Putus Sekolah, Jual Keperawanan Rp 170.000

SETAHUN yang lalu, Janet Kimani masih menghabiskan hari-harinya di sekolah atau bertengkar dengan adik laki-lakinya soal acara televisi. Tidak ada lain yang dipikirkan kecuali dunia anak-anak yang menyenangkan.

Namun, saat ini ia menghabiskan siang harinya dengan tidur karena malam nanti ia harus menjual tubuhnya. Ya, Janet harus mengaryakan tubuh kurusnya yang baru berusia 14 tahun demi 160 shilling Kenya (setara dengan Rp 27.000) untuk satu jam layanan syahwat.

“Sekarang banyak gadis seperti saya bekerja di jalanan,” kata Janet ketika ditemui di pinggir jalan salah satu sudut Eldoret, sebuah kota di bagian barat Kenya, pekan lalu.

Prostitusi dan eksploitasi seksual saat ini sedang “naik daun” ketika kerusuhan berdarah mencabut nyawa lebih dari 1.000 warga Kenya akhir tahun lalu, termasuk di Eldoret. Kerusuhan itu menghancurkan perekonomian dan menyeret warga Kenya ke jurang kemiskinan.

Pada saat seperti itu, seperti di tempat lain, ribuan anak dipaksa meninggalkan sekolah dan bekerja di jalanan untuk menyambung hidup. Janet salah satu di antara mereka.

Tidak ada angka yang pasti berapa ratus atau ribu anak gadis terjerumus dalam prostitusi. Yang jelas, fenomena ini membuat miris para aktivis kemusiaan dan dokter karena sudah dapat dipastikan angka korban HIV/AIDS meroket.

“Dengan berjalannya waktu, kami mulai merasakan dampak konflik ini, yakni HIV dan AIDS,” kata Teresa Omondi, Kepala Pusat Pemulihan Kekerasan Gender di Rumah Sakit Perempuan Nairobi.

Sebuah laporan yang dipublikasikan lembaga itu menjadi semacam tanda bahaya. Disebutkan, sudah ada ketakutan bahwa prestasi mengurangi prevalensi HIV di Kenya akan musnah sia-sia. Dewan Pengawas AIDS Nasional Kenya juga menggelar studi dampak kekerasan ketika perkosaan massal dan kejahatan seksual lain terjadi selama kerusuhan itu.

Sejumlah pekerja seks belia yang diwawancarai mengaku bekerja tanpa kondom karena saat ini persaingan semakin keras karena semakin banyak teman sebaya dan senasib mereka turun ke jalan.”Memang kami biasanya pakai kondom, tetapi ada kalanya tidak,” kata Milka Muthoni (17). Gadis ini sebenarnya butuh setahun lagi untuk menyelesaikan SMA, tetapi tekanan ekonomi membuat pendidikannya terhenti dan memilih menjual tubuh.

“Saya tahu ini bisnis yang berisiko. Suatu kali saya pergi ke rumah sakit dengan beberapa luka dan penyakit. Tapi bagaimana lagi, saya tidak punya pilihan lain,” katanya.

Milka yang tinggal di Eldoret mengaku diusir dari rumah ketika orangtuanya tahu ia menjual diri. “Tetapi sekarang saya belanja untuk mereka, jadi mereka tidak tanya-tanya lagi dari mana saya mendapat uang,” tuturnya.

Pertumpahan darah itu pecah menyusul sengketa hasil pemilu pada 27 Desember 2007 dan itu menjadi saat paling kelam dalam sejarah Kenya sejak merdeka dari Inggris pada 1963. Sengketa politik itu berujung pada kerusuhan dan perkelahian antaretnis yang akhirnya mengungkap lebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.

Memang akhirnya pembagian kekuasaan di antara para elite menghentikan konflik ini. Presiden Mwai Kibaki tetap menduduki kursinya, sementara lawan politiknya, Raila Odinga, menjadi perdana menteri. Namun, Kenya telanjur kehilangan 1 miliar dollar karena kerusuhan ini meski sekarang pelan-pelan perekonomian pulih dan turis kembali memadati pantai-pantai di tepi Samudra Hindia.

Sayangnya kerusakan nyaris mustahil dipulihkan seperti semula. Ribuan warga Kenya masih tinggal di pengungsian, setelah kabur dari desa ketika kerusuhan datang. Banyak siswa tidak kembali ke kelas atau putus sekolah karena tidak bisa lagi membayar uang sekolah yang naik mengikuti harga bahan bakar minyak.

Musai Ndunda, Ketua Asosiasi Orangtua Kenya, mengatakan, sekitar 40.000 siswa usia SMP putus sekolah Februari lalu. Itu angka terakhir yang bisa didapat. Ia yakin masih banyak yang tidak tercatat. Mungkin juga sudah ada yang kembali ke sekolah tetapi keluar lagi.

Bagi Janet, kembali ke Kiambaa Primary School bukan termasuk pilihan yang bisa diambil karena gedung itu sudah rata dengan tanah setelah dibakar massa saat kerusuhan.

Dia sempat sebulan tinggal di kamp penampungan di Eldoret. Sampai kemudian ia mengamati temannya, Nyambura, selalu punya makanan dan pakaian bagus meski sama-sama tinggal di kamp. Suatu hari, Nyambura mengakui ia menjual tubuhnya dan mengajak Janet mengunjungi tempat kerjanya, sebuah pub.
“Sebenarnya saya enggan, tapi Nyambura meyakinkan saya bahwa laki-laki itu akan membayar. Saya belum pernah minum alkohol, tetapi saya sangat butuh uang, jadi saya ikut saja,” tutur Janet mengenang hari pertamanya masuk dalam kehidupan malam.

Malam itu keperawanannya dihargai 1.000 shilling atau sekitar Rp 170.000. Dia membawakan makanan untuk kedua orangtua dan enam saudaranya. Saat itu ia mengaku punya pekerjaan di kota, tetapi tidak memberi tahu pekerjaan apa dan mereka pun juga tidak bertanya.

“Orangtua saya sudah miskin, bahkan sebelum kerusuhan. Mereka tidak bisa membeli bahan-bahan kebutuhan. Sekarang, dengan saya di jalanan, kalau sedang untung ya bisa bawa pulang 2.000 shilling. Itu setelah tidur dengan lima atau enam pria,” katanya.

Janet jelas tidak punya harapan kembali ke sekolah. Orangtuanya tidak punya pekerjaan sehingga penghasilan Janet sangat penting untuk menyambung hidup keluarganya. “Memang pekerjaan ini awalnya sangat menyiksa. Tidur dengan pria-pria itu sangat mengerikan karena kadang-kadang mereka juga kasar dan menyakiti saya. Tapi kelamaan saya terbiasa,” katanya.

Prostitusi memang sudah lama menjadi persoalan di Kenya, khususnya di kawasan wisata. Agnetta Mirikau, aktivis perlindungan anak di UNICEF Kenya, mengatakan, peningkatan jumlah pelacur anak mudah terlihat di kota-kota yang paling parah tingkat kerusuhannya, seperti Eldoret, Naivasha, dan Nakuru.
Eldoret merupakan lokasi kerusuhan paling keras dan berdarah seusai pemilu. Di kota ini sebuah gereja dibakar, padahal gedung itu dipenuhi orang yang sedang mencari perlindungan. Puluhan orang tewas dalam insiden itu.

“Orang-orang dewasa sekarang mengumpankan anak-anaknya karena mereka tidak punya penghasilan apa pun. Anak-anak putus sekolah dan mereka ingin membantu menghasilkan sesuatu untuk orangtuanya. Jika tidak ada makanan dan mereka merasa bertanggung jawab atas nasib saudara-saudaranya, maka mereka akan keluar rumah dan mencari uang untuk beli makanan,” kata Mirikau.

Wali Kota Eldoret Sammy Rutto baru-baru ini memerintahkan polisi memberantas prostitusi setelah mendengar ada gadis 12 tahun terlihat nongkrong di bar. “Ini bisnis yang tidak bisa kami biarkan. Mereka harus mencari alternatif lain untuk hidup. Pelacuran pasti akan memperluas penyebaran AIDS, dan banyak orangtua kehilangan anak-anaknya,” kata Sammy.

Pertanyaannya, apakah alternatif itu ada, atau bisakah pejabat seperti Sammy Rutto dan politisi yang berebut kekuasaan itu menyediakan pekerjaan lain yang tidak berbahaya.( Senin, 4 Agustus 2008 | 07:47 WIB/www.kompas.com)

-

Arsip Blog

Recent Posts