Bagi orang Betawi, seorang anak laki-laki yang telah berusia sekitar 7 tahun atau lebih harus dikhitan. Khitanan merupakan daur hidup yang dianggap penting, karena setelah dikhitan seorang anak baru boleh disebut muslim. Menurut adat bersunat, bahwa :
"Orang-orang yang beragama Islam, haruslah disunat, masuk Rukun Islam, agar suci dalam menunaikan ibadah sembah¬yang".
Pernyataan di atas menunjukkan bukti kesetiaan/kepatuhan manusia terhadap Tuhan Allah SWT, agar anak tersebut menjadi anak yang saleh. Bagi seorang anak yang berasal dari keluarga muslim, khitanan biasa dilakukan setelah menamatkan 30 juz ayat suci Al Quran atau setelah khatam Al Quran.
Khitanan secara tradisional dilakukan oleh seorang "tukang sunat" atau disebut "Bengkong". Kini tidak jarang orang Betawi yang menggunakan tenaga mantri atau dokter untuk mengkhitan anaknya. Untuk melaksanakan khitanan, tukang sunat biasanya dipanggil ke rumah yang punya hajat.
Selempang terbuat dari kain satin atau beludru yang dihiasi manik-manik dan dipakai di atas gamis di dalam jubah. Selempang dipasang dari bahu kiri menyerong ke pinggang kanan, yang ke¬mudian diikat di atas pinggang.
Sesajian yang disiapkan dalam upacara khitan, yaitu : beras, pisang raja bulu satu sisir, sebutir kelapa, kue-kue tradisional, biasanya berupa dodol, wajik, uli, serta seekor ayam jantan.
Sebelum dikhitan, selepas waktu ashar, anak yang akan di¬khitan terlebih dahulu dimandikan, kemudian dikenakan pakaian indah yang biasanya disewa. Bahan pakaian terbuat dari kain satin yang mengkilap, terdiri dari celana panjang yang longgar dan kemeja tangan panjang serta mengenakan "alpiah" yang bentuknya memanjang ke atas. Hiasan lainnya berupa ikat pinggang yang besar dan diberi asesoris. Anak yang akan di sunat dalam busana ini biasa disebut "Pengantin Sunat". Pakaian pe¬ngantin sunat ini terdiri dari :
a. Baju luar memakai jubah haji berwarna putih dan memakai hem putih pada bagian dalamnya.
b. Celana panjang/pantalon sewarna dengan baju.
c. Kepala memakai alpiah, terbus Arab yang dirangkai dengan rangkaian bunga melati.
d. Sepatu pantofel dengan kaos kaki panjang berwarna putih.
e. Selempang atau ikat pinggang besar yang penuh dengan hiasan
f. Kembang/rangkaian bunga dilingkarkan di leher.
Pakaian kebesaran anak sunat ini lebih banyak memperlihat¬kan dari busana Arab. Hal ini dapat dilihat dari beberapa buah nama bagian pakaian adat tersebut, misalnya tutup kepala yang disebut "alpiah", jubah panjang yang disebut "gamis", dan baju luar yang disebut "jubah/jube".
Bentuk jubah/jube menyerupai bentuk kaftan, dengan belahan Italia hagian muka, berlengan panjang sampai pergelangan tangan, berkrah tinggi mirip krah baju Cina. Pada pinggirannya diberi renda emas. Pada uniumnya dasar warna jubah pengantin sunat berwarna merah, hijau, dan biru.
bentuk gamis mirip dengan baju koko, panjangnya kurang lebih 5 cm, lebih pendek dari baju jubah. Bentuk krahnya tinggi, dengan belahan dada. Umumnya gamis pengantin sunat terbuat dari kain satin atau voile dengan dasar warna putih atau krem.
Tutup kepala di kenal dengan sebutan "alpiah", dibentuk dari lipatan kain agak tinggi dan berbentuk bundar, mirip dengan topi Kaisar Manchu, biasanya dihias dengan ronce bunga melati.
Selempang terbuat dari kain satin atau beludru yang dihiasi manik-manik dan dipakai di atas gamis di dalam jubah. Selempang dipasang dari bahu kiri menyerong ke pinggang kanan, yang kemudian diikat di atas pinggang.
Setelah pengantin sunat ini berpakaian rapi, siap menunggangi kuda berhias atau tandu sesuai dengan kaul yang diucapkan oleh orang tuanya. Kuda berhias ini disewa lengkap dengan musik kendang, kenong dan biasa gong, biasa juga diiringi musik rebana yang dimainkan oleh para remaja putri/putra. Kemudian pengantin sunat diarak keliling kampung dengan para pengawalnya menuju ke tempat keramat, biasanya ke kuburan tempat dimakamkannya "pendiri desa" untuk meminta berkahnya. Sebelum waktu magrib arak-arakan telah selesai dan tiba di rumah kembali.
Selepas magrib diadakan acara selamatan. Para undangan hadir untuk membacakan doa selamat diteruskan dengan Maulidan. Setelah acara pembacaan ayat-ayat suci Al Quran, hidangan disuguhkan kepada para tamu, lalu acara dilanjutkan dengan kesenian/hiburan.
Dahulu, masyarakat Betawi jika mempunyai hajat sunatan, biasa menyelenggarakan hiburan kesenian antara lain : lenong, topeng, tanjidor, sambrah, dan lain-lain.
Keesokan harinya sebelum matahari terbit, si anak dimandi¬kan. Anak yang akan disunat direndam beberapa saat dengan maksud untuk mendapatkan kekebalan pada saat dikhitan, hingga rasa sakit akan berkurang. Setelah dimandikan, ia dibawa ke halaman di samping rumah. Di tempat itu ia dipangku oleh kakek¬nya, sementera sesajen dan peralatan sunat sudah disiapkan. Tukang sunat dan beberapa orang tua kerabat hadir pula untuk menyaksikan khitanan. Kemudian tukang sunat melaksanakan khitanan, dengan memotong kulit ujung penis sianak, kira-kira 1 cm panjangnya. Alat yang dipergunakan untuk memotong yaitu pisau yang terbuat dari bambu dan telah diberi ramuan. Posisi anak waktu di sunat yakni dipangku oleh engkongnya (kakeknya), kaki direntangkan ke kiri dan ke kanan, matanya ditutup kain sarung yang dipakainya. Setelah itu tukang sunat membacakan mantera-mantera dan doa-doa yang ditutup dengan salam, maka selesailah acara khitan tersebut.
Si anak kembali dipangku oleh kakeknya dan dibawa ke dalam rumah, di mana telah disiapkan tempat duduk. Pakaian yang dikenakan oleh anak setelah dikhitan adalah kemeja biasa dan sarung yang pada bagian mukanya diberi sabut kelapa, yang berfungsi menjaga agar kain sarung tidak menggores luka pada batang penis si anak.
Anak yang telah dikhitan didudukkan di atas kursi yang sudah disiapkan, dialasi dengan karpet dan di kiri kanannya diletakkan kursi untuk duduk orang tuanya. Tamu-tamu yang hadir memberikan selamat dan doa restunya kepada anak yang dikhitan, sambil memberikan uang secara suka rela kepada anak yang dikhitan sebagai pengobat rasa sakit.
Sementara itu "Bengkong" telah selesai melaksanakan tugasnya. Keluarga yang punya hajat membekali sesajen, ayam jantan hidup.
Sumber :
Yunus ahmad H., 1993, Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup pada Masyarakat Betawi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya