Ari-ari dipandang sebagai "saudara tua" si bayi, karena itu tidak boleh dibuang sembarangan, namun harus dipelihara, dengan cara mengubur atau dihanyutkan ke sungai/laut. Ari-ari yang lazim disebut juga "bali", dicuci bersih lalu dimasukkan ke dalam "pendil" (periuk tanah), kemudian diberi bumbu dapur seperti : garam, asam, kunyit, salam, sereh, juga benang dan jarum (untuk bayi perempuan), pinsil, kertas (untuk bayi laki-¬laki), serta bunga tujuh macam.
Kebiasaan masyarakat Betawi, jika bayi perempuan ari-arinya ditanam di samping rumah atau dekat pedaringan (tempat me¬nyimpan beras) dengan maksud agar anak perempuan nantinya tidak sering ke luar rumah, dan pekerjaan wanita juga lebih banyak tinggal di rumah, juga supaya kelak hidupnya tidak kekurangan makan. Setelah ari-ari dikubur, diberi lubang bambu setinggi .10 cm di atasnya dan ditaburi bunga, dipasangi lampu (pelita) hingga puput puser (lepas tali ari-ari), diberi tanda dengan batu-batu di sekitamya agar tidak terinjak atau diganggu binatang.
Sehagian masyarakat ada yang membuang ari-arinya ke sungai atau ke laut bila yang lahir itu bayi laki-laki setelah terlebih da¬hulu niengikatnya di atas batang pisang. Maksudnya agar si anak kelak dapat berlayar seperti saudara tuanya. Akhir-akhir ini banyak yang melahirkan dibantu oleh seorang bidan, dan ari-ari (placenta)nya diurus oleh nenek si bayi.
Sumber :
Yunus ahmad H., 1993, Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup pada Masyarakat Betawi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya