Oleh Adi Prasetijo
Pengantar
Paradigma adalah jendela sudut pandang yang mendasari kita dalam melihat suatu gejala tertentu dimana dalam paradigma itu bersandar pada suatu konsep/teori tertentu yang mendasari keseluruhan sudur pandang kita. Demikian pula ketika Depsos/pemerintah dalam melihat gejala “masayarakat terasing” ini. Kebijakan yang mereka hasilkan terhadap “masyarakat terasing” merupakan cerminan dari sudut pandang pemerintah dalam menghadapi permasalahan ini. Tentunya sudut pandang/paradigma yang mereka gunakan juga tidak lepas dari paradigma ilmu-ilmu sosial yang digunakan dalam pembangunan Indonesia.
Berdasarkan buku Proyek dan Sistem Pelayanan Proyek Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat Terasing (1981), pemerintah memandang indigenous people (masyarakat adat) sebagai suatu masalah sosial. Lihat pernyataannya secara tegas “masyarakat terasing adalah merupakan sebagian dari masalah sosial di Indonesia” (1981). Mereka dianggap sebagai suatu permasalahan sosial karena dengan keterasingan & keterbelakangannya akan membuat mereka menjadi kelompok masyarakat yang rawan sosial. Dalam buku panduan tersebut memang tidak disebutkan secara tegas tentang apa itu “rawan sosial”, tetapi bisa saya interpretasikan sebagai keadaan kelabilan/ketidakmantapan sosial politik dari masyarakat karena keterasingan & keterbelakangannya sehingga memunculkan akan permasalahan sosial. Untuk memantapkannya/menstabilkannya maka pemerintah membuat program-program pembangunan utk mereka. Agar kehidupan mereka stabil/mantap, kehidupan mereka disesuaikan dengan norma-norma standart yg berlaku dalam masyarakat Ind. Seperti memeluk agama resmi yg diakui oleh pemerintah, hidup di desa dll.
Paradigma pembangunan yang digunakan adalah pembangunan yg sifatnya top-down, istilah yang dipakai adalah “pembinaan”. Untuk melaksanakan pembinaan itu maka dibuatlah Proyek Pengembangan Kesejahteraan Masyarakat Terasing (PKSMT). Hal ini juga diakui sendiri oleh mereka, berdasarkan hasil wawancara saya dengan mereka (kasubditnya). Dengan pendekatan seperti ini maka yg terjadi adalah indikasi-indikasi keberhasilan & lingkup pembangunannya (aspek fisik & non fisik) ditentukan oleh pemerintah. Dan indikasi keberhasilan yang paling menonjol, terlihat & dapat dihitung peningkatannya/dikuantifikasikan adalah “pemukiman” karena hasil akhirnya berupa desa pemukiman, jumlah rumah, jumlah penduduk yg dimukimkan, jumlah org yg masuk Islam dsb-nya, yg kesemuanya adalah data-data yg berwujud angka-angka statistik . Porsi indikator pemukiman ini cukup dominan dibandingkan oleh indikasi keberhasilan sosial lain. Pemukiman seperti menjadi semacam “entry point” dan cakupan nilai keberhasilan seluruh hasil pembangunan. Yang menjadi sasaran utamanya adalah masyarakat terasing dengan skala prioritas terbesar adalah “masyarakat setengah-kelana” (ada 3, yaitu kelana, setengah-kelana, & menetap-sementara). Diharapkan dengan sudah menetapnya masyarakat ini maka akan bisa menyerap masyarakat kelana, masyarakat kelananya akan ikut menetap, sehingga ada efek gandanya. Bagi saya, pemerintah melihat kehidupan menetap sebagai suatu bentuk kehidupan yang stabil & mantap. Ini nampak dalam tujuan pemukiman melalui program pemukiman kembalinya (resettlement) & pengumpulan masyarakat yang terpencar dlm 1 lokasi yang ditulis sebagai sebuah langkah awal untuk pemantapan sosial, ekonomi, & budaya. Jadi memang, keterpencaran mereka dianggap sebagai suatu masalah sosial juga.
Dalam tahapan-tahapan pembangunan untuk mereka, dari masa/tahap persiapan, pembinaan, pemantapan, dan terakhir pengembangan (semuanya ditulis perlu waktu 4 thn, diluar waktu persiapan), meskipun aspek non fisik juga diperhatikan namun pemukiman mendapatkan perhatian lebih seperti nampak adanya sub bab khsus yang menerangkan hal itu secara terperinci. Pelaksanaan program dilakukan oleh pusat dan daerah melalui kanwil-kanwil dan dinas-dinas sosialnya di daerah.
Reformasi : Dari masalah sosial ke pemberdayaan.. ?
Dalam kebijakan mereka di thn 1999/2000 ini, masayarakat adat masih disebut sebagai “masyarakat terasing” yang membawa masalah sosial. Namun titik pandang melihat masalah sosialnya yang berbeda. Mereka dianggap sebagai lapisan masyarakat paling bawah dalam strata perkembangan masyarakat Ind. yang mempunyai masalah sosial dengan berbagai ketertinggalan dalam pencapaian pemenuhan kebutuhan dasar hidup layaknya manusia. Dengan keadaan ketertinggalan itu mereka sulit untuk mencapai standart hidup manusia normal. Masalah sosial masyarakat terasing ini, juga dilihat dalam koridor pemerataan hasil-hasil pembangunan dan azas keadilan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Jadi memang point of view-nya berbeda dengan masa Orde Baru sebelumnya. Masalah sosial bukan lagi disandarkan pada wujud stabil/tidaknya struktur sosial masyarakat tetapi kepada pemenuhan standart hidup & keadilan sosial.
Pembagian masyarakat terasing tetap menjadi kelana, menetap sementara, & menetap, istilahnya saja yang diganti. Sasaran target program pembangunannya diarahkan pada masyarakat terasing yang ada di propinsi/daerah perbatasan, seperti Irian Jaya, Kaltim, Kalbar, Riau dengan tetap memperhatikan daerah lain yang masih terdapat permasalahan masyarakat terasing (1999/2000,5). Jadi memang berbeda pada masa Orde Baru, penekanan lebih diarahkan pada daerah perbatasan bukan lagi penggolongan pada macam masyarakatnya (kelana, setengah-kelana, & menetap) tapi pada prioritas daerah. Pertimbangannya mungkin karena selain jumlah masyarakat terasingnya & sebagai kestabilan sosial politik & wilayah masyarakat sebab dekat dengan wilayah perbatasan.
Program pembangunannya masih menggunakan azas pembinaan, namun mereka sudah menyisipkan konsep-konsep pemberdayaan & partisipasi. Seperti nampak dalam tujuan pembinaan mereka, yaitu ” Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing (PKMT) bertujuan memberdayakan masayarakat terasing dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan agar mereka dapat berperan aktif dalam pembangunan untuk memperkuat integrasi nasional dengan menggunakan pendekatan partisipatif & memperhatikan potensi sosial budaya & lingkungannya” (1999/2000,hlm.3). Jadi memang terlihat kesan bahwa masyarakat terasing ini oleh pemerintah dianggap sebagai masyarakat yang punya potensi demi integrasi bangsa tapi kurang berdaya sehingga perlu dibina oleh pemerintah untuk dapat berperan aktif. Pemukiman tetap mendapatkan porsi perhatian yang besar dalam mengukur tingkat keberhasilan program. Seperti yang tertulis di hasil pembinaan dalam Data & Informasi Pembinaan Masayarakat Terasing 1999/2000, yang menyebutkan bahwa secara kualitas masayarakat terasing tersebut telah menetap dan mnejadi warga binaan dalam pemukiman sosial yang teratur dan telah memanfaatkan sarana-sarana sosial yang ada (1999/2000, hlm.9) Berbedanya adalah sekarang ada konsep pembinaannya yang mengarah pada pengembangan kemandirian masayarakat terasing dalam memenuhi kebutuhan hidup pada berbagai aspek kehidupan dan penghidupan agar mampu menanggapi perubahan sosial budaya (1999/2000,hlm.3). Dengan demikian maka arah pola pembinaan pemukimannya juga berubah tidak sepenuhnya top down lagi tapi mulai berusaha untuk mengakomodasi keinginanan warga sebagai perwujudan konsep pemberdayaan dan kemandirian itu. Dan itu nampak dalam strategi pembinaannya dengan pembagian Tipe Pemukiman Sosial di Tempat Asal (TPA) atau pola pembinaan in-situ dan Tipe Pemukiman Sosial di Tempat Baru (TPB) atau eks-situ. Dengan pola-pola pembinaan ini, sepertinya pemerintah ingin untuk tidak memaksakan masyarakat adat tersebut untuk pindah (resettlement) ke lokasi pemukiman lain. Mereka bisa memilih jenis pemukimannya, in-situ atau eks-situ. Namun ini nampaknya masyarakat tearsing disuruh untuk memilih pilihan-pilihan yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Jadi mereka juga tidak sepenuhnya mandiri dalam menentukan pilihannya sendiri, tetap dalam koridor kebijakan pemerintah yaitu pemukiman.
Dalam kebijakan PKSMT tersebut juga mulai memperlihatkan bentuk pembinaan masyarakat terasing yang diusahakan beragam dan melibatkan pihak-pihak lain, tidak seperti masa sebelumnya yang sifatnya lebih tunggal yaitu resettlement . Disebutkan ada 4 bentuk pembinaannya, yaitu pemukiman ditempat asal (in-situ development), Stimulus Pengembangan Masyarakat (SPM), pemukiman ditempat baru (Ex situ development), & kesepakatan dan Rujukan (TKR). Untuk program Stimulus Pengembangan Masyarakat (SPM), sebenarnya adalah program pembinaan yang hampir sama dengan program pembinaan PKSMT yang menitikberatkan pada bentuk pemukiman yang terpadu (tentunya bersama prasarana & infrastrukturnya) tapi SPM ini lebih cenderung utk hanya memberikan komponen-komponen tertentu saja yang berkaitan dengan sarana sosial dan umum saja. Seperti misalnya pembibitan-hanya diberi benih & pelatihan, dll, tidak diberi rumah pemukiman. Jadi SPM lebih menuntut kepada tingkat swadaya masyarakat terasing yang tinggi. Diklaim oleh pihak Depsos bahwa pendekatan ini sudah dilakukan di 8 lokasi pemukiman masyarakat terasing (Jayaputra,1999, hlm.7-11). Namun yang menarik dari program ini, dari artikel yang ditulis oleh Depsos sendiri (Jayaputra,1999, hlm.7-11) ternyata pelaksanaannya juga di lokasi pemukiman masyarakat terasing yang sudah dilakukan program pembinaan terlebih dahulu. Jadi seperti program susulan/sampingan dari program-program yang sudah ada sebelumnya.
Pemilihan lokasi, in-situ/eks-situ & bentuk pembinaan yang dirasakan tepat berdasarkan hasil studi pengkajian yang dilakukan oleh para pakar Depsos, LSM, & PTN setempat (disebut Forum Konsultasi Daerah). Dalam studi pengkajian ini, sudah digunakan metode PRA oleh para pakar sehingga diharapkan dapat mampu menangkap aspirasi masyarakat terasing sepenuhnya (Pengkajian Calon Lokasi Pembinaan Masyarakat Terasing; Jambi, Sulteng, Sumsel, & Bengkulu, 1999). Tahapan dalam pelaksanaan PKSMT juga tetap sama, seperti persiapan, pelaksanaan, & pengakhiran program, namun diraih dalam jangka waktu yg lama yaitu 5 thn. Proses pembinaan yang lama ini sebenarnya juga dapat menimbulkan permasalahan baru yaitu tingkat kejenuhan warga dalam melalui proses pembinaan tersebut. Sebab proses pelaksanaan program-program tersebut mempunyai tahapan waktu pelaksanaan program yang ketat, dari penjajagan, persiapan, hingga pelaksanaan pembinaan. Dimana dalam tahapan-tahapan tersebut terdapat tahapan-tahapan yang lebih rinci dan runut sehingga sepertinya masyarakat terasing tersebut harus mengikuti proses pembangunan yang bertingkat dan panjang. Dan ini sepertinya mereka sadari dengan mengubah jangka waktu pembinaan ini menjadi lebih pendek yaitu 3 tahun pada panduan pemberdayaan masyarakat terasing tahun berikutnya.
Kendala yang masih dirasakan oleh Depsos dalam membina masyarakat terasing adalah letak lokasi masyarakat terasing yang masih terpencar, masih hidup dalam ekonomi subsisten, sedikit kontak dengan orang luar, dan terikat pada kepercayaan yang animisme & dinamisme (1999/2000, hlm.9). Namun kini pihak Depsos juga mulai melihat ada kekurangan dlm pelaksanaannya, berbeda dengan masa Orba dulu yang menekankan pada otoritas negara, seperti kemampuan tenaga pelaksana yg terbatas, biaya pembinaan yg tidak seimbang, & lokasi geografis yg sulit (1999/2000, hlm.9). Nampaknya meskipun sudah adanya konsep pemberdayaan, tetapi tetap penghormatan kepada nilai-nilai tradisi (kepercayaan) masyarakat terasing
Perubahan Istilah =Perubahan Paradigma ?
Berbeda dengan kebijakan sebelumnya, dalam kebijakan baru ini Depsos sudah mengambil Konvensi ILO 169 tentang indigenous people sebagai bahan acuan, sehingga dengan demikian ada keinginan pemerintah utk mulai menunjukan sikap penghormatan kepada hak-hak azasi manusia. Dan itu diwujudkan dengan mengganti nama “masyarakat terasing” dengan ” komunitas adat terpencil” berdasarkan Keppres 111 tahun 1999 tentang PKSKAT (Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil). Komunitas Adat Terpencil (KAT) itu diartikan sebagai “……kelompok orang yang hidup dalam kesatuan-kesatuan sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang/belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik…..”(Panduan Umum Pengembangan Kesejahteraan Sosial KAT,2001,hlm.4). Penggantian itu berdasarkan hasil pertemuan Depsos dengan masyarakat adat dalam KMAN tahun 1999 kemarin, pak. Berdasarkan hasil wawancara saya dan beberapa media massa yg saya baca, antara lain di Suara Pembaruan,8/4/1999, penggantian itu bukan berdasarkan dari keinginan mereka untuk menggunakan Konvensi ILO 169/hak azasi manusia tetapi lebih kepada pemenuhan terhadap tuntutan yang berkembang ketika reformasi berlangsung. Nampaknya KMAN kemarin tersebut mempunyai dampak yang cukup luar biasa pada mereka, pak. Dan itu juga tercantum dalam latar belakang pendahuluannya yang menyebutkan beberapoa isu reformasi yang mendasari perubahan kebijakan mereka seperti isu demokratisasi, keterbukaan, penghormatan terhadap hak azasi manusia, kepastian hukum, dan debirokratisasi serta desentralisasi khususnya dalam mewujudkan otonomi daerah (2001, hlm.3).
