Oleh : Samuel Oktora
Ungkapan-ungkapan ini digemakan di tengah tarian adat, mewarnai tradisi Reba yang berlangsung di Kampung Gurusina, Desa Watumanu, Kecamatan Jerebuu, Kabupaten Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur, awal Januari 2007. Hari itu juga digelar perayaan ekaristi Reba se-Paroki St Paulus Jerebuu.
Makna ungkapan yang diucapkan dalam tarian adat itu ubi sebesar gong, sepanjang gendang, carang-carangnya menjangkau langit, berpenopang gunung. Ungkapan-ungkapan tersebut antara lain berisikan puji dan puja terhadap Ilahi, prinsip-prinsip hidup, ajakan, atau pun sindiran yang digelorakan oleh solois-solois yang masing-masing berjumlah tiga orang di dalam lingkaran. Lalu penari lain yang membentuk lingkaran menyahut penuh nuansa sakral o... uwi, o... uwi. Uwi artinya ubi.
Ubi memang menjadi simbol utama dalam pesta adat Reba. Hal ini tak lepas dari tradisi pada masa nenek moyang bahwa ubi dijadikan makanan pokok. Ubi dianggap sebagai makanan atau sumber kehidupan. Ubi menjadi simbol keilahian.
Reba merupakan tradisi pengucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas hasil panen yang diperoleh dalam kurun waktu satu tahun.
Penyelenggaraan Reba bersama kali ini memasuki tahun ketiga. Yang pertama pada tahun 2004 dilangsungkan di Kampung Bena, Stasi Tiwuriwu. Berikutnya di Kampung Dona, Stasi Naruwolo (2005).
Meski digelar se-Paroki St Paulus Jerebuu, penyelenggaraan Reba di tiap kampung yang sesuai dengan tradisi tetap dilaksanakan. Di Ngada, tradisi Reba dilakukan oleh etnis Ngadha, yang meliputi Kecamatan Jerebuu, Bajawa, Golewa, Bajawa Utara, dan Aimere.
Di wilayah Paroki St Paulus Jerebuu, penyelenggaraan Reba di setiap kampung biasanya setelah dilangsungkan di Kampung Bena, yang merupakan kampung kuno yang sudah berusia ribuan tahun.
Jarak antara Gurusina dan Bena sekitar tiga kilometer. Pelaksanaan Reba itu sendiri biasanya dipilih antara akhir Desember-akhir Februari. Di Bena, misalnya, Reba sudah dilakukan lebih dahulu pada tanggal 27 Desember 2006.
Songsong Reba
Dalam menyambut datangnya tahun baru biasanya penduduk di berbagai tempat di belahan bumi ini menyambut hal itu dengan berbagai acara yang meriah. Suasana pun dipenuhi tawa riang dan sorak-sorai.
Namun, tak demikian dengan Kampung Gurusina. Warga di kampung yang terletak di kawasan lembah Jerebuu itu-tepatnya di kaki Gunung Inerie-pada malam pergantian tahun disibukkan persiapan perayaan pesta adat tahunan Reba.
Kampung Gurusina terletak sekitar 22 kilometer sebelah selatan kota Bajawa, atau sekitar159 kilometer sebelah barat Kota Ende. Dari Ende, daerah itu dapat dijangkau sekitar empat jam perjalanan dengan kendaraan.
Di Kampung Gurusina terdapat tiga suku, yaitu Ago Kae, Ago Azi, dan Kabi. Ketiga suku itu ditandai dengan adanya tiga pasang bangunan unik di tengah kampung yang dinamakan bhaga dan ngadhu.
Bhaga merupakan bangunan semacam pondok kecil tak berpenghuni yang merupakan simbol dari leluhur perempuan. Di atas bhaga terdapat sakapuu, miniatur rumah sebagai simbol ekspresi cinta kasih seorang ibu yang memberikan kehangatan, sedangkan di atas ngadhu terdapat sakalobo, patung manusia sebagai simbol leluhur laki-laki. Kedua jenis bagunan itu menyiratkan makna pasangan manusia laki-laki dan perempuan sebagai pemersatu suku.
Berhimpun
Dalam merayakan Reba, seluruh sanak keluarga datang berhimpun, termasuk yang berada di luar kota, bahkan di luar Flores ataupun Nusa Tenggara Timur. Anggota keluarga maupun kerabat biasanya mulai berdatangan pada tanggal 1 Januari sore. Mereka antara lain membawa buah tangan berupa beras, ayam, atau babi.
Hingga tanggal 1 Januari petang itu kegiatan antara lain berupa persiapan perayaan ekaristi Reba, yang dilangsungkan keesokan harinya. Meski demikian, pada sore itu beberapa tahapan ritual Reba sudah dilakukan. Ritual dimulai dengan rebha, pembersihan kebun dengan cara menyiramkan air kelapa.
Di kebun itu terdapat ngaza limazua, tujuh makanan utama, yaitu padi, jagung, dua macam untuk kacang-kacangan dan jewawut, serta jagung solor. Selain itu, khusus di lapu uwi (tempat menanam ubi), terdapat lahan yang disediakan untuk tanaman lainnya, misalnya pisang dan tebu.
Berikutnya ritual bomae. Acara ini dilakukan di rumah kudus yang terletak di belakang kampung. Acaranya berupa penyembelihan ayam. Selain itu, dilakukan watulanu, pembersihan altar, yang dilanjutkan dengan pemanjatan doa kepada leluhur. Rumah kudus ini semacam pondok kecil yang dibangun untuk menghormati leluhur dan juga sebagai syarat untuk mendirikan rumah yang lebih besar.
Tahap ketiga, ritual di bhaga, yang biasanya dihadiri banyak anak-anak. Di sini Kepala Soma, tetua adat, memimpin kembali ritual doa dan kemudian memberikan petuah. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan makan bersama.
Tahap keempat, ritual di sao puu, rumah induk. Ritual yang dijalankan mirip dengan yang di bhaga. Tetua adat suku Ago Kae, Hendrikus Ta’i, memimpin ritual tersebut. Di dalam rumah induk saat itu selain ada ibu dan anak-anak, juga Pater John Ghono SVD, pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero Maumere, dosen Filsafat Agama Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Watu Yohanes Vianey, serta Nico Nonoago yang kini bertugas di Widyaiswara Badan Diklat Provinsi NTT di Kupang. Ketiganya merupakan warga Gurusina. Hendrikus Ta’i lalu memanjatkan doa memohon kehadiran leluhur, yang dilanjutkan dengan meminum moke, semacam tuak yang disajikan dalam tempurung kelapa. Moke tersebut setelah itu juga diberikan kepada semua yang hadir dalam rumah induk itu.
Di sao puu juga dilakukan makan bersama. Menu makanan hanya nasi putih dan daging ayam yang disajikan dalam piring yang dibuat dari daun lontar yang dianyam. Ukuran tempat makan dari daun lontar itu bermacam-macam, ada yang besar, ada pula yang kecil. Bentuknya bujur sangkar.
Namun, sebelum makan bersama, kepala soma memberikan petuah-petuah, ajaran, dan pesan leluhur. Diharapkan, petuah itu selalu diingat dan dipegang teguh, terutama dalam menghadapi tahun baru.
Dalam sao puu itu juga disembelih ayam. Dari organ tubuh bagian dalam ayam tersebutlah kemudian Kepala Soma mencoba menafsirkan peristiwa yang akan terjadi. Dalam prediksi itu Kepala Soma berbicara seputar kemungkinan tanda- tanda alam yang akan muncul, konflik dalam keluarga atau suku, maupun tentang hasil panen pada masa yang akan datang.
"Penafsiran lewat hewan kurban ayam itu merupakan upaya membaca apa yang dikehendaki Ilahi melalui tanda-tanda yang muncul," tutur Watu Yohanes Vianey.
Matrilineal
Penekanan Kepala Soma soal hubungan kawin-mawin itu berkaitan dengan sistem matrilineal, sistem pembagian warisan berdasarkan garis kekerabatan keturunan perempuan atau ibu, di Ngada.
"Tapi yang berlaku di Ngada bukan matrilineal murni. Ini yang unik. Meski hak-hak dalam keluarga jatuh pada anak perempuan, tapi dalam acara adat si perempuan tak mempunyai hak bicara. Sebaliknya, yang laki-laki dalam adat memiliki hak bicara. Tradisi ini juga membangun semacam sistem pengawasan yang dilakukan oleh anggota keluarga laki-laki," ujar Nico Nonoago.
Pada hari terakhir dilakukan ritual dhoi, yaitu pergi ke kebun untuk mengambil hasil panen. Hasil panen itu kemudian dibawa ke rumah adat dan dilakukan sui uwi, berkumpulnya semua sanak keluarga untuk mendapat bagian ubi dari hasil panen, serta makan bersama.
Sebelum makan bersama, terlebih dahulu Kepala Soma memanjatkan doa dan dilakukan juga pemotongan ayam kurban. Menu makanan berupa nasi putih, ubi, daging ayam atau babi. Jika tak ada daging, sebagai pengganti bisa kelapa parut. Ritual sui uwi akhirnya ditutup dengan rora suki uwi, membuang kulit ubi.
"Jika ada anggota keluarga baru tiba atau mengikuti Reba pada saat rora suki uwi, bahkan sesudahnya, itu pertanda kurang baik. Sebab, secara adat anggota keluarga ini dianggap tak mendapatkan bagian ubi atau tak mendapatkan berkat," tutur Watu Yohanes Vianey.
Dari tradisi Reba itu, Pastor Paroki St Paulus Jerebuu, Romo Bernadus Sebho Pr, mengatakan, Dewan Paroki melihat nilai-nilai luhur yang diajarkan dalam Reba sangat dibutuhkan, khususnya dalam upaya membangun kebersamaan umat. Karena itu, gereja turut memfasilitasi penyelenggaraan Reba.