Tradisi dan Makna Simbolik Saparan Kalibuko

Intisari
Saparan Kalibuko merupakan memori atau kenangan bagi masyarakat Kalibuko, atas jasa-jasa para wali dalam memilih Bakal raja di tanah Jawa. Memori ini diwujudkan dalam bentuk upacara yang dinamakan Saparan Kalibuko. Upacara tradisional sebagai salah satu bentuk ung¬kapan budaya merupakan cerminan kehidupan masyarakat¬nya. Demikian pula Saparan Kalibuko merupakan cerminan kehidupan masyarakat Kalibuko yang dengan kondisi wilayahnya yang berbukit-bukit dengan mata pencaharian¬nya sebagai petani ladang dan kerukunan beragama yang sangat mantap masih memerlukan berlangsungnya suatu upacara tradisional. Hal ini didasari atas kepentingan upacara tersehut terhadap kehidupan masyarakat. Masyarakat Kalibuko:mernandang bahwa Saparan Kalibuko merupakan tradisi nenek moyangnya yang harus dilestarikan, karena dengan melaksanakan tradisi ini kehidupan mereka akan lebih mantap. Melalui pelaksanaan Saparan ini Secara tidak langsung merupakan transformasi budaya kepada generasi penerus. Dengan transformasi hudaya ini diharapkan generasi penerus tidak akan lepas dari akar hudaya bangsa.

Pendahuluan
Di Desa Kalirejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo sampai saat ini masih dilaksanakan suatu tradisi turun-temurun yang dikenal dengan nama Saparan Kalibuko. Upacara ini sudah barang tentu melibatkan suatu kelompok atau masyarakat pendukung¬nya. Keterlibatan masyarakat atau kelompok masyarakat mengakibatkan tradisi atau adat-istiadat ini hidup hingga sekarang, meskipun sudah mengalami modernisasi. Hal ini disebabkan karena mereka masih merasakan perlunya upacara itu sebagai salah satu penunjang untuk ketentraman dalam hidupnya.

Saparan Kalibuko merupakan suatu bentuk kegiatan tradisi dalam suatu masyarakat yang di dalamnya banyak me¬ngandung gambar-gambar rohani masyarakat pendukung¬nya. Selain itu juga berisi tentang lambang-lambang yang berkaitan dengan kehidupan yang disampaikan secara khan. Adapun bentuk kegiatan ini bisa dikatakan merupakan bentuk kegiatan yang baku, artinya dilihat dari intinya bentuk kegiatan ini tidak berubah dari waktu ke waktu, dan pelak¬sanaannya pun ditentukan pula oleh alasan-alasan yang baku serta melibatkan seluruh pranata sosial dalam komunitas kecil.

Pada perkembangn selanjutnya untuk lebih memantapkan keberadaan upacara itu sendiri dan juga tuntutan perkem¬bangan jaman, maka Saparan Kalibuko teknis pelaksanaan upacaranya lebih dikembangkan lagi yaitu ditambah dengan berhagai acara yang sifatnya mendukung acara inti, seperti diadakannya arak-arakan dari balai Desa Kalirejo dengan diiringi slawatan. Tambahan acara ini merupakan aktualisasi dari apa yang pernah dilaksanakan oleh nenek moyang terhadap fungsi dan peranan peristiwa tersebut. Pada dasarnya pengembangan upacara tidak mengurangi atau mengubah nilai-nilai dari upacara itu sendiri, tetapi apabila ada perubahan itu hanya menyangkut tatacara penyelenggaraannya saja.

Sebatur Kalibuko
Desa Kalirejo merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Kokap, kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelah utara berhatasan dengan Desa Hargotirto, sebelah karat berbatasan dengan Kedu Kabupaten Purworejo Jawa Tengah, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Hargo¬mulyo dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Hargorejo. Secara administrant Desa Kalirejo terdiri atas 9 dusun, yaitu Kalibuko I, Kalibuko II, Papak, Sangon I, Sangon II, Sangir, Plampang I, Plampang II, dan Plampang III. Jarak Desa Kalirejo dengan pusat pemerintahan kecamatan Kokap 5 km, dengan pusat kota kahupaten Dati II Kulon Progo di Wates 20 km, dan jarak dengan ibukota provinsi Dati I Daerah Istimewa Yogyakarta di Yogyakarta adalah 50 km. Desa ini terletak di lereng selatan per¬bukitan Menoreh dengan ketinggian tanah 600 meter di atas permukaan laut. Luas wilayahnya 12.951.500 ha sebagian hesar berupa tanah kering yang dimanfaatkan sebagai pekarangan dan hangunan seluas 11.927.500 ha, perladangan seluas 7.350 ha dan sisanya dipergunakan untuk pasar, kuburan dan jalan.


Keadaan alam Desa Kalirejo


Sebatur Kalibuko

Sebatur merupakan sehuah tanah lapang yang terletak di tepi tanah perkarangan di wilayah Dusun Kalibuko I. Tanah ini luasnya 2 ha, merupakan tanah persil milik kas desa yang sehari-harinya dibiarkan tidak diurus atau tidak ditanami, dikelilingi oleh pepohonan yang besar-besar sehingga kelihatan angker menakutkan. Tanah lapang ini disebut Sebatur karena letaknya diperbukitan dan bagian yang lapang tersebut seperti bebatur (bahasa Jawa).

Kata sebatur berasal dari kata dalam hahasa Jawa bebatur yang mempunyai arti pinggiraning dhasaring omah (pendhapa) kang luwih dhuwur tinimbang lemah sarta kang digawe batadilepa bata lepan sangganing gedheg yen dideleng saka ing jaba. Karena tanah lapang tersehut bentuknya seperti bebatur rumah, maka dinamakan bebatur dan masyarakat menyehutnya dengan sebatur. Tanah Sebatur sampai saat ini masih merupakan misteri penduduk setempat, hal ini berkaitan dengan legenda yang melingkupi tanah tersebut; yaitu pada waktu akan berakhirnya kerajaan Majapahit di tempat itu para wali dipimpin oleh Kanjeng Sunan Kalijaga bersidang atau bermusyawarah untuk menentukan siapa yang akan menjadi raja di tanah Jawa.

Legenda Timbulnya Saparan Kalibuko
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, di Desa Kalibuko terdapat satu tempat yang dahulu ketika akan berakhirnya kerajaan Majapahit, pernah dipakai oleh para wali yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga, untuk bersidang atau bermusyawarah menentukan siapa yang akan menjadi raja di tanah Jawa. Tempat itu sekarang dinamakan Sebatur. Para wali sebelum bersidang terlebih dahulu melaksanakan puasa, dengan tujuan supaya nantinya musyawarah itu dapat berjalan dengan lancar dan menghasilkan keputusan yang haik. Pada hari Jumat Kliwon di bulan Sapar para wali merasakan bahwa puasanya telah cukup, maka para wali mengakhiri puasanya dengan melaksanakan buka, `buka puasa'. Adapun pada waktu itu yang dipakai buka puasa adalah daging wedhus kendhit yang dimasak sate.


Serumpun bamboo yang digunakan pring gedhe

Ketika beliau selesai makan sate Kanjeng Sunan Kalijaga melempar tusuk sate tersebut dan jatuh di tanah tidak jauh dari Sebatur. Tusuk sate tersebut kemudian tumbuh menjadi serumpun bambu. Kanjeng Sunan Kalijaga mengetahui bahwa tusuk sate tersebut menjadi pohon bambu, maka beliau berpesan agar bambu tersebut dipelihara, namun jangan dipakai untuk peralatan atau perlengkapan bangunan, karena akan menyebabkan kurang baik pemakainya. Masyarakat setempat sangat mengkeramatkan pohon bambu tersebut, dan mereka menamakan serumpun bambu itu dengan nama pring gedhe.

Daerah di sekitar tempat para wali melaksanakan musyawarah dan berbuka puasa itu kemudian dinamakan Kalibuko, hal ini berkaitan dengan peristiwa masa lalu bahwa di tempat itu para wali melaksanakan buka puasa sehingga pada mulanya disebut wali buka dan kemudian menjadi kali buko, yang sampai sekarang dijadikan nama dua dusun di wilayah Desa Kalirejo yaitu Kalibuko I dan Kalibuko II.

Peristiwa yang terjadi di Sebatur Kalibuko pada jaman para wali, bagi masyarakat setempat sampai sekarang masih merupakan misteri yang hidup di setiap sanubari. Oleh karenanya sejak nenek moyangnya untuk memperingati peristiwa yang pernah dilakukan oleh para wali, di tempat tersebut pada setiap bulan Sapar dilaksanakan tradisi yang dinamakan Saparan Kalibuko. Saparan Kalibuko merupakan kenangan tersendiri bagi masyarakat Kalibuko terhadap jasa-jasa para wali dalam menentukan siapa yang akan menjadi raja di tanah jawa, di samping merupakan bentuk permohonan keselamatan kepada Tuhan. Masyarakat Kalibuko percaya, bahwa apabila Saparan ini sampai tidak dilaksanakan maka akan terjadi sesuatu yang kurang baik. Oleh karena itu setiap tahunnya Saparan Kalibuko selalu dilaksanakan.

Tujuan Saparan Kalibuko
Saparan Kalibuko merupakan warisan budaya nenek moyang yang dilaksanakan sejak kurang lebih tahun 1400. Hingga sekarang tradisi ini masih tetap dilaksanakan, karena tradisi ini merupakan naluri dan juga merupakan tradisi masyarakat Kalibuko. Mereka menganggap bahwa pada prinsipnya tradisi adalah suatu kebiasaan yang berlakunya berdasarkan norma-norma tertentu dan jangan sampai dilanggar.

Adapun tujuan dilaksanakan Saparan ini untuk memper¬ingati atau mengenang jasa-jasa para wali saat bersidang atau bermusyawarah di daerah itu guna memilih seorang raja yang akan mcmerintah pulau Jawa. Di samping untuk memohon keselamatan kepada Tuhan agar seluruh warga Kalibuko khususnya dan masyarakat Desa Kalirejo pada umumnya senantiasa mendapat berkah dan selalu dalam lindungan-Nya. Selain itu juga untuk melestarikan tradisi warisan nenek moyangnya dan sekaligus pembinaan pada generasi muda supaya mereka tidak lepas dari akar budayanya.

Waktu dan Tempat Upacara
Saparan Kalibuko dilaksanakan setiap tahunnya dengan perhitungan tahun Jawa yaitu jatuh pada setiap bulan Sapar. Harinya dipilih hari Jumat Kliwon apabila pada bulan Sapar tidak terdapat hari Jumat Kliwon maka boleh diganti dengan hari Selasa Kliwon. Kalau dalam satu bulan terdapat hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, maka dipilih lebih awal tanggalnya, sedangkan tanggalnya bisa berubah-ubah. Tempat pelaksanaan Saparan Kalibuko di Sebatur Kalibuko.

Unsur Upacara dan Makna Simboliknya
Di dalam setiap upacara tradisional terdapat unsur-unsur upacara yang menjadi dasar pelaksanaan upacara. Demikian juga dalam Saparan Kalibuko ada beberapa unsur upacara yang mendukung pelaksanaan upacara. Setiap unsur mempunyai makna yang dilambangkan dengan simbol-simbol yang sangat erat hubungannya dengan alam sekitar. Simbol-simbol ini merupakan pemadatan dari kondisi kehidupan alam nyata.Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam Saparan Kalibuko adalah sebagai berikut:

Tahlil, adalah suatu bentuk doa pengagungan kebesaran nama Tuhan, di dalam tahlil ini terkandung permohonan ampun kepada Tuhan atas segala kesalahan, di samping permohonan keselamatan.

Sesaji
Kupat lepet, mempunyai makna mohon maaf atas segala kesalahan pada Yang Maha Kuasa.

Golong wilang rakyat, golong yaitu nasi putih yang dibentuk bulatan agak besar. Sedang golong wilang rakyat, nasi golong yang jumlahnya sesuai dengan jumlah jiwa dalam keluarga. Adapun maknanya agar supaya jiwa sebrayat atau sekeluarga bisa kukuh, dan selamat.


Suasana tahlilan di Sebatur

Lelawuhan lauk-pauk', untuk sesaji Saparan Kalibuko ini seadanya, lauk-pauk merupakan pelengkap, mempunyai makna pengharapan agar apa yang di-hajadkan akan tercapai.

Pisang raja, sebagai lambang persembahan kepada Yang Maha Kuasa.

Sesaji dalam tenong

a. Nasi wuduk atau nasi rasul, yaitu nasi putih yang diberi santan garam dan daun salain, sehingga rasanya gurih. Sehingga nasi wuduk ini juga sering disebut nasi gurih. Nasi wuduk ditujukan untuk Nabi Muhammad Rasulullah. Oleh sebab itu disebut juga nasi rasul. Maksud dari nasi ini untuk keselamatan Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabat--sahabatnya, serta keselamatan tersebut dapat menular kepada penyelenggara dan pengikut upacara.

b. Ingkung ayam, yaitu ayam utuh yang dimasak dengan santan dan dibumbui tidak pedas, sehingga terasa gurih. Ingkung ayam merupakan pelengkap nasi wuduk. Ingkung melambangkan manusia ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan. Dalam upacara ingkung disajikan dengan maksud untuk me-nyucikan seluruh warga masyarakat atas segala ke¬salahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

c. Wedhus Kendhit, yaitu kambing yang bulunya berwarna hitam namun pada bagian punggungnya berwarna putih seperti selempang putih yang melingkar di badannya. Wedhus kendhit ini merupakan sesaji pokok dalam Saparan Kalibuko, karena seperti yang pernah dilakukan oleh para wali dalam melakukan buka puasa pada bulan Sapar beberapa tahun yang telah silam. Wedhus kendhit sampai sekarang masih merupakan syarat untuk sesaji dalam setiap upacara korban. Pada perkemhangan selanjutnya karena mencari wedhus kendhit sangat sulit, maka wedhus kendhit diganti dengan wedhus yang herwarna hitam semua, dan untuk memenuhi syarat sebagai wedhus kendhit, maka hadannya dilingkari selempang atau kendhit dari kain mori.

Kambing hitam yang punggungnya diberi kendhit dari kain mori, sebagai
pengganti wedhus kendhit.

d. Pemetakan kepala dan kaki kambing
Maksud dari pemetakan kepala dan kaki kambing untuk penolak bala. Dengan dipasang penolak bala yang berupa kepala kambing dan kaki-kaki kambing di Batas desa, di harapkan bahwa semua gangguan atau bencana yang akan masuk ke Desa Kalibuko dapat dihalau.

Slawatan, adalah suatu bentuk kesenian yang tujuannya untuk mengagungkan kebesaran Nama Tuhan. Hal ini terlihat dari bacaan slawatan yang syair-syairnya diambil dari kitab Tuladha Jawi yang isinya bahwa manusia itu harus bertindak secara baik, menurut tatakrama dan ajaran serta selalu ingat akan Tuhan Sang Pencipta.

f. Arak-arakan yaitu membawa keliling kepala kambing dan sesaji dalam tenong dan dengan diiringi slawatan dari balai Desa Kalirejo menuju ketempat upacara di Sebatur. Maksud arak-arakan ini untuk menolak bala.

Pendukung Saparan Kalibuko
Saparan Kalibuko terlaksana berkat dukungan dari ber¬bagai pihak, adapun para pendukung upacara ini adalah seluruh warga Desa Kalibuko I dan Kalibuko II, baik itu laki-laki maupun wanita. Saparan ini didukung oleh seluruh warga desa tidak memandang usia, agama maupun kedudukan. Pada hari pelaksanaan upacara setiap kepala keluarga membuat sesaji yang akan dihawa dengan tenong ke tempat upacara. Pembuatan sesaji ini dilakukan oleh para wanita di rumah masing-masing. Sedang orang laki-laki mempersiapkan pelaksanaan upacara dan mengikuti jalannya upacara di Sebatur. Secara administratif yang terlihat Iangsung adalah kepala Dusun Kalibuko I dan II sebagai koorndinator pelaksana. Sedangkan para perangkat Desa Kalirejo sebagai tamu undangan.

Persiapan Pelaksanaan Saparan Kalibuko
Lima hari menjelang puncak upacara masyarakat Desa Kalibuko mengganti pagar yang mengitari rumpun bambu yang disebut pring gedhe, serta membersihkan tempat upacara. Di awali dengan doa permohonan selamat yang dilakukan oleh sesepuh desa dan di sertai dengan pembakaran kemenyan. Kemudian pelaksanaan penggantian pagan lama dan perbaikan serta mem¬bersihkan Iingkungan pring gedhe. Setelah selesai kemudian dilanjutkan dengan membersihkan komplek atau lingkungan Sebatur yang akan dipakai sebagai tempat upacara. Setelah sesepuh desa menyampaikan doa di Sebatur, maka dilakukan persiapan-persiapan yaitu dengan membersihkan tanah lapang sehatur yang terletak di tepi tanah pekarangan di kawasan Desa Kalibuko II. Tanah lapang dibersihkan rumput-rumputnya, kemudian membuat tungku untuk memasak, membuat tempat penyembelihan, menggali tanah tempat untuk metak `menanam' kepala kambing, dan mengatur tempat untuk pelaksanaan upacara. Setelah semuanya selesai maka para warga desa yang mempersiapkan tersebut kembali ke rumah masing-masing.

Selain itu juga dipersiapkan seekor Wedhus kendhit dan perlengkapan untuk memasak seperti bumbu-bumbu, kayu bakar, alat-alat memasak, tikar dan sebagainya. Alat-alat tersebut sebelum dipakai disimpan di rumah kepala Dusun Kalibuko II.

-Malam hari menjelang puncak upacara warga dusun Kalibuko I dan Kalibuko II yang menganut agama Is¬lam, melaksanakan tahlilan dan tirakatan bertempat di Sebatur. Sedangkan penganut agama selain Islam, mereka tetap tinggal di rumah dengan melakukan doa menurut agama dan kepercayaan mereka masing-masing, selain itu mereka juga bertugas mempersiapkan keperluan yang akan dipakai pada pagi harinya. Tahlilan dan tirakatan ini berlangsung sampai menjelang pagi hari, dengan tujuan untuk memohon keselamatan kepada Tuhan agar pelaksanaan Saparan pada pagi harinya dapat berjalan lancar dan seluruh warga Kalibuko selalu mendapat lindungan-Nya.

Prosesi Saparan Kalibuko diawali dengan penyembe¬lihan kambing yang bertempat di Sebatur. Bagian kepala kemudian dibawa ke balai Desa Kalirejo, untuk selanjut¬nya dipakai dalam prosesi arak-arakan kepala kambing dan sesaji tenong yang dibawa penduduk dari balai desa ke Sebatur. Sedangkan kaki-kaki kambing dipetak 'di¬tanam' di perempatan jalan di empat penjuru Batas desa yaitu di palang Papak, untuk sebelah selatan; palang Plampang untuk sebelah utara; palang Tegiri untuk sebelah timur; palang Kokap untuk sebelah barat yang letaknya tepat di depan halal desa Kalirejo. Sedangkan kepala kambing dipetak di pusat yaitu di Sebatur. Bagian lainnya kemudian dimasak dengan mengambil tempat di Sebatur. Nama masakan daging itu disebut osik, adapun humbu osik terdiri atas gula Jawa, laos, daun salam, merica, brambang bawang dan garam. Pada waktu memasak tidak boleh diicipi `mencicipi masakan' dan yang memasak harus orang laki-laki.


Memasak daging kambing di Sebatur

Sementara itu masyarakat Desa Kalibuko di rumah masing-masing menyiapkan masakan sesaji yang terdiri atas kupat “ketupat”, lepet, pisang raja, dan nasi golong beserta lelawuhan ditempatkan dalam tenong, yang akan dibawa ke tempat upacara pada siang harinya. Kira¬-kira pukul 12.00 siang masyarakat dengan membawa tenong berkumpul di balai desa, kemudian dilakukan arak-arakan menuju ke tempat upacara sambil membawa kepala kambing dengan diiringi slawatan, jarak antara balai desa sampai tempat upacara kurang lebih dua kilometer


Metak kaki kambing di palang Plampang

Setelah sampai di Sebatur (tempat upacara), setiap pembawa tenong dibagikan masakan daging kambing dan dimasukkan dalam tenong. Kemudian setelah semuanya mendapatkan masakan daging kambing tersebut, segera Saparan Kalibuko dimulai, yang diawali dengan metak kepala kambing di Sebatur. Kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh rois yang isinya mohon berkah kepada Tuhan agar masyarakat diberi keselamatan, ketentraman dan karunia-Nya.


Arak-arakan Saparan Kalibuko

Setelah doa selesai para pendukung upacara dipersilahkan makan sesaji dalam tenong yang berupa kupat, lepet, pisang raja, nasi golong dan lelawuhan. Setelah acara kenduri dan makan bersama selesai para warga masya¬rakat kemudian kembali ke rumah masing-masing. Sebagai akhir pelaksanaan Saparan Kalibuko dilakukan pemetakan kaki kambing di depan balai Desa Kelirejo yang dilakukan oleh bapak rois.


Membagi masakan daging kambing di Sibatur

Pantangan yang Harus Dipatuhi
Dalam pelaksanaan Saparan Kalibuko terdapat beberapa pantangan yang harus dipatuhi, masyarakat pendukung¬nya percaya apabila larangan ini sampai dilanggar atau tidak dipatuhi maka akan menyebabkan bencana bagi si pelanggar maupun bagi seluruh warga desa. Adapun pantangan-pantangan itu adalah sebagai berikut:

a. Dalam memasak daging kambing tempatnya harus di Sebatur, apabila tempatnya dipindah maka akan mengganggu keselarasan kehidupan warga desa. Hal ini pemah terjadi ketika dilaksanakan Saparan Kalibuko terjadi hujan sehingga memaksakan pindah keluar Sehatur dan menempati di sebuah rumah penduduk, tetapi akibatnya masakan daging kambing itu tidak dapat matang meskipun memasaknya seharian.

b. Waktu memasak daging kambing para petugas masak tidak boleh mencicipi masakain tersebut, sebab apabila sampai mencicipi maka dirinya akan mendapat musibah.

c. Saparan Kalibuko merupakan tradisi ritual, maka segala bentuk sesaji harus bersih atau suci, sehingga untuk menjaga kesucian tersebut yang melaksanakan masak daging kambing di Sebatur harus orang laki-laki.

d. Semua sesaji yang dibawa ke tempat upacara, baik itu yang dibawa dari rumah maupun sesaji daging kambing tidak boleh dimakan sebelum didoakan. Masyarakat pendukungnya percaya, apahila hal ini sampai dilanggar akan menyebahkan malapetaka bagi si pelanggar itu sendiri maupun lingkungannya.

e. Dalam keadaan apapun Saparan Kalibuko setiap tahunnya yaitu pada bulan Sapar harus dilaksanakan. Masyarakat Kalibuko mempunyai kepercayaan apabila Saparan tidak dilaksanakan maka di desanya akan terjadi musihah atau malapetaka, sehingga hidupnya menjadi tidak tenteram.

Makna Simbolik Saparan Kalibuko
Saparan Kalibuko diselenggarakan setiap tahun sekali dengan perhitungan tahun Jawa (AJ) dan jatuh pada setiap bulan Sapar; karena upacara ini dilakukan pada bulan Sapar maka dinamakan Saparan. Latar belakang pe-nyelenggaraan Saparan Kalibuko tidak lain merupakan memori atau kenangan tersendiri bagi segenap warga masyarakat Kalibuko atas jasa-jasa para wali dalam me¬nentukan siapa yang akan menjadi raja di tanah Jawa. Bentuk kenangan ini berupa pelaksanaan Saparan yang antara lain menirukan cara-cara yang dilakukan para wali dalam melaksanakan buka puasa di desanya; sehingga misteri kenangan itu menjadi nama desanya, Kalibuko.

Para wali melaksanakan puasa bukan pada bulan suci Ramadhan, hal ini terbukti bahwa puasanya diakhiri pada bulan Sapar. Kebiasaan puasa di luar bulan Ramadhan merupakan puasa untuk mengekang hawa nafsu dan juga untuk membentuk fikiran jernih, di samping menjalankan laku. Dalam hal ini para wali berpuasa untuk menjalani laku, untuk memilih bakal raja di tanah Jawa. Hal ini merupakan tugas yang berat, sehingga para wali pun yang sudah dikenal dengan kepandaian dan kesaktiannya masih memerlukan hal-hal yang khusus demi keberhasilan dalam menentukan raja di tanah Jawa. Di samping itu buka puasa pada bulan Sapar ditafsirkan sebagai buka tekad. Buka tekad dapat ditafsirkan sebagai buka puasa setelah menjalani laku atau buka tekad yang ditafsirkan telah selesainya menjalani suatu wejangan, pendidikan atau telah mencapai tingkat ke¬sempurnaan hidup. Pada masa kini aktualisasi yang dilaku¬kan oleh para wali di Kalibuko adalah bahwa manusia hendaknya selalu hidup dengan fikiran jernih, fikiran jernih menyebahkan menyebabkan hidup menjadi tenteram. Untuk mencapai fikiran yang jernih dapat dilakukan dengan taat beribadah; melakukan puasa sesuai dengan ajaran agama, sebab puasa dapat mengekang hawa nafsu dan mengendali¬kan fikiran-fikiran yang jelek. Sedangkan buka tekad me¬rupakan simbol bahwa hendaknya manusia itu dalam mencapai sesuatu harus dengan berusaha, sehingga apa yang dicapai benar-benar sesuai dengan yang diinginkan, di samping itu bahwa manusia apabila ingin mencapai kebahagiaan berbuatlah yang baik bagi dirinya maupun lingkungannya dan selalu ingat kepada Sang Pencipta.

Saparan Kalibuko bagi masyarakat Kalibuko merupakan tradisi nenek moyang yang harus-tetap dilestarikan. Oleh karenanya didukung segenap warga yang tinggal di desa tersebut. Penduduk Desa Kalibuko terdiri atas 3 penganut agama, mereka hidup saling berdampingan. Hal ini tercermin dan sikap penduduk dalam memandang Saparan Kalibuko sebagai tradisi leluhurnya yang harus tetap dilestarikan. Mereka melihat Saparan sebagai suatu tradisi yang diwariskan secara turun-temurun, mekipun pada mulanya tradisi ini bermula dari wali yang menganut agama Islam, namun pada masa kini Saparan Kalibuko sebagai salah satu cerminan kerukunan hidup beragama, karena dari ketiga agama yang dianut oleh warga Kalibuko mendukung berlangsungnya upacara Saparan tersebut. Hal ini dapat dilihat pada waktu tahlitan dilakukan oleh warga yang menganut agama Islam, sedang penganut lainnya tetap tinggal di rumah berdoa untuk memohon keselamatan kepada Tuhan, di samping mempersiapkan perlengkapan upacara pada keesokan harinya. Pada waktu pelaksanaan Saparan Kalibuko baik itu warga masyarakat beragama Islam maupun selain Islam secara bersama-sama melaksanakan tradisi Saparan yang merupakan warisan leluhurnya.

Pelaksanaan Saparan Kalibuko melibatkan seluruh warga Desa Kalibuko, mereka secara bersama-sama bekerja her¬gotongroyong untuk mendukung terlaksananya upacara tersebut. Mulai dan persiapan sampai akhir pelaksanaan Saparan, mereka mempersiapkan perlengkapan dan per¬alatan yang diperlukan. Sebelum pelaksanaan upacara mereka secara bersama-sama bergotongroyong rnembersih¬kan tempat upacara, jalan-jalan di desanya dan lingku¬ngannya. Mereka secara sadar menerima kenyataan bahwa untuk mewujudkan desanya yang bersih indah dan tenteram perlu dukungan dari seluruh warga, termasuk dalam melaksanakan Saparan Kalibuko. Pelaksanaan Saparan Kalibuko ini secara tidak langsung merupakan cerminan kegotongroyongan masyarakat Kalibuko, di samping me¬rupakan kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya.

Kesimpulan
Saparan Kalibuko merupakah memori atau kenangan tersendiri bagi warga Kalibuko atas jasa-jasa para wali dalam menentukan bakal raja di tanah Jawa. Di samping untuk mengucap syukur kepada Tuhan, bahwa semua karunia di dunia ini tidak lepas dari Sang Pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa.

Saparan Kalibuko merupakan cerminan kegotong¬royongan masyarakat Kalibuko untuk mewujudkan desanya aman tenteram, bersih dan indah di samping cerminan masyarakat Kalibuko terhadap kepedulian lingkungannya.

Saparan Kalibuko secara tidak langsung merupakan faktor penertib dan kepatuhan yang dapat dipakai oleh masyarakat pendukungnya untuk lebih menyadari akan arti pentingnya ketertiban dan kepatuhan terhadap aturan-aturan yang ada di lingkungannya.

Di dalam Saparan Kalibuko terdapat simbol-simbol yang merupakan gambaran akan nilai-nilai yang terkandung dalam upacara.

Saparan Kalibuko, merupakan salah satu bentuk ungkapan budaya Jawa, perlu dipahami dan diinternalisasikan kepada gencrasi penerus agar mereka tidak lepas dari akar budaya bangsa.

Bahwa Saparan Kalibuko merupakan tradisi warisan nenek moyangnya yang selalu dilaksanakan oleh para pendukungnya sehagai salah satu cara untuk menghormati leluhurnya.

Catatan
Sebatur:
Dalam Bahasa Jawa untuk menyebut apabila sebatur itu hanya satu tingkat.

Buka:
Buka puasa yang dilakukan oleh para wali merupakan buka tekad, hal ini mengingat puasanya diakhiri pada bulan Sapar. Tujuan buka tekad untuk memohon petunjuk dan bimbingan dari Sang Pencipta agar dalam melaksanakan tugas-tugas yang sifatnya khusus atau berat sehingga dapat terlaksana dengan baik dan selamat, dalam hal ini para wali akan memilih bakal raja di tanah Jawa.

Wedhus kendhit:
Kambing yang bulunya berwarna hitam, tetapi pada bagian punggungnya berwarna putih seperti selempang putih yang dilingkarkan di badan.

Pring gedhe:
Serumpun bambu yang sangat dikeramatkan dan dilarang dipergunakan untuk berbagai keperluan, maka oleh masyarakat setempat juga sering disebut dengan pring larangan.

Kalibuko:
Ditafsirkan berasal dari kata wali buko, oleh masyarakat setempat juga ditafsirkan dari cerita yang menyatakan hahwa Kanjeng Sunan Kali (Sunan Kalijaga) berbuka puasa di tempat tersebut, sehingga kata kali untuk nama kalibuko berasal dari nama Kanjeng Sunan Kali.

Pemetakan:
Penanaman atau penguburan sesaji, dalam hal ini kepala kambing dan kaki kambing, dengan tujuan untuk penolak Bala.
Palang:
Sebutan untuk perempatan jalan.

Osik:
Masakan daging yang cara memasaknya dengan dikeringkan tanpa diberi air dan bumbu-bumbu.

Lelawuhan:
Merupakan lauk pauk makanan pelengkap nasi golong dan kupat lepet dan jenis makanannya tidak ditentukan, menurut apa adanya yang dimiliki oleh setiap warga.

Tenong:
Menurut Baoesastra Djawa kata tenong mempunyai arti wadah awangun bunder nganggo tutup sing digawe saka nam-naman pring dianggo wadhah panganan tempat yang berbentuk bulat dengan me¬makai tutup, dibuat dari anyaman bambu dipakai sebagai tempat makanan (Purwadarminta 1939:597)

Daftar Pustaka
Hamidy, UU., 1975. Sikap Orang Melayu terhadap Tradisinya di Riau. Pakanbaru: Proyek IDKD.

Jumeiri Siti Rumidjah, dkk. 1984. Upacara Tradisional dalam Kaitannya dengan Peristiwa Alam dan Kepercavaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Proyek IDKD.

Koentjaraningrat, 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Monografi Desa Kalirejo, 1992

Poerwadarininta, 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters' Uitgevers-Maatschappij NV.

Rendra, 1983. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: Gramedia.

Sepanto, dkk., 1992. Upacara Tradisional Sekaten Daerah
Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Proyek IPNB

Sumber :
Sunjata Pantja Wahyudi, 1999/2000, Tradisi dan Makna Simbolik Saparan Kalibuko, Jakarta, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia
-

Arsip Blog

Recent Posts