Dalam peraturan yang baru ini, terlihat pemerintah tidak lagi melihat masyarakat terasing sebagai potensi pembuat atau penyandang masalah sosial, tetapi lebih pada konsep pemberdayaan yang menekankan pada pembangkitkan kesadaran akan kemandirian. Seperti tercantum dalam arti konsep pemberdayaan KAT sendiri yaitu sebagai ” ..proses pembelajaran sosial dengan dihargainya inisiatif dan kreasi masyarakat terhadap persoalan ynag dihadapi sehingga masyarakat secara mandiri dapat mengaktualisasikan dirinya dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya ” (2001,hlm.4). Sedangkan sasaran pemberdayaannya sendiri juga berbeda. Kalau pada masa-masa sebelumnya sasaran ditekankan kepada masyarakat terasing yang dianggap sebagai masalah sosial, kini sasaran pemberdayaan KAT tidak hanya diarahkan kepada mereka saja tetapi juga pada masyarakat sekitar lokasi pemukiman KAT, PT, dunia usaha, lembaga sosial, dan perorangan. Dengan konsep pemberdayaan yang menekankan pada kemandirian ini pada akhirnya diharapkan debirokratisasi peranan pemerintah pusat dan berusaha memunculkan peranan daerah dan masyarakat luas melalui LSM, dunia usaha, PT, dan perorangan. Seperti terlihat pada arah pemberdayaan KAT yang tidak hanya ditujukan pada masyarakat adat saja tetapi juga pada aparatur, LSM, dunia usaha, PT dan lainnya. Permasalahan dan kendala yang dihadapi juga berubah. Permasalahannya tidak lagi menitikberatkan pada nilai-nilai tradisi masyarakat terasing yang dianggap tidak sesuai dengan pembangunan melainkan sudah memasukan perwujudan keadilan sosial; kelembagaan sosial yang belum berkembang baik karena eksploitasi ekonomi, politik, dan budaya; masalah perlindungan sumber daya masyarakat terasing; terisolirnya mereka secara geografis; dan pengenalan nilai-nilai baru yang tidak sesuai dengan nilai-nilai KAT itu sendiri yang menyebabkan mereka menjadi tercerabut dari akar budayanya (2001,hlm.7). Sepertinya secara implisit mereka telah mengakui bahwa pengenalan nilai-nilai luar dalam program-program mereka sebelumnya telah membuat masyarakat terasing menjadi tercerabut akar budayanya.
Namun kalau kita cermati lagi dalam buku Panduan Teknis Pemberdayaan Lingkungan Sosial KAT 2000, yaitu buku panduan teknis untuk daerah terlihat bahwa KAT dengan kondisi keterpencilannya disebutkan mempunyai sejumlah masalah yang melekat pada dirinya. Yaitu :
masalah kesenjangan sistem sosial, budaya dengan masyarakat lainnya.
masalah ketertinggalan dalam sistem sosial, sistem teknologi, dan sistem ideologi.
masalah keterbelakangan dalam berbagai segi kehidupan dan penghidupan (Panduan Teknis Pemberdayaan Lingkungan Sosial KAT, 2000, hlm. 9).
Jadi sepertinya pemerintah/Depsos masih melihat dalam diri KAT sendiri masih ada sejumlah masalah yang menjadi penghalang mereka untuk maju. Seperti sistem sosial, teknologi, dan budaya yang dianggap berbeda/ tertinggal/terbelakang sehingga terjadi kesejangan dengan masyarakat lainnya. Kemudian dalam bagian selanjutnya, mereka juga melihat sistem pertanian slah and burn yang dilakukan oleh sebagian KAT dianggap sebagai sumber pengrusakan lingkungan”…cara seperti tersebut (slash and burn) dapat menimbulkan permasalahan yang kompleks yang pada gilirannya dapat menyebabkan kerusakan kelestarian, sehingga kualitas lingkungan turun. Selain itu juga dapat mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahkluk hidup lainnya” (Panduan Teknis Pemberdayaan Lingkungan Sosial KAT, 2000, hlm.10). Untuk itu maka perlu dilakukan pembangunan kepada KAT ini dengan konsep pemberdayaan. Jadi memang point of view-nya dalam melihat permasalahan KAT/masyarakat terasing ini sepertinya telah berubah tetapi kalau dilihat lebih mendalam terlebih dalam panduan teknis mereka, tidak berubah jauh yaitu bahwa KAT/masyarakat terasing ini mempunyai masalah sosial yang disebabkan oleh kebudayaan mereka yang dianggap tidak lagi sesuai dengan masanya karena terisolirnya mereka baik secara geografis dan budaya. Konsep pemberdayaan pada akhirnya juga menunjukan wataknya sebagai konsep
