Surabaya telah lama menjadi lahan subur bagi bursa perdagangan seks yang cukup strategis. Beberapa lokalisasi yang cukup terkenal, seperti yang terletak di Gang Dolly, Jarak, Moreseneng, Bangunsari, Kremil, Lasem, dan Rembang. Dari kesemua nama lokalisasi itu, yang paling tersohor adalah Dolly. Bagaimana geliat tempat-tempat pengumbar sahwat itu setiap hari?
Malam itu, taksi yang membawa kami dari Jalan Ahmad Yani, Surabaya, berhenti persis di depan Gang Dolly. Setelah membayar ongkos tumpangan, kami mulai menjejaki lokalisasi terkenal di Surabaya itu. "Orang-orang dari daerah yang ingin mencari hiburan, kalau belum ke Dolly, rasanya belum lengkap, kurang afdol," cerita sopir taksi itu saat kami minta menunjukkan lokasi-lokasi hiburan malam yang ada di Surabaya.
Cerita sopir taksi itu memang benar adanya. Begitu memasuki gang itu, kami langsung disambut beberapa orang pria, lalu menggiring kami menuju sebuah rumah kaca, mirip tempat usaha salon kecantikan atau barber shop. Di balik kaca rumah itu terlihat 10 sosok wanita muda berpakaian serba minimalis sedang duduk-duduk manis di atas sofa.
"Ayo mas, pilih saja mana yang mas suka. Cewek yang paling ujung itu sepertinya cocok buat mas," rayu seorang pria tadi seraya menunjukkan wanita berkulit putih dan bertubuh sedang itu. "Nggak mahal, kok. Cuma delapan puluh ribu," lanjutnya, promosi.
Seperti itulah penawaran bisnis esek-esek yang dilakukan pria-pria itu kepada setiap pengunjung yang datang ke Gang Dolly. Jika si tamu berminat, dia langsung diantar menuju kamar bersama wanita yang dipilihnya itu. Namun, jika belum berminat, pengunjung bebas memilih wanita di rumah bordil lainnya yang memang banyak terdapat di Gang Dolly.
Semua rumah bordil di sini hampir sama, dindingnya terbuat dari kaca, sehingga calon konsumen dapat melihat wanita-wanita yang dipajang itu dari luar.
Nama Gang Dolly merupakan sebuah legenda yang sudah identik dengan nama Kota Pahlawan ini. Bahkan, konon sudah terkenal sampai ke Asia Tenggara, khususnya di kalangan lelaki hidung belang.
Berbicara Gang Dolly, kita sedikit menengok ke belakang tentang asal muasalnya. Dari informasi, semua ini berawal dari berdirinya sebuah rumah bordil bernama Bandara pada tahun 1882. Lokasinya terletak di Jalan Jakarta dengan 9 mucikari. Namun kehadiran tempat pelacuran itu mendapat protes dan perlawanan masyarakat setempat, sehingga pengelolanya menyingkir dan berpencar ke berbagai tempat seperti Kremil, Bangunrejo, dan Dupak. Dari sinilah awal hiruk-pikuk tempat lokalisasi di Surabaya-hingga muncullah nama Dolly yang terkenal itu.
Dolly, sebuah potret lokalisasi prostitusi high class untuk kompleks pelacuran kota Surabaya. Tempatnya merupakan sebuah perkampungan yang sangat strategis, bahkan bagi lelaki hidung belang lokasinya sengaja dibuat nyaman dipandang mata, khususnya pada malam hari. Kondisi inilah yang membuat tamu yang datang menjadi betah untuk memadu cinta dengan PSK-PSK atau sekadar melihat-lihat.
Menyangkut servis jangan ditanya. Para wanitanya rata-rata masih muda dan "segar". Usianya berkisar antara 17-26 tahun. Mereka didatangkan atau datang sendiri dari berbagai daerah di Jawa Timur seperti Malang, Trenggalek, Kediri, dan Jombang. Ada juga dari Jawa Barat, dan daerah-daerah luar Jawa . "Pokoknya tamu nggak akan kecewa. Sebab mau cari model mirip-mirip artis juga ada di Dolly," kata sopir taksi itu.
Yang membuat tamu merasa nyaman, lanjut sopir taksi itu, meskipun Gang Dolly jelas-jelas tempat lokalisasi, namun tidak perlu cemas digerebek petugas keamanan. "Pokoknya tamu bebas kencan di sana, asalkan jangan membuat ulah. Misalnya habis minum-minum atau main dengan wanitanya nggak mau bayar. Kalau itu sih bisa repot," kata sopir taksi, mengaku sudah sering mengantarkan tamu-tamu dari daerah lain ke Dolly.
Yang menggeliat tak hanya Dolly, ada kompleks pelacuran Kampung Jarak. Kedua lokalisasi PSK letaknya berdekatan. Bedanya para PSK yang praktek di lokalisasi Jarak umumnya sudah "STW" di atas 25 tahun.
Dalam menjaring tamu, para PSK ini cukup menampakkan dan menjajakan dirinya di depan wisma-wisma tinggalnya. Dengan cara seperti ini memberikan kemudahaan dan keleluasaan kepada lelaki hidung belang memilih pasangan yang sesuai dengan seleranya.
Satu hal lagi yang membedakan kedua tempat pelacuran ini adalah tarif. Di Dolly berlaku harga pas, kalau pun bisa ditawar paling hanya bergeser sedikit saja dari harga semula. Sedangkan di Jarak dibutuhkan kemampuan tawar menawar. Rata-rata tarif sekali kencan dengan wanita di Jarak berkisar antara Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu.
Persamaan antara Dolly dengan Jarak adalah keduanya tidak berlaku short time maupun long time. Pembayaran dilakukan setiap melakukan "permainan". Jadi, jika si tamu ingin "nambah" atau mengulangi permainannya dengan wanita itu, ia harus menambah biaya kencannya sebesar harga semula yang ditawarkan.
Lokasisasi Jarak, selain menyediakan kamar-kamar untuk check-in berukuran 1 x 2 meter, juga terdapat ruang karaoke. Di sini pelanggan bebas memilih lagu-lalu yang disukainya sambil ditemani menyanyi wanita-wanita itu.
Memang, siapapun wanitanya, tidak pernah bercita-cita untuk masuk dan terjerumus dalam kubangan dosa. Impian yang dibangun semasa kecil ternyata tidak seindah kenyataan yang dihadapi. Biasanyanya dengan alasan ekonomi yang membuat wanita-wanita itu jatuh menjadi pemuas nafsu lelaki hidung belang.
Rima (bukan nama sebenarnya), salah seorang penghuni lokalisasi Dolly tidak pernah terbayang sebelumnya kalau dirinya menghabiskan masa mudanya di tempat ini.
Wanita cantik tamatan SLTA di Jombang ini awalnya bekerja di salah satu perusahaan di kota Surabaya. Tapi itulah nasib, ketika himpitan ekonomi yang menderanya bertubi-tubi, sementara penghasilannya sebagai seorang karyawan hanya pas-pasan, maka tak ada pilihan lain kecuali menjadi pemuas nafsu lelaki hidung belang.
Kehidupan para pekerja seks komersial sebenarnya secara psykologis sangat menderita. Tawa dan senyum yang diumbar hanya sebagai sandiwara untuk menutupi penderitaan yang ditanggungnya. "Kalau mau jujur, sebenarnya saya atau wanita yang ada di sini, sangat menderita mas. Mencari uang itu memang susah, apalagi di zaman seperti sekarang ini," keluhnya.
Irma yang mengaku sudah setahun menjadi anak buah mami di wisma M, mengaku hanya bisa pasrah menjalani profesinya sebagai wanita penghibur. Guratan wajahnya menampakkan penderitaan. Sesekali terlihat pandangannya menerawang, sepertinya sedang memikirkan masa depannya yang semakin kelam. (Syarifudin)
Sumber : http://www.suarakarya-online.com