Berlangsungnya suatu sistem akan sangat bergantung pada kemampuan unsur-unsurnya dalam memenuhi fungsinya masing¬-masing, karena kesatuan fungsional unsur-unsur inilah yang membentuk bangun suatu sistem. Apabila salah satu unsurnya terganggu dan tidak berfungsi lagi, maka bangun sistem itu pun secara keseluruhan akan mengalami gangguan. Demikian pula halnya dengan kebudayaan. Keberadaan dan kelangsungan suatu kebudayaan akan sangat bergantung pada kemampuan fungsional dan eksistensial dari unsur-unsurnya.
Bila kita merujuk pada konsep unsur-unsur kebudayaan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, yang mengemukakan 7 unsur kebudayaan yang universal (cultural universal), di mana sistem kepercayaan merupakan salah satu dari ketujuh unsur tersebut, maka persoalan mengenai upacara-upacara daur hidup merupakan bagian dari sistem kepercayaan. Namun demikian, aktifitas upacara daur hidup ini pun tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial, bahasa, kesenian, sistem hukum dan unsur-unsur budaya lainnya, karena semua unsur-unsur ini terdapat aktifitas upacara-upacara tradisional, khususnya upacara daur hidup. Dalam kenyataannya, memang di antara ketujuh unsur kebudayaan itu berada dalam suatu hubungan fungsional dari eksistensial, di mana unsur budaya yang satu tidak dapat.di paskan dari unsur budaya lainnya; dan keberadaan salah satu unsur melengkapi keberadaan unsur budaya lainnya. Ini adalah salah satu teori yang dapat menjadi landasan dalam menganali¬sis masalah kebudayaan dan unsur-unsurnya, termasuk upacara¬-upacara daur hidup.
Dalam pada itu, wujud suatu kebudayaan pun dapat ditinjau dari 3 aspek, yaitu : pertama, wujud kebudayaan sebagai tata¬kelakuan atau sistem ide. Dalam hal ini, kebudayaan dapat dilihat sebagai kompleks norma dan nilai-nilai yang mengatur dan me¬latarbelakangi serta menjadi pedoman bagi setiap pendukung kebudayaan yang bersangkutan dalam mewujudkan tindakan¬nya. Dalam wujud ini, kebudayaan merupakan sesuatu yang abstrak, dan hanya dapat dilihat melalui gejala-gejala yang nampak.
Kedua, wujud kebudayaan sebagai kompleks tingkah laku manusia. Kebudayaan dalam wujud ini dapat dilihat sebagai kompleks dan pola-pola aktivitas yang merupakan manifestasi dari kompleks nilai yang berada di balik perilaku. Perilaku di sini merupakan gejala-gejala yang dapat diamati dan dapat di¬observasi melalui pengamatan terhadap berbagai bentuk akti¬fitas, seperti aktifitas upacara, kesenian, pola-pola interaksi, dan sebagainya.
Ketiga, wujud kebudayaan materi (material culture). Dalam • wujud ini kebudayaan nampak sebagai benda-benda budaya, karya-karya seni, bangunan/arsitektur, dan sebagainya. Ketiga wujud kebudayaan ini berada dalam suatu pola hubungan siber¬netik, di mana unsur bagian bawah membangun unsur bagian alas, yang secara keseluruhan menampakkan bangunan suatu ke¬budayaan.
Teori ini pun dapat dijadikan landasan menganalisis kebu¬dayaan dan unsur-unsurnya, termasuk upacara-upacara tradi¬sional. Dengan bertolak pada kedua teori inilah, upacara-upa¬cara data hidup pada masyarakat Betawi dianalisis dan diungkap¬kan nilai nilai hudayanya.
Pandangan Orang Betawi mengenai Upacara Daur Hidup
Bahwa setiap kebudayaan memiliki persepsi tersendiri ter¬hadap masalah masa-masa krisis dalam kehidupan manusia. Demikian pula halnya dengan masyarakat Betawi. Mereka mempercayai bahwa ada tahap-tahap tertentu dalam perjalanan hidup manusia yang dipandang sebagai masa kritis. Pada saat-saat demi¬kian, individu yang bersangkutan dipandang sangat riskan, dan ia berada dalam masa transisi dari satu tahap kehidupan ke tahap berikutnya, sehingga diperlukan aktifitas-aktifitas atau upacara¬-upacara tertentu untuk menangkal dan menghindari kemungkin¬an gangguan yang akan datang pada individu yang bersangkutan. Aktifitas-aktifitas ini dimanifestasikan dalam bentuk upacara daur hidup. Di antara masa kritis yang dipandang penting oleh orang Betawi untuk diantisipasi adalah masa bayi di dalam kan¬dungan, khususnya pada usia kehamilan tujuh bulan, masa kanak-¬kanak, dan masa memasuki jenjang kehidupan rumah tangga. Masa-masa kritis ini selalu diperingati dengan penyelenggaraan upacara, yang tujuannya bukan saja untuk mengantisipasi terhadap bahaya atau kemungkinan gangguan yang akan mengenai individu yang bersangkutan, melainkan juga sebagai ungkapan rasa ber¬syukur dari individu maupun pihak keluarganya, karena ia telah selamat melampaui tahap hidup yang telah dilaluinya.
Sesungguhnya, banyak makna dan arti dan penyelenggaraan upacara-upacara daur hidup yang biasa dilaksanakan oleh orang Betawi, yang kaitannya erat dengan jenis upacara itu sendiri, dan dengan masa-masa kritis yang dipandang penting oleh masya¬rakat Betawi.
Beberapa jenis upacara daur hidup yang dipandang penting oleh orang Betawi, seperti upacara kehamilan, upacara Khatam Al Quran, upacara khitanan, dan upacara perkawinan. Upacara-upacara ini dipandang penting dalam siklus hidup orang Betawi. Berikut ini penjelasan lebih lanjut dan pelaksanaan upacara-upacara ter¬sebut, berupa uraian analitis.
1. Upacara Nujuh Bulanin
Masa kehamilan adalah suatu masa yang dipandang sangat penting dan sangat berharga dalam kehidupan rumah tangga orang Betawi. Khususnya kehamilan anak pertama, adalah sangat diharapkan oleh setiap ibu rumah tangga orang Betawi, karena dengan mengandung bayi menunjukkan bahwa ia telah dapat memenuhi fungsinya sebagai seorang istri. Oleh sebab itu, masa ke¬hamilan ini disambut dengan penuh kegembiraan, baik oleh si istri maupun oleh suaminya, dan bahkan oleh orang tua suami istri tersebut.
Akan tetapi, di balik kegembiraan itu, terbersit pula sebercik kekhawatiran dan suami istri tersebut akan bayi yang tengah dikandungnya itu. Kekhawatiran ini pada dasamya timbul karena mereka mempunyai harapan-harapan atas anak yang akan dilahir¬kannya, dan mereka merasa khawatir kalau harapannya ini tidak terwujudkan kelak. Oleh sebab itu, masa kehamilan ini dipandang sebagai saat kritis yang akan menentukan jalan hidup si bayi kelak di kemudian hari. Oleh sebab itu pada masa kehamilan ini biasa ditandai dengan penyelenggaraan upacara-upacara tradisional.
Upacara "Nujuh bulanin" misalnya, dipandang sangat penting, karena pada usia kehamilan demikian, bayi yang tengah dikan¬dung, badannya telah berbentuk dan telah diberi roh oleh Tuhan. Dengan kata lain, pada usia demikian, si bayi sudah berada dalam keadaan sempurna. Akan tetapi, masa itu pun dianggap kritis, karena usia bayi masih terlalu muda dan dipandang sangat riskan dan mudah terkena gangguan, dan masa itu pun dipandang sebagai masa-masa pembentukan dasar-dasar watak. Oleh sebab itu, dalam upacara "Nujuh bulanin", dukun beranak, yang biasanya bertin¬dak sebagai pemimpin upacara senantiasa memberikan petuah¬-petuah, yang di dalam petuah-petuah tersebut terkandung harapan terhadap bayi yang tengah dikandung. Hal ini dapat dilihat dan bayi mantera yang dibacakan oleh dukun beranak pada waktu memimpin upacara "nujuh bulanin", yang berbunyi:
assalamaamualiakum, waalaikum salam,
sami Allah nutup iman,
masukaaken si jabang bayi,
masuk aken si putih,
si jabang bayi rep sirep sing idup putih.
bunyi mantera di atas jelas mencerminkan harapan agar si bayi ke¬lak menjalin kehidupannya di atas bumi, menempuh jalan 'putih',- yakni jalan kebenaran. Harapan ini juga tercermin pada mantra lainnya, yang biasanya diucapkan dukun beranak (paraji) pada saat mengurut perut si ibu hamil, masih dalam rangka penye¬lenggaraan upacara "nujuh bulanin", yang berbunyi:
Assalaamualaikum,
sekarang si jabang bayi lu ditutupi bulan,
supaya lu selamet menjadikan orang bener,
nantii kali udah waktu medal,
di surge yang lempeng, yang bener.
Jalan lurus dan benar yang diharapkan oleh Orang Betawi, adalah jalan hidup yang telah ditujukan oleh agama Islam, yakni menjalani perintah agama, dan taat serta patuh kepada kedua orang tua.
2. Upacara Masa Kanak-Kanak
Tibanya saat kelahiran, tidak berarti bahwa masa kritis itu te¬lah terlampaui, karena masih ada tahap-tahap selanjutnya yang juga penuh resiko dan dipandang kritis dalam perjalanan hidup manusia. Setelah bayi lahir sesungguhnya awal dari perjalanan hidupnya, maka untuk mewujudkan harapan-harapan yang dikan¬dung oleh kedua orang tuanya. Semenjak kecil si anak telah diajari dengan berbagai macam pengetahuan yang akan menuntunnya dan menjadi pedoman hidupnya kelak di kemudian hari. Pengetahuan yang diajarkan kepada si anak, selain pengetahuan budaya, adalah juga pengetahuan agama Islam. Ketika si bayi baru lahir, dide¬ngungkan azan yang biasanya dilakukan oleh ayah si bayi atau oleh kakeknya. Maksudnya tiada lain adalah untuk 'memperkenal¬kan nama Allah. Ini menunjukkan betapa kuat pengaruh agama Islam bagi kehidupan masyarakat Betawi.
Setelah anak berusia 40 hari dilakukan upacara cukur rambut yang disertai dengan "marhaban". yakni pembacaan Hikayat Nabi Muhammad S.a.w. Kembali hal ini membuktikan kuatnya pengaruh agama Islam dalam kehidupan masyarakat Betawi, bah¬wa apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad S.AW. dijadikan sebagai contoh dan teladan bagi pengikutnya. Itu pula yang ingin mereka wujudkan dengan menyelenggarakan upacara cukur rambut dan "Marhaban".
Bagi kebanyakan orang Betawi, pengajaran membaca kitab suci Al Quran, dipandang sangat penting dan sangat diutamakan, karena pengetahuan membaca Al Quran dipandang sebagai dasar bagi pengajaran agama. Oleh sebab itu ada suatu upacara khusus yang menandai bahwa seseorang anak telah selesai mempelajari salah satu tahap pengajaran agama, yakni pelajaran membaca Al Quran. Upacara ini dinamakan upacara "Khatam Al Quran".
Menurut pandangan masyarakat setempat, kepatuhan terhadap agama harus ditanamkan semenjak kanak-kanak atau semenjak dini, sehingga nilai-nilai keagamaan akan tertanam dan meresap di dalam sanubari si anak. Caranya adalah dengan mewasjibkan anak-anak berusia antara 6-7 tahun pergi belajar mengaji mengirimkan mereka ke lembaga-lembaga yang mengurus masalah keagamaan. Suatu lembaga keagamaan sudah pula dibentuk secara turun temurun, yaitu mereka yang dittunjuk untuk memberi pelajaran agama sekaligus membimbing anak-anak agar mereka memahami aturan-aturan dan norma-norma agama Islam. Hal ini dipandang masyarakat Betawi sebagai kebutuhan yang mutlak, agar mereka kelak dapat menyesuaikan dirinya dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Sebagai sarana sosialisasi, cara ini amat penting sebab memungkinkan si anak dapat membe¬dakan mana yang benar dan kelakuan mana yang menyimpang dan norma-norma keagamaan.
Upacara khatam Al Quran pada hakekatnya mempunyai tuju¬an sebagai sarana untuk memberitahukan kepada khalayak ramai, bahwa sejumlah anak telah menyelesaikan pelajaran mengaji. Mak¬sud lainnya ialah untuk memberikan penghargaan kepada anak-¬anak tersebut atas jerih payahnya belajar mengaji Al Quran. Sete¬lah selesai belajar, suatu hal yang wajar apabila para orang tuanya merasa bangga dan bahagia atas keberhasilan anak-anaknya. Oleh sebab itu dilakukanlah serangkaian upacara dan diberikannya anak-anak itu seperangkat pakaian yang maksudnya tidak lain sebagai ekspresi dari rasa bahagia mereka.
Di lain pihak, anak-anak merasa bangga sebab pada saat upaca¬ra berlangsung, mereka menjadi obyek perhatian masyarakat yang hadir dalam upacara tersebut- Sebagian orang tua akan mendorong pula untuk mengirim anaknya ke lembaga-lembaga pendidikan keagamaan tersebut supaya dapat merasakan kebahagiaan seperti yang dialamai oleh para orang tua yang tengah mengkhatamkan anak-anaknya.
Oleh karena upacara Khatam Al Quran tidak dikaitkan dengan kepercayaani terhadap makhluk halus lainnya, maka semua sesajian yang dihidangkan semata-mata hanya untuk menjamu para un¬dangan serta anak-anak yang diupacarakan. Demikian pula doa-doa yang dibacakan seluruhnya mengandung makna sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas.
Satu masa peralihan pada masa kanak-kanak yang juga dipan¬dang sangat penting adalah peralihan dari masa kanak-kanak ke ma¬sa remaja muda, yang ditandai dengan upacara khitanan. Pada ma¬syarakat pelaksanaan upacara khitanan mempunyai beberapa tujuan seperti "mengislamkan", dan sebagai media bagi si anak (individu) untuk memasuki tahapan kehidupan baru yang akan dijalaninya.
Seorang akhli folklor berbangsa Perancis, yakni Van Gennep, menyatakan bahwa dalam tahap-tahap pertumbuhannya sebagai individu, yaitu sejak ia lahir, kemudian masa kanak-kanaknya, melalui proses menjadi dewasa dan menikah menjadi orang tua, hingga saatnya ia meninggal, manusia mengalami perubahan-peru¬bahan biologi serta perubahan dalam lingkungan sosial budayanya yang dapat mempengaruhi jiwanya dan menimbulkan krisis men¬tal. Untuk menghadapi tahap pertumbuhannya yang baru, maka dalam lingkaran hidupnya itu manusia juga memerlulan"regene¬rasi" semangat kehidupan sosial. Selanjutnya Van Gennep menje¬laskan pula, bahwa dalam masa-masa peralihan, seseorang perlu dipersiapkan untuk menjadi manusia baru dalam lingkungan sosialnya yang baru nanti, dan karena itu dalam banyak upacara inisiasi, para anak muda yang sedang menjalani upacara itu diper¬siapkan untuk kehidupan sosialnya yang baru sebagai orang dewa¬sa dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1985 : 32-33).
3. Upacara Perkawinan
Perkawinan bagi banyak masyarakat dianggap sangat penting. Tidak terkecuali dengan masyarakat Betawi, peristiwa perkawinan dipandang sebagai peristiwa sosial dan keaga¬maan. Bagi masyarakat setempat, perkawinan bukan saja dipan¬dang sebagai peristiwa peralihan status seseorang dan status lajang (bujang/gadis) ke kehidupan berumah tangga menjadi suami istri, tetapi juga dipandang sebagai pemenuhan kewajiban agama. Oleh sebab itu, dalam upacara perkawinan tampak adanya percampuran unsur-unsur adat istiadat dan unsur-unsur agama, dalam hal ini agama Islam.
Di samping itu, perkawinan juga dipandang sebagai suatu wa¬dah atau media untuk menunjukkan gengsi kemasyarakatan (social prestige). Tidak jarang suatu upacara perkawinan dirayakan secara besar-besaran dan memakan biaya serta tenaga yang tidak sedikit. Semakin besar penyelenggaraan upacaranya, khususnya dalam perkawinan yang biasanya dibarengi dengan berbagai jenis hiburan, maka cenderung akan semakin meningkat status keluarga tersebut di mata masyarakatnya. Selain itu, tampak pula adanya pertim¬bangan efisiensi dalam penyelenggaraan hiburan. Dewasa ini, jenis hiburan yang menjadi trend di masyarakat Betawi dalam rangka pesta perkawinan adalah pertunjukan layar tancep. Segi efisiensi dari pertunjukan ini ialah si penyelenggara tidak usah repot-repot mengurusi konsumsi dan makan teknisi. Mereka cukup mem¬berikan uang sewa film berikut upah teknisnya. Cara begini diang¬gap lebih praktis oleh mereka daripada menyelenggarakan pertun¬jukan kesenian tradisional, seperti topeng betawi, cokek, gambang kromong, dan lain-lain yang dianggap merepotkan. Sebagaimana diketahui, bahwa personil kesenian tradisional cukup banyak, sehingga tuan rumah (penyelenggara upacara) merasa repot kalau harus menjamu dan melayani mereka. Itu sebabnya mereka cende¬rung lebih memilih pertunjukan layar tancep daripada kesenian daerah mereka sendiri.
Penyelenggaraan berbagai jenis upacara daur hidup seperti yang telah diuraikan di atas, menunjukkan pandangan masyarakat Betawi terhadap masa-masa kritis yang dianggap penting dalam perjalanan hidup manusia. Inilah sesungguhnya yang melatarbela¬kangi penyelenggaraan berbagai jenis upacara daur hidup di ka¬langan masyarakat Betawi. Kenda¬ti di sana sini tampak adanya perubahan bentuk penyelenggaraan upacara, namun pada hakekatnya persepsi masyarakat dan sistem nilai yang melatarbelakangi masih tetap mereka pegang teguh.
4. Fungsi Religius dari Upacara Daur Hidup
Koentjaraningrat dalam salah sebuah buku karangannya mengemukakan tentang lima komponen religi, yaitu :
1) emosi keagamaan,
2) sistem keyakinan,
3) sistem ritus dan upacara,
4) peralatan ritus dan upacara,
5) umat agama.
Kelima komponen ini satu sama lain saling terkait dan keseluruhannya merupakan satu sistem dari sistem religi.
Emosi keagamaan yang menggetarkan jiwa manusia menye¬babkan manusia mempunyai sikap serba religi. Sistem keyakinan menggambarkan gagasan dan konsepsi manusia tentang Tuhan, tentang alam gaib, alam akhirat, roh-roh nenek moyang. Sistem keyakinan juga menyangkut sistem nilai dan sistem norma keaga¬maan, ajaran kesusilaan yang mengatur tingkah laku manusia.
Sistem ritus dan upacara berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang atau mahluk-mahluk halus lainnya. Sistem ritus dan upacara juga merupakan manifestasi hubungan manusia dengan Tuhan dan kekuatan-kekuatan supernatural.
Dalam ritus dan upacara religi biasanya dipergunakan ber¬macam-macam sarana dan peralatan, serta para pelaku yang tidak dalam keadaan keseharian, melainkan dalam keadaan yang dianggap serba suci dan bersih, termasuk dalam berpakaian.
Komponen kelima adalah umat beragama, yang bisa berwujud sebagai keluarga inti atau kelompok-kelompok kekerabatan yang lebih luas, kesatuan komunitas, seperti desa, dan organisasi-organi¬sasi keagamaan.
Demikian, penyelenggaraan upacara daur hidup pada masya¬rakat Betawi tidak terlepas dan kelima komponen di atas. Ada suatu perasaan tidak enak bahkan perasaan berdosa dari masyara¬kat setempat bila mereka tidak melaksanakan upacara-upacara daur hidup yang telah mentradisi di kalangan mereka. Ini terjadi karena telah begitu mendalamnya tradisi tersebut di dalam diri masing-masing individu, sehingga tidak menyelenggarakannya dirasakan sebagai suatu penyimpangan dan akan berakibat dosa.
Dalam kaitannya dengan sistem keyakinan, kekhawatiran yang mereka rasakan, mereka hubungkan dengan kekuasaan Tuhan dan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga isi kekhawatiran mereka bilamana tidak menyelenggarakan upacara daur hidup adalah takut terkena bencana dan malapetaka. Untuk menghindari malapetaka yang mereka yakini bakal menimpa, maka mereka pun melaksanakan upacara-upacara sebagaimana yang dituntutkan oleh adat dan oleh sistem kepercayaan mereka. Selain itu, penyelenggaraan upacara-upacara itu pun dianggap sebagai wujud bakti mereka kepada Tuhan yang mereka yakini.
Upacara-upacara daur hidup yang dilaksanakan oleh masya¬rakat Betawi cenderung lebih bersifat keagamaan yang didominasi oleh agama Islam. Oleh sebab itu, dalam penyelenggaraannya tidak banyak peralatan upacara yang dikaitkan dengan kepercayaan mereka terhadap arwah-arwah nenek moyang maupun kekuatan-kekuatan gaib lainnya, selain kepada Tuhan.
Penyelenggara upacara, bergantung pada jenis upacara yang dilaksanakan. Bila yang dilaksanakan adalah upacara kehamilan, maka yang bertindak sebagai penyelenggara adalah keluarga inti, yakni suami istri yang bersangkutan. Pihak kerabat terdekat khususnya orang tua kedua belah pihak, senantiasa terlibat dan ikut andil sebagai penyelenggara. Mereka biasanya tidak hanya menyumbangkan tenaga dan pikiran, melainkan juga biaya ikut menanggungnya. terlebih lagi bila upacara yang diselenggarakan adalah upacara perkawinan.
5. Fungsi Sosial dan Upacara Daur Hidup
Dan hasil analisisnya mengenai ritus dan upacara peralih¬an pada umumnya, berdasarkan data etnografis dari seluruh dunia, Van Gennep sampai pada kesimpulannya yang mengatakan, bah¬wa : ritus dan upacara religi secara universal pada dasarnya ber¬fungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat.
Pendapat di atas juga dapat diterapkan pada masyarakat Betawi. Penyelenggaraan berbagai jenis upacara daur hidup pada masyarakat setempat, selain mempunyai fungsi sosial. Fungsi sosial yang menonjol dari penyelenggaraan upacara daur hidup di antaranya adalah untuk membangkitkan emosi kemasyarakatan, serta sekaligus berfungsi sebagai sarana kontrol sosial. Dalam pelaksanaan upacara daur hidup, tampak adanya rasa kesatuan dan persatuan dari tiap-tiap anggota masya¬rakat maupun para kerabat penyelenggara upacara. Kebutuhan tenaga yang cukup besar dapat diperoleh melalui bantuan yang diberikan oleh para tetangga maupun kerabat. Di sini solidaritas sosial tampak menonjol.
6. Fungsi -Fungsi Kepariwisataan
Dalam era pembangunan dewasa ini, di mana semua sektor digiatkan guna menunjang proses pembangunan nasional di segala bidang, masalah kepariwisataan menjadi cukup penting dan strategis. Dalam upaya mengembangkan sektor kepariwisataan, aspek kebudayaan merupakan penunjang yang sangat penting.
Sebagaimana di maklumi hahwa panorama Indonesia yang indah dan nyaman menawarkan asset kepariwisataan yang dapat meningkatkan pendapatan negara. Selain itu, kekayaan budaya Nusantara juga tidak kalah menariknya dengan wisata alam, dan dapat mengundang wisatawan, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. Berbagai jenis upacara tradisional yang dimiliki oleh semua suku bangsa di Nusantara, adalah modal wisata budaya yang perlu terus dikembangkan. Modal ini cukup potensial, mengingat yang menjadi sasaran para wisatawan adalah "keanehan-keanehan" yang lain dari suasana di lingkungan budaya mereka.
7. Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Upacara Daur Hidup
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa kebudayaan dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu aspek tata kelakuan sebagai kompleks nilai, wujud kelakuan sebagai pola-pola tindakan, dan sebagai wujud benda (kebudayaan materi). Nilai-nilai budaya hanya dapat diungkapkan melalui telaahan terhadap unsur-unsur yang nampak atau menggejala. Demikian pula nilai-nilai yang terkandung di dalam penyelenggaraan upacara daur hidup, dapat diungkapkan melalui arti dan lambang dari setiap aktifitas maupun benda-benda upacara dalam keseluruhan sistem upacara yang bersangkutan. Berikut ini akan diuraikan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam pelaksanaan upacara daur hidup yang telah dideskripsikan di muka.
8. Nilai Kegotongroyongan
Nilai kegotongroyongan tercermin dalam pengerahan tenaga yang diperoleh secara spontanitas pada saat seseorang atau suatu keluarga akan menyelenggarakan suatu upacara daur hidup. Para tetangga terdekat maupun para kerabat, tanpa harus diundang terlebih dahulu akan datang untuk memberikan bantuan kepada keluarga yang mempunyai hajatan. Kadangkala bukan hanya tenaga yang mereka sumbangkan, tetapi juga dalam bentuk bahan makanan, seperti beras, lauk pauk, serta kue-kue seperti dodol.
Malninowsky menjelaskan, bahwa sifat kegotongroyongan bukan semata-mata tanpa pamrih, melainkan terwujud sebagai prinsip reciprosity (prinsip timbal balik) di antara sesama anggota masyarakat. Pamrih atau balasan yang akan diterima tidak datang pada saat itu, akan tetapi akan tiba pada saatnya nanti.
Bila diamati, prinsip timbal balik ini ternyata juga mewarnai bentuk kegotongroyongan pada masyarakat Betawi. Para tetangga yang datang membantu ataupun yang memberikan sumbangannya dalam bentuk bahan-bahan makanan, tidak hanya semata-mata dilakukan sebagai pemenuhan kewajiban sosial, melainkan ada tujuan tertentu, yaitu mereka mengharapkan balasan bilamana suatu saat mereka mengadakan upacara atau selamatan yang serupa, mereka juga akan mendapat bantuan dari tetangganya. Motivasi inilah yang mendorong mereka untuk memberikan sumbangannya kepada tetangga yang punya hajat.
9. Nilai Musyawarah
Pada masyarakat bangsa kita, nilai musyawarah adalah sangat diutamakan, bahkan yang menjadi ciri hakiki dari demokrasi Pancasila adalah musyawarah untuk mufakat. Nilai ini digali dari kebudayaan di daerah-daerah sehingga dengan sendirinya sudah mengakar pada tiap-tiap suku bangsa di Indonesia. Demikian juga halnya dengn masyarakat Betawi.
Nilai musyawarah untuk mufakat senantiasa diterapkan dalam kehidupan masyarakat Betawi, hal ini nampak pada penye¬lenggaraan upacara daur hidup. Seseorang individu atau suatu keluarga yang akan menyelenggarakan upacara daur hidup, akan terlebih dahulu bermusyawarah dengan kaum kerabat terdekat¬nya. Dalam musyawarah ini dibicarakan masalah pembiayaan, waktu serta segala sesuatu yang akan diperlukan kelak pada waktunya. Biasanya hasil musyawarah inilah yang akan menjadi pegangan mereka dalam melaksanakan upacara. Khususnya dalam penyelenggaraan upacara-upacara daur hidup yang berskala "be¬sar", seperti upacara perkawinan dan upacara khitanan, musya¬warah ini menjadi sangat penting, karena selain menyangkut peren¬canaan biaya, juga rencana tenaga kerja.
10. Nilai Anak
Dalam sistem kekerabatannya, masyarakat Betawi menganut sistem bilateral, artinya kerabat dari kedua belah pihak suami dan istri sama-sama dipertimbangkan dan dimasukkan ke dalam daftar kerabatnya. Jadi, bila dilihat dari sistem ini, maka pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara anak laki-laki maupun anak perempuan di mata mereka. Akan tetapi, dalam penyelenggaraan upacara daur hidup, tampaknya ada suatu perbedaan nilai dari orang tua ter¬hadap anak laki-laki dengan anak perempuan. Nilai yang dimaksud di sini adalah harapan orang tua terhadap anaknya. Perbedaan ini tampak pada waktu penanaman ari-ari (placenta). Sebelum di¬kuburkan, ari-ari perempuan diberi bumbu-bumbu dan diberi benang dan jarum, sedangkan untuk ari-ari bayi laki-laki, selain diberi bumbu juga diberi pinsil dan buku. Barangkali ini mengan¬dung makna pengharapan, bahwa anak laki-laki kelak diharapkan untuk bersekolah yang tinggi hingga menjadi orang yang pandai dan berguna, sedangkan anak perempuan diharapkan untuk men¬jadi ibu rumah tangga. Demikian pula tempat penanaman atau tempat menguburkan ari-ari tersebut ada perbedaan antara bayi laki-laki dengan bayi perempuan. Ari-ari bayi perempuan biasanya dikuburkan di samping sebelah kiri rumah atau di dekat peda¬ringan (tempat menyimpan beras), sedangkan ari-ari bayi laki¬-laki dikuburkan di samping sebelah kanan rumah atau dihanyut¬kan ke kali. Ini pun mengandung makna harapan bahwa anak perempuan nantinya supaya lebih banyak di rumah dan bekerja sebagaimana layaknya seorang ibu rumah tangga, sedangkan anak laki-laki diharapkan pergi ke luar untuk mencari nafkah.
Mungkin interpretasi ini terlalu naif dan apriori, akan tetapi adanya perbedaan ini tidak dapat dipungkiri. Dapat juga dijelas¬kan lebih lanjut, bahwa perbedaan pengharapan ini bertolak dari persepsi mereka tentang diferensiasi kerja secara seksual yang didasarkan pada pandangan mereka tentang kodrat laki-laki dan perempuan. Bahwa laki-laki kodratnya adalah sebagai pe¬mimpin dan kepala rumah tangga, sedangkan wanita adalah sebagai ibu rumah tangga.
Kesimpulan
Masyarakat Betawi, seperti juga kelompok-kelompok suku bangsa lainnya di Indonesia memiliki kekhasan budaya tersendiri yang membedakannya dari suku-suku bangsa lainnya dan sekaligus memberikan karakteristik dan identitas sebagai suatu kelompok masyarakat yang berbudaya. Kekhasan kebudayaan Betawi, nam¬pak pada penyelenggaraan upacara-upacara daur hidup. Kendati upacara daur hidup ini sifatnya universal dan ada pada hampir semua kebudayaan di dunia, akan tetapi dalam penyelenggaraan¬nya memiliki kekhasan dan keunikan masing-masing.
Penyelenggaraan upacara-upacara daur hidup selain mencirikan identitas budaya suatu masyarakat juga sekaligus memiliki fungsi¬-fungsi terapan dalam kaitannya dengan kehidupan keagamaan dan kehidupan sosial. Dalam kaitannya dengan kehidupan keagamaan, upacara daur hidup pada masyarakat Betawi, berfungsi membang¬kitkan emosi keagamaan. Emosi keagamaan ini timbul karena sistem keyakinan mereka yang didominasi oleh agama Islam, sehingga dalam pelaksanaan upacara-upacara ini lebih mencirikan unsur-unsur agama Islam.
Selain itu, nampak pula unsur-unsur adat istiadat yang telah melembaga pada masyarakat yang bersangkutan. Unsur-unsur agama dan adapt istiadat ini tampak membaur dalam pelaksanaan upacara daur hidup pada masyarakat Betawi, sehingga secara sepintas agak sulit membedakan mana yang unsur agama dan mana yang unsur adat istiadat.
Upacara daur hidup sebagai aktifitas budaya dilatarbelakangi oleh sistem nilai yang hidup dalam alam pikiran mereka. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan upacara daur hidup terkandung nilai¬nilai budaya Betawi yang dipedomani dan menjadi kerangka acuan dalam mewujudkan berbagai tindakan. Nilai-nilai budaya ini dapat diungkapkan melalui pengkajian terhadap aktifitas upacara itu sendiri serta kajian terhadap sistem perlengkapan dan peralatan yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan upacara tersebut.
Sistem nilai di sini erat pula berkaitan dengan pandangan hi¬dup masyarakat setempat mengenai tahap-tahap yang dianggap penting dalam perjalanan hidup manusia (stage along the life cycle). Dalam kerbudayaan Betawi, tahap-tahap yang dianggap penting adalah masa-masa kehamilan, khususnya pada usia ke¬hamilan tujuh bulan; masa kanak-kanak, masa mempelajari ajaran-¬ajaran agama Islam, yang ditandai dengan upacara Khatam Al Quran dan upacara khitanan; serta masa perkawinan. Semua tahapan hidup yang dianggap penting itu senantiasa diperingati dengan menyelenggarakan upacara pada tiap-tiap daur hidup.
Selain memiliki fungsi keagamaan, upacara daur hidup juga mempunyai fungsi sosial. Penyelenggaraan upacara daur hidup ternyata dapat menghidupkan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan yang dilatar belakangi oleh nilai-nilai kegotongroyongan, dan nilai-nilai musyawarah, disamping itu dapat juga mengaktifkan fungsi sosial kontrol.
Daftar Pustaka
Abdurachman, dkk., (1986) Pakaian Adat Tradisional DKI Jakar¬ta, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Depdikbud, Jakarta.
Astrid, S. Susanto (1975), Pandangan Umum, Burni Cipta, Cetak¬an I, Bandung.
Darmo Sutopo, R. (1983), "Pandangan Orang Jawa terhadap Leluhur", dalam Analisis Kebudayaan, tahun ke-4 Nomor 2.
Heru Satoto, B. (1985), Simbolisme dalam Budaya Jawa, PT. Hanindita, Yogyakarta.
Kleden, Ninuk P. (1987), Teater Topeng Betawi, Sebagai Teks dan Maknanya: Suatu Tafsiran Antropologi, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta.
MCalat.oa, dkk. (1981), Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah DKI Jakarta, Proyek Inventarisasi dan Dokumen¬tasi Kebudayaan Daerah, Depdikbud, Jakarta.
Koentjaraningrat, (1967), Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta.
----,(1970), Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Penerbit Ja mba tan, Jakarta.
Koentjaraningtat, (1974), Kebudayaan, Mentalitet dan Pem¬bangunan, Gramedia, Jakrta.
Sumber :
Yunus Ahmad H. dkk., 1993, Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup pada Masyarakat Betawi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.