan Surubhaya (Curubaia). Tomé Pires mengemukakan pula bahwa kota pelabuhan Gresik diperintah oleh dua penguasa yang saling bersaing. Penguasa ini yang satu bernama Adipati Jusuf (Pate Cucuf) menguasai sebagian besar wilayah, dan yang lainnya bernama Adipati Zainal (Pate Zeynall) menguasai bagian wilayah lainnya. Para penguasa Gresik ini juga merupakan saudagar-saudagar yang melakukan kegiatan perniagaan dengan Maluku dan Banda. Kota pelabuhan Gresik pada waktu itu berpen¬duduk sekitar 6.000 sampai 7.000 orang.
Galangan Junk
Hingga saat ini, data dan informasi mengenai teknologi perkapalan dari masa Majapahit (abad ke-14-15 Masehi) sangat kurang, bahkan dapat dikatakan nyaris tidak ada. Berdasarkan data yang minim itu, kita hanya dapat mengira-ngira sampai seberapa tinggi teknologi perkapalan pada masa itu. Perkiraan itu dapat direkonstruksi berdasarkan logika perkembangan teknologi perkapalan dari masa sebelumnya.
Data arkeologi maritim yang diperoleh dari beberapa situs dengan tinggalannya runtuhan perahu/kapal seperti di Muara Kumpeh (Jambi), Sam¬birejo dan Tulung Selapan (Sumatra Selatan), dan Punjulharjo (Rembang, Jawa Tengah), menginformasikan pada kita bahwa teknologi perkapalan yang dikembangkan pada masa itu (abad ke-8-9 Masehi) adalah “teknik papan-ikat dan kupingan pengikat” (sewn-plank and lashed-lug technique) di wilayah tradisi Asia Tenggara. Mengenai bentuknya, secara garis besar dapat diketahui dari beberapa relief perahu dan kapal yang dipahatkan pada relief-cerita Lalitawistara.
Penggunaan kapal sebagai waha¬na untuk mengarungi samudra dan me¬nyeberangi pulau-pulau di Nusāntara sejak abad ke-8 Masehi, dan bahkan sejak sebelum tarikh Masehi sudah dila¬kukan penghuni Nusāntara ini. Dengan teknologi “sederhana” mereka sudah dapat menyeberangi samudra. Sebut saja ketika Śrī Mahā¬¬rā¬jādhirāja Kĕrtanāgara mengirimkan arca Amoghapāśa dengan keem¬pat¬belas pengiringnya dan saptaratna dari Bhūmi Jawa ke Swarnna¬bhūmi untuk ditempatkan di Dharmmāśraya, tentu meng¬gu¬nakan wahana kapal yang berukuran besar. Kalau dari masa sebelum Majapahit sudah dapat mengarungi samudra, tidak mustahil pada masa Majapahit tentu juga demikian. Adanya pelabuhan-pelabuhan di wilayah Majapahit merupa¬kan suatu petunjuk. Sebuah data sejarah yang ditemukan di Lasĕm mem-berikan petunjuk yang masih awal tentang kepemilikan junk-junk perang oleh Majapahit.
Menuju arah timur dari rangkaian pelabuhan di pantai utara Jawa Timur, terdapat sebuah pelabuhan tua yang bernama Lasĕm. Nama Lasěm selama ini hanya dikenal dalam kakawin Nāgarakěrtāgama pupuh 5:1 sebagai tempat tinggal Bhre Lasěm (Śrī Rājasaduhitendudewi) yang dikun¬jungi Hayam Wuruk tahun 1354 Masehi. Informasi mutakhir tentang Lasĕm ditemukan pada sekitar tahun 1980-an, yaitu Babad Lasěm. Babad Lasěm merupakan salinan dari isi sebuah babad bernama Pustaka Badrasanti yang ditulis oleh Kamzah, seorang bangsawan Lasěm yang hidup tahun 1825. Dalam babad ini disebutkan beberapa nama pemukiman masa Bhre Lasěm memerintah pada tahun 1273 Śaka. Tempat-tempat tersebut antara lain Kaeringan, Teluk Regol, Keraton Kryan, Bonang-Binangun, dan beberapa tempat keagamaan.
Kaeringan merupakan se¬buah pelabuhan yang telah ada sejak masa Dewi Indu (Bhre Lasěm, Śrī Rājasaduhitendudewi) berkuasa. Suaminya, Rājasa¬ward¬dhana (Bhre Matahun) dise-butkan menguasai junk-junk perang yang berada di tempat (pelabuhan) ini. Sampai masa Islam masuk di pantai utara Jawa, Kaeringan masih berfungsi sebagai pelabuhan. Dari masa ini disebutkan bahwa Pangeran Santikusumo ketika berusia 18 tahun, naik perahu dari tempat ini menuju Tuban.
Pelabuhan lain di sekitar Lasěm adalah Teluk Regol. Di pelabuhan ini juga terdapat junk-junk perang yang dikuasai oleh Rājasawarddhana. Disebutkan juga berlabuhnya junk-junk Campa milik saudagar Bi Nang Un di Teluk Regol. Dari nama Bi Nang Un, nama Regol kemudian berubah menjadi Binangun, sebuah desa sekitar 4 km menuju arah timur Lasem. Letaknya di tepi sebuah teluk yang berair tenang.
Sebuah penelitian arkeologi di daerah Lasěm berhasil mengidentifikasi¬kan nama-nama tempat yang disebutkan dalam Babad Lasěm. Di Situs Kiringan yang dalam Babad Lasěm disebut Kaeringan terdapat tinggalan budaya yang berupa struktur bata, tembikar, keramik, matauang kepeng, dan bandul jaring; di Situs Binangun yang dalam Babad Lasěm disebut Pelabuhan Regol terdapat tinggalan budaya yang berupa sumur kuna, bata dan batu candi, keramik, dan manik-manik. Kedua situs tersebut letaknya di daerah pantai.
Secara geografis Lasěm memang menempati posisi yang strategis di antara Jepara dan Tuban. Dari sisi sumberdaya alam yang dekat hutan jati di kawasan pedalaman sangat memungkinkan untuk pembuatan/perbaikan junk. Sumber-sumber Portugis dan Belanda menginformasikan bahwa Lasěm merupa¬kan salah satu tempat di Jawa yang dipakai sebagai galangan kapal, bahkan merupakan pusat industri kapal. Kapal-kapal yang dibuat disini adalah kapal yang berukuran kecil khusus untuk berperang. Keahlian ini mungkin sudah ada jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Nusāntara. Seperti yang diberitakan Babad Lasĕm bahwa Rājasawarddhana (Bhre Matahun) menguasai junk-junk perang yang berada di pelabuhan Kaeringan dan Teluk Regol.
Majapahit merupakan sebuah kerajaan agraris yang keletakkannya di Nusāntara di tengah jalur perdagangan/pelayaran antara bagian timur dan barat Nusāntara. Para saudagar dari timur Nusāntara membawa rempah-rempah (cengkeh dan Pala), sedangkan dari barat membawa hasil hutan (kapur barus, kemenyan, dan damar) dan produk dari Timur Tengah (kaca). Para saudagar ini bertemu di salah satu pela¬buhan di wilayah Majapahit. Karena keletakkannya inilah Majapahit berusaha memono¬poli perdagangan Nusāntara melalui pelabuhan-pelabuhannya di pantai utara Jawa bagian timur. Wajar jika para saudagar dari kerajaan-kerajaan kecil di Nusāntara memohon perlindungan pada Raja Majapahit sebagai desantara kacayya.
Berdasarkan sumber Babad Lasĕm dan lokasi geografis Majapahit, dapat diperoleh gam¬baran bahwa Majapahit memang memerlukan junk-junk perang yang mungkin ukurannya lebih kecil tetapi mempunyai kelincahan yang tinggi. Junk-junk perang ini diperlukan untuk mengamankan perairan Majapahit di Laut Jawa dan pelabuhan-pelabuhannya di pantai utara Jawa seperti Lasĕm, Tuban (Kambangputih), Sidhayu, Gresik, Surabhaya, dan Canggu. Mengenai bentuk, apalagi teknologinya belum dapat diketahui dengan pasti karena hingga kini belum pernah ditemukan bukti runtuhannya.
Saudagar Tionghoa arungi lautan
Kota Lasem tempatnya merapat
Jangan cepat ambil simpulan
Sebelum ada bukti tepat
(Bambang Budi Utomo, Kerani Rendahan)
Kepustakaan:
Armando Corteso, 1944, The Suma Oriental of Tomé Pires. An Account of the East, from Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512-1515. Transla¬ted from Portuguese MS in the Bibliothèque de la Cambre des Députés, Paris, and edited by Armando Corteso. London: Hakluyt Society, 2 vols, hlm. 192-194.
Atmodjo, M.M. Soekarto Karto, 1994, “Beberapa temuan prasasti baru di Indonesia”, dalam Berkala Arkeologi Tahun XIV Edisi Khusus (Evaluasi Data dan Interpretasi Baru Sejarah Indonesia Kuna), hlm. 2-3. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta
Berg, C.C, 1927, “Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aantekeningen,” dalam BKI 83: 77
Berg, C.C., 1930, “Rangga Lawe, Middeljavaansche historische roman”, dalam Bibliotheca Javanica, 1. Weltevreden
Boechari, 1985/1986, Prasasti Koleksi Museum Nasional, I. Jakarta: Museum Nasional, hlm.116-117
Brandes, J.L.A., 1913, “Oud-Javaansche Oorkonden”, dalam VBG, LX:134-136 (OJO LXI).
de Casparis, J.G., 1958, “Airlangga”, Pidato Diucapkan pada Peres¬mian Penerima¬an Djabatan Guru Besar dalam Mata Peladjaran Sedja¬rah Indonesia Lama dan Bahasa Sansekerta pada Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Universitas Airlangga di Malang jang Diadakan di Malang pada Hari Saptu Tgl. 26 April 1958. Surabaja: Penerbitan Universitas
Damais, L.Ch., 1955, “Ètudes d’Épigraphie Indonésienne: IV. Discussion de la date des inscriptions”, dalam BEFEO XLVII, hlm 151-153.
Groeneveldt W.P., 1960, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources. Djakarta: Bhratara, hlm. 47.
Hirth, F. and W.W. Rochill, 1966, Chau Ju-kua, His Work on Chinese and Arab Trade in Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled Chu-fan-chi. Amsterdam: Oriental Press, hlm. 83, 86.
Ketut Ginarsa, 1977, “Ekspedisi Gajah Mada ke Bali”, dalam MISI VII(1), hlm. 27-65.
Krom, N.J., 1916, “Een Sumatraansche Inscriptie van Koning Krtana¬ga¬ra”, dalam VMKAWL, 5e serie, dl. II, hlm. 306-339
Lapian, A.B., 1979, “Pelayaran dalam Periode Sriwijaya”, dalam Pra-Seminar Penelitian Sriwijaya hal. 95-103. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.
Lapian, Adrian B., 2008, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17. Depok: Komunitas Bambu
Manguin, Pierre-Yves., 1985, “Late Mediaeval Asian Shipbuilding in the Indian Ocean: A Reappraisal.” Dalam Moyen Orient et Océan Indien II (2): 24
Manguin, P.Y. 1985, “Sewn-plank craft of Southeast Asia: a prelimary review”, Archeological Series 10. Greenwich: National Maritime Museum
Meilink-Roelofsz, M.A.P.,1962, Asian Trade an European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1630.’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, hlm. 109-110
Mills, J.V.G., 1970, Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan. The Overall Survey of the Oceans’s Shore, (1433). London: Hakluyth Society, hlm. 89-91
Padmapuspita, Ki J., 1966, Pararaton. Teks Bahasa Kawi, terjemahan Bahasa Indonesia. Jogjakarta: Taman Siswa.
Pigeaud, Th. G. Th., 1960, Java in the 14th Century: A Study in Cultural History. The Nāgara-kĕrtāgama by Rakawi Prapañca of Majapahit, 1365 A.D. Vol. I. the Hague: Martinus Nijhoff
Rangkuti, Nurhadi, 1988, “Kajian arkeologi situs masa sejarah di Lasem: Pergeser¬an pusat kegiatan”. Makalah dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi VI. Jakarta 11-12 Februari 1988. Diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Komda DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Satari, Soejatmi, 1985, “Caruban, Lasem: Suatu Situs Peralihan Klasik-Islam”, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi III, hlm. 487-499. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Schreke, B.J.O., 1957, Indonesian Sociological Studies, Part Two: Ruler and Realm in Early Java. The Hague/Bandung: W. van. Hoeve, hlm. 296; 1960
Schreke, B.J.O., 1960, Indonesian Sociological Studies, Part One. The Hague: W. van Hoeve. Second Edition, hlm. 25
Slametmulyana 2006, Tafsir Sejarah Nagara Kretagama. Jakarta: LkiS Yogyakarta
Sumber: http://arkeologijawa.com