Pelacuran, apa pun upaya dilakukan untuk menghapuskannya, tidak akan pernah pupus dari lingkungan masyarakat. Begitu juga di Kota Bandar Lampung. Meskipun baru-baru ini dilakukan razia, praktek jual syahwat ini terus saja berlangsung.
TANYALAH soal pelacuran kepada sebagian besar masyarakat Kota Bandar Lampung, baik laki-laki maupun perempuan, bagaimana sikap mereka mengenai praktek pelacuran! Pasti, tidak akan ada yang setuju pelacuran ada di ibu kota Provinsi Lampung ini. Bahkan, sangat pasti beberapa, mereka akan mengait-ngaitkannya dengan moralitas dan agama.
Begitu juga tanggapan beberapa orang yang ditanyai Lampung Post selama sepekan terakhir. Dengan berbagai alasan, yang rata-rata bicara soal moral dan nilai agama, mereka tidak menginginkan ada praktek pelacuran di kota ini.
Tapi, jawaban berbeda bisa kita dengar dari Atik, satu dari sekian banyak perempuan yang berprofesi sebagai pelacur dan acap mangkal di sekitar Saburai, Enggal, Bandar Lampung. "Laki-laki," kata Atik, "memang makhluk paling munafik di dunia. Mereka mencemooh, tetapi diam-diam mereka mendatangi saya."
Atik sepintas terlihat seperti perempuan biasa. Rabu (16-6) malam ketika Lampung Post mendekatinya di salah satu sudut Jalan Mojopahit, perempuan yang mengaku tinggal di Sukarame ini mula-mula bersikap acuh. Dalam balutan jins ketat warna hitam dan tas kulit merek Sophie Martin tercangkul di pundaknya yang terbuka, Atik terlihat begitu cantik. Sapuan tipis bedak di pipinya bercahaya ditimpa bias-bias lampu neon dari serambi rumah penduduk, makin cerah penampilannya oleh warna lipstik merah menyala. Rambutnya berulang dikibaskan menanggapi tawaran Lampung Post, sebelum akhirnya tersenyum.
Menetapkan tarif Rp100.000 sekali tidur, Atik menolak ditawar. Tapi, akhirnya perempuan yang mengaku 22 tahun itu setuju dengan catatan Lampung Post harus mencari hotel.
Udara malam bulan Juni terasa kering dan panas. Jalan Mojopahit, Enggal, Bandar Lampung, terlihat sepi pada malam itu. Tetapi tidak seperti itu pada setiap Sabtu malam. Jalan yang tak memiliki lampu jalan itu, di mana kendaraan cuma melintas sekali-sekali, akan ramai pada Sabtu malam. Siapa saja yang melintasi Jalan Mojopahit pasti melihat perempuan-perempuan berkumpul, berdiri maupun duduk di bagian paling gelap di bawah pagar Gelangang Olahraga (GOR) Saburai.
Sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbagai pasangan muda-mudi berkumpul di Lapangan Enggal menikmati suasana akhir pekan, di sudut Jalan Mojopahit itu beberapa perempuan duduk menunggu laki-laki yang mau singgah. "Selalu saja ada yang datang kemari," kata Atik, "tetapi saya tidak beroperasi Sabtu malam."
Perempuan yang mengaku menjalani kehidupan ini selama 3 tahun, mengatakan pada Sabtu malam tidak aman. Soalnya, sering ada razia dadakan, meskipun belum pernah ada yang ditangkap. Setiap orang yang terkena razia, disuruh bayar di tempat dan dicatat di buku. "Saya ndak tahu dari mana karena ndak ada yang mau bertanya-tanya. Semua yang tertangkap pasti ketakutan dan ndak mau dibawa," kata Atik.
Hal senada juga diakui Rosa, begitu perempuan 20 tahun itu memberi tahu namanya. Gadis yang mengaku belum lama mangkal di sekitar Lapangan Enggal, sebelumnya menekuni profesinya di daerah Way Halim, sekitar Pusat Kegiatan Olahraga (PKOR). Tapi, sejak PKOR Way Halim makin ramai dan sering ada razia, Rosa berpindah ke sekitar kawasan Lapangan Enggal.
Menurut perempuan yang mengaku tinggal di Way Halim ini, banyak rekan-rekannya yang menjalani profesi sebagai pelacur pada malam hari. Pada siang hari, mereka hidup sebagai warga biasa dan melakoni kesibukan sehari-hari, termasuk memasak dan membersihkan rumah. "Saya punya anak di kampung yang harus saya belanjai. Suami saya kawin dengan perempuan lain," kata Rosa.
Alasan ekonomi memang banyak diungkapkan para pelacur di Kota Bandar Lampung. Terlalu klise, memang. Tapi, itulah faktor utama yang mendorong lahirnya pelacuran di Kota Bandar Lampung.
Para pelacur yang bekerja dengan menjual dirinya ini, biasanya mulai berkeliaran pada malam hari di berbagai tempat pusat keramaian, baik di pinggir-pinggir jalan maupun di hotel-hotel melati. Saad Asnawi, kepala Dinas Sosial Kota Bandar Lampung, mengatakan kota ini dipenuhi pelacur. "Biasanya pelacur bertempat di seputaran Pasar Seni, sekitar Hotel Ria, Bambukuning, Jalan Yos Sudarso, Terminal Rajabasa, dan beberapa hotel melati lainnya yang berada di dalam kota," ujar Saad.
Pelacur Muda di Hotel
Dalam razia terakhir, menurut Saad, terjaring 34 orang yang berasal dari tempat-tempat itu. Dari keseluruhan pelacur, terdapat 13 orang yang tidak mampu membayar denda dan langsung dibawa ke LP Rajabasa.
Memang, seperti yang dikemukakan Saad, persidangan dilangsungkan di tempat. "Mereka didenda yang berkisar Rp200 ribu per orang. Sedangkan berdasarkan perda-nya, denda yang dikenakan Rp5 juta dengan kurungan 6 bulan penjara. Sedangkan pelacur yang tidak mampu membayar denda itu, terpaksa menginap di LP selama kurang lebih 7 hari," ujar Saad.
Mengapa ditempatkan di LP, bukannya di panti pembinaan? Saad mengungkapkan Dinas Sosial Kota Bandar Lampung tidak memiliki panti yang pas untuk merehabilitasi pelacur. "Dana pembinaan saja sangat kecil. Itu pun terbagi-bagi untuk pembinaan penyakit masyarakat yang lain, sehingga yang digunakan adalah cara-cara penyelesaian hukum saja."
Dari jumlah yang terjaring tersebut, Saad mengatakan terjadi penurunan jika dibandingkan razia terakhir yang dilakukan menjelang Ramadan 2003 lalu. "Saat itu yang tertangkap 47 orang."
Saad mengatakan itu sebagai salah satu indikator dari keberhasilan. Tapi, menurut dia, pelacur yang terjaring bukan muka lama yang pernah terjaring sebelumnya. Artinya, wajah lama tidak beroperasi lagi. "Tidak menutup kemungkinan mereka beroperasi di tempat lain."
Begitu juga dari areal mangkal yang di razia, tidak ada penambahan lokasi mangkal para pelacur. "Kami langsung melakukan pemantauan ke daerah Jalan Pramuka seperti yang dikemukakan masyarakat. Tapi, ketika ke sana, sama sekali tidak didapatkan pelacur yang sedang menjajakan diri. "Kalau di daerah sekitar Terminal Rajabasa memang banyak," kata Saad.
Ditanyakan mengenai indikasi wajah baru itu disebabkan adanya regenerasi dan makin parahnya penyakit masyarakat, Saad mengakui hal itu sebagai penyakit masyarakat. "Yang kami urus manusia yang selalu berubah dan keadaannya begitu terus. Namun, secara fakta, yang pernah terjaring tidak terjaring lagi. Jadi, itu yang dijadikan indikasi."
Berdasarkan asal pelacur yang terjaring pada razia terakhir terdapat pelacur asal luar Lampung, yakni Bekasi. "Pