Medan - Masalah pelacuran pelajar sekolah memang menjadi masalah khas kota besar. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan, ratusan pelajar putri di Medan terjun ke dunia pelacuran.
Jumlah ini baru merupakan angka hasil penelitian. Diperkirakan angka sesungguhnya jauh lebih banyak.
Angka ratusan merupakan hasil penelitian lembaga Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA). Penelitian yang didukung Kementerian Pemberdayaan Perempuan itu juga menyimpulkan, ratusan pelajar putri yang terlibat pelacuran itu, bagian dari sekitar 2 ribu anak korban Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA).
Direktur PKPA Ahmad Sofian menyatakan, penelitian itu dilakukan PKPA secara singkat selama tiga bulan, yakni September hingga November 2007. Sebanyak 50 responden yang berhasil diwawancarai secara mendalam, 39 di antaranya berstatus pelajar. Dari jumlah itu, 14 di antaranya berstatus siswi SMP dan 27 berstatus siswi SMA/SMK.
“Dari pengakuan para responden, di sekolahnya terdapat kawan-kawan yang juga terlibat dalam bisnis pelacuran. Jumlahnya variatif antara 30 hingga 60 orang. Dari jumlah inilah muncul angka ratusan itu. Tapi angka pastinya, tentu sulit didapat,” kata Ahmad Sofian pada detikcom, Jumat (7/12/2007), di Sekretariat PKPA Jalan Abdul Hakim, Medan.
Penelitian dilakukan dengan secara berangkai. Satu responden diminta menunjukkan kawannya yang lain untuk diwawancarai. Pada akhir penelitian, dapatlah angka 50 responden tadi yang berasal dari 14 sekolah di Medan, dengan dominasi sekolah swasta.
Penuturan seorang responden yang duduk di kelas III SMP, kata Sofian, di kelasnya saja ada 15 temannya yang sudah biasa berkencan dengan pria dewasa, bahkan yang tua bangka alias tubang, istilah anak-anak itu menyebut pelanggan mereka yang berusia rata-rata 30-50 tahun.
Yang mengejutkan, ternyata para pelajar itu banyak yang melakukan kegiatan pelacuran pada siang hari. Perbandingannya, lima anak ‘menggelar praktek’ pada antara pukul 3 hingga pukul 6 sore, dan 1 anak pada malam hari.
Diterangkan Sofian, faktor yang membuat anak-anak perempuan yang dalam pengetahuan orang tua mereka anak yang rajin sekolah, anak rumahan dan penurut dengan nasihat orang tua itu, PKPA mencatat sebagian besar faktor eksternal mereka adalah gadis-gadis sudah berpacaran di luar batas atau dikecewakan pacar (18 kasus) dan konsumerisme, yakni ingin ikut gaya hidup mewah seperti punya handphone, baju bagus dan sebagainya (8 kasus).
Kemudian, faktor penyebab langsung adalah diajak teman (24 kasus) disusul karena memakan uang sekolah (6 kasus) dan faktor pemicu adalah karena sudah tidak perawan lagi.
“Kami menemukan modus baru dalam bisnis seks ini, yaitu pulang sekolah tidak pulang ke rumah tetapi dibawa ke hotel. Untuk meyakinkan orang tua, teman-temannya ikut meminta izin dengan dalih mengajak renang atau jalan-jalan, sehingga orang tua anak tidak curiga,” ujar Ahmad Sofian.
Menurutnya, awalnya bisnis pelacuran ini bisa masuk ke sekolah berawal dari satu anak di satu kelas, kemudian menular dan menggurita ke sekolah-sekolah lain di banyak sekolah di Kota Medan. Teman curhat dan informasi yang salah mendorong anak menjual dirinya demi mendapatkan uang. Kehidupan malam, pacaran yang melewati batas, dan kebingungan mengatasi masalah ekonomi dan sosial membuat anak-anak terjerembab menjadi korban ESKA.
Mengenai bayaran, kata Sofian, sangat variatif. Dari penuturan 5 siswi yang sudah menjalani ‘profesi’ ini lebih dari setahun, dikatakan, kalau PW istilah yang merupakan singkatan dari kata pecah perawan, Rp 2 sampai Rp 5 juta, kalau short time, Rp 200 hingga Rp 800 ribu. Cara pembayarannya, sebagian besar dibayar langsung dan dititip melalui teman.
Pelanggannya selain warga lokal, juga sejumlah warga negara asing. PKPA memperkirakan, jumlah anak korban Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) di Medan mencapai 2000 secara merata di seluruh kota Medan, jumlah ini sangat estimatif, karena sulitnya mendata secara pasti fenomena gunung es ini.
Sumber : http://grandparagon.com