Indonesia Sasaran Wisata Seks Anak

Jakarta - Indonesia telah menjadi sasaran child sex tourism (CST/wisata seks anak) dunia, sehingga kian memperburuk citra Indonesia di mata internasional, khususnya di dunia pariwisata. Bahkan, menurut data UNICEF tahun 1998, 30 persen dari pekerja seks komersial (PSK) adalah anak (10-18 tahun) dan diperkirakan 40.000-70.000 anak Indonesia telah menjadi korban eksploitasi seksual komersil (Eska).Hal ini dikemukakan Ahmad Sofian, Koordinator Nasional Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual dan Komersial Anak, pada diskusi tentang penyusunan program dan kampanye pencegahan Eska di lingkungan pariwisata 2008, di Jakarta, Rabu (10/12). Yang masuk dalam kategori anak ialah berusia di bawah 18 tahun.

Ahmad juga menambahkan, menurut data Focus Group Discussion (FGD), dalam sepuluh tahun terakhir Indonesia menempati posisi nomor tiga setelah Brasil dan Vietnam dalam pariwisata seksual anak. Saat ini ada enam provinsi masuk dalam kategori berat pariwisata seksual anak, di antaranya Bali, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Batam, Sumatera Utara dan Lombok.

Sebelumnya Indonesia menempati lima besar wisata seks dunia setelah Brasil, Vietnam, Myanmar dan Thailand. Namun dalam perkembangannya, karena belum ada aturan yang tegas mengenai pelacuran anak, maka Indonesia “naik kelas” menjadi tempat wisata seks anak. Sementara itu Myanmar dan Thailand telah mengubah aturan yang tegas mengenai pelcuran anak sehingga peringkat mereka turun.

Departemen Sosial (Depsos) memperkirakan sebagian besar wisatawan asing dari Malaysia dan Singapura yang pergi ke Batam setiap minggunya melakukan aktivitas seksual dengan PSK yang 30 persennya adalah anak-anak. ”Pelacuran yang dilakukan oleh anak kerap kali dijadikan sasaran para turis asing, dan ini terjadi karena belum adanya aturan yang jelas,” tegas Adrian Marlite, Ketua Perhimpunan Pengusaha Rekreasi dan Hiburan Umum.

Kondisi seperti ini kerap terjadi di negara-negara berkembang yang diwarnai dengan tekanan ekonomi (kemiskinan dan gaya hidup) dan sulitnya memperoleh lapangan pekerjaan, serta kurangnya kesadaran dan kontrol sosial di lingkungan masyarakat dan keluarga. ”Kasus pelacuran yang dilakukan oleh anak kebanyakan terjadi secara perorangan karena keinginan dari orangtuanya, tidak bersama sang mami atau germo,” tambah Adrian. (cr-4)

sumber : sinar harapan

-

Arsip Blog

Recent Posts