Oleh : Maruli Tobing
"Kar’ena Patani terpencil dari dunia luar, maka orang-orang Melayu tidak dapat dan tidak berupaya menentang pemerintahan yang kejam dan ganas ini. Teguran-teguran yang sederhana saja dianggap sebagai membahayakan keselamatan negeri. Oleh Kerajaan Siam ditindas dengan hukum bunuh atau disiksa.’’
Ibrahim Syukri dalam bukunya Sejarah Kerajaan Melayu Patani mengutip laporan perjalanan wartawan Inggris, Barbara Wittingham-Jones, yang dimuat di surat kabar Strait Times, Singapura, 1 Desember 1947.
Sejarah Kerajaan Melayu Patani ditulis dalam bahasa Jawi Melayu dan tanpa tahun diterbitkan. Ibrahim Syukri adalah nama samaran. Hingga sekarang tidak ada orang yang tahu apa dan siapa dia.
Kalangan ilmuwan sosial Barat melihat karya Ibrahim Syukri sebagai bentuk penulisan sejarah Patani yang pertama. Center for International Studies, Ohio University (AS) menerjemahkannya dalam bahasa Inggris tahun 1985.
Dalam pengantar dijelaskan, naskah asli buku tersebut diperkirakan diterbitkan tahun 1950-an di Pasir Putih, perbatasan Kelantan-Patani. Beberapa kopinya sempat diselamatkan keluar.
Di Malaysia dan Thailand, setelah sempat lama dilarang diedarkan, buku tersebut akhirnya diterbitkan dalam bahasa setempat.
Maruli Tobing
Sejarah Kerajaan Melayu Patani adalah masa lalu suatu kerajaan Melayu yang pernah berjaya. Tamat selamanya setelah Kerajaan Siam menganeksasi Patani tahun 1902. Inggris mengakui kedaulatan Siam atas Patani tahun 1906. Sebagai imbalannya, Siam menyerahkan Kelantan, Perlis, Kedah, dan Trengganu kepada Inggris.
Kini wilayah Kerajaan Patani berubah menjadi Provinsi Patani, Narathiwat, Yala, dan Songkhla di Thailand Selatan. Tiga provinsi pertama berpenduduk 80 persen Muslim keturunan Melayu.
"Bagi orang-orang Melayu, perubahan dalam sistem pentadbiran ini adalah suatu penjajahan atas negeri dan bangsa mereka,’’ tulis Nik Anuar Nik Mahmud dalam bukunya Sejarah Perjuangan Patani, 1784-1954 (1999).
Maka, sejak saat itu pergolakan menggelinding mirip bola salju. Tiga tahun terakhir merupakan rekor paling berdarah dan bertahan paling lama. Lebih dari 2.100 orang dilaporkan tewas dan ribuan lainnya cedera sejak maraknya aksi kekerasan, Januari 2004. Ratusan gedung sekolah milik pemerintah hangus dibakar.
Akibat gawatnya masalah keamanan, semua sekolah pemerintah (lebih kurang 950 sekolah) di Provinsi Patani, Narathiwat, dan Yala diliburkan pertengahan November lalu hingga batas waktu yang belum ditentukan. Sejauh ini lebih dari 60 guru tewas ditembak. Bahkan, ada yang dieksekusi saat mengajar di depan kelas.
Kini, hampir tidak ada hari yang berlalu tanpa mayat, ledakan bom, dan letusan senjata api di Provinsi Patani, Narathiwat, dan Yala. Militer Thailand menuding kelompok militan dan Jemaah Islamiyah berada di balik aksi kekerasan.
Sebelum digulingkan, PM Thaksin Shinawatra menyebut pelakunya kelompok kriminal dan jaringan narkoba. Belakangan, ia mengatakan, rencana penyerangan dimatangkan di Malaysia. Kelompok militan Islam ini mengikuti pendidikan agama dan militer di Indonesia (The Standard, 20/12/2004).
Baru-baru ini, Juru Bicara AD Thailand Kolonel Acra Tiproch kembali melontarkan tuduhan. Ia mengatakan, berdasarkan pengakuan mereka yang ditangkap, warga Indonesia melatih militan Melayu Patani cara memenggal leher korbannya (bangkokpost.com, 14/5/2007).
Namun, Joseph Chinyong Liow, asisten profesor di Institute of Defence and Strategic Studies, Singapura, meragukannya. "Faktanya belum seorang pun warga Melayu Muslim yang dihukum karena melakukan kekerasan. Tidak satu pun organisasi militan Islam yang dinyatakan oleh pengadilan sebagai dalang kekerasan.’’ (International Jihad and Muslim Radicalism in Thailand? Asian Policy, July 2006).
Dr Nidhi Aeusrivongse, sejarawan terkemuka Thailand, berpendapat hampir sama. "Jaringan militan internasional hanya ada dalam fantasi pemerintah Thailand,’’ tulisnya (Understanding the Situation in the South as a Millenarian Revolt, Review Essay, Maret 2005).
Tidak banyak berubah
Pemerintah Thailand agaknya sedang mencoba memproduksi isu untuk mengalihkan perhatian dari masalah sebenarnya. Lebih dari setengah abad silam Ibrahim Syukri menulis, untuk menyiamkan rakyat Melayu Patani, penguasa di Bangkok memberlakukan undang-undang (UU) wajib belajar di sekolah pemerintah, tahun 1921.
Masyarakat Melayu Patani menolaknya karena khawatir anak-anak mereka akan dibuddhakan. Lagi pula, selama ini mereka hanya mengenal pondok pesantren sebagai satu- satunya institusi pendidikan. Bentrokan bersenjata pecah tahun 1923.
Rezim militer Thailand memberlakukan UU yang lebih keras tahun 1941, isinya antara lain melarang mengenakan pakaian tradisional di tempat-tempat umum. "Sering kali baju jubah dan serban orang-orang haji diseret oleh polis-polis Siam. Orang-orang perempuan sewaktu berjual beli di pekan-pekan ditendang kerana memakai baju kebaya dan ber-kelubung,’’ tulis Ibrahim Syukri.
Setengah abad kemudian, represi tidak banyak berubah. Laporan Amnesty International (4/1/2006) mengungkapkan, banyak kasus penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, penculikan, dan pembunuhan warga desa. Namun, tidak seorang pun pelaku diproses secara hukum.
Menurut Dr Thanet Aphornsuvan, Direktur Southeast Asia Program, Thammasat University, menyusul peristiwa 28 April 2004 yang menewaskan 105 orang, polisi menciduk lebih dari 200 warga desa. Mereka lenyap selamanya (Origins of Malay Muslim "Separatism" in Southern Thailand, 2004).
Hal yang sama terjadi dalam peristiwa Tak Bai yang menewaskan 90 demonstran di tangan militer (25/10/2004). Tidak seorang pun pelaku dihukum.
Lantas, inikah yang disebut sebagai aksi kelompok militan? Jika Pemerintah Thailand menganggapnya demikian, maka siksa dan derita rakyat Melayu Patani akan tetap abadi.
Sumber: http://klikagama.blogspot.com