Ada 3 strategi yang digunakan oleh pemerintah dalam melaksanakan programnya, yaitu dengan melakukan (1) pendampingan, (2) kemitraan, dan (3) partisipasi. Sebenarnya paradigma-paradigma ini sudah dikenal lama di kalangan LSM. Pelaksanaan ke tiga strategi diatas dilakukan dalam koridor kebijakan desentralisasi yang bertumpu pada kebijakan dan pelaksanaan program di daerah. Hal itu sesuai dengan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah. Sehingga sebenarnya pusat hanya memberikan supervisi-nya dalam wujud panduan umum pelaksanaan program KAT agar sesuai dengan indikasi-indikasi keberhasilan yang dibuat bersama seluruh Indonesia (standartisasi & monitoring). Kebijakan pemerintah pusat dalam usaha pembinaan program PKSMT juga diserahkan kepada pemerintah daerah. Berdasarkan UU tersebut, Dinas atau Kantor Wilayah Sosial tidak dibawah Depsos lagi tetapi berada dibawah pemerintah daerah yang pelaksanaan dan pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada daerah. Termasuk didalamnya adalah anggaran alokasi dana pembinaan untuk KAT. Kepala dinas sosial di daerah mengajukan anggaran dananya dan kegiatannya kepada Badan Perencanaan Daerah untuk kemudian diolah dan disetujui berapa anggaran yang disetujui untuk digunakan. Anggaran tersebut akan dicek dan diolah oleh badan perencanaan daerah bersama anggaran-anggaran lainnya yang ada di daerah. Lalu daerah mengajukan anggaran itu kepada DPRD untuk disetujui sebagai APBD dan kemudian diajukan kepada pusat. Jadi dana tidak lagi dikucurkan melalui Depsos lemudian ke kanwil-kanwil tetapi sekarang dinas sosial daerah yang mengelolanya sendiri. Dinas sosial juga melakukan pembinaan/pemberdayaan KAT berdasarkan panduan umum yang diberikan oleh pusat walaupun sekarang tidak ada lagi garis birokrasi yang menghubungkannya sehingga pelaksanaan dan perencanaannya tergantung dari otoritas, kemampuan daerah utk mengelolanya, dan kepentingan daerah sendiri.
Sepertinya Sama Saja
Saya melihat bahwa peraturan-peraturan pemerintah tenta kelompok yang terpinggirkan ini bisa diperdebatkan keefektivitasan. Berapa persen alokasi dana utk suku-suku adat ini dibandingkan masalah sosial yang lain, seperti pengangguran, anak jalanan dsb, serta dibandingkan juga dengan permasalahan lain (pendidikan dll) . Alokasi dana sedikit banyak akan menunjukkan seberapa besar perhatian pemerintah daerah pada permasalahan ini. Kemudian bagaimana panduan pusat tersebut digunakan secara efektif oleh daerah, apakah dilaksanakan sepenuhnya atau diabaikan, atau dimodifikasi sendiri. Juga latar belakang pengelola program-program itu . Seberapa besar perhatian mereka pada program-program “masyarakat terasing” ini.Alhasil menurut saya dengan model seperti ini nampaknya kehidupan para kommuniti lokal (indigenous people group) di Indonesia tidak bertambah maju atau lebih sejahtera. Alokasi dana akan dikeluarkan kepada kebutuhan-kebutuhan lain yang dinilai penting daripada sekedara mengurusi kelompok masyarakat ini. Dari sisi teknis dan paradigma cara berpikir toh tetap sama yaitu tetap menekankan pada indikator-indikator keberhasilan yang sifatnya sepihak – tidak disesuaikan dengan konteks kebudayaan lokal, orientasi kepada nilai kebudayaan mayoritas – mengacu kepada konsep desa (fisik, keruangan, & sosial) yang notabene berasal dari konsep jawa, dan orientasi kepada pembangunan fisik yang menekankan kepada pembangunan pemukiman.
Sumber: http://prasetijo.wordpress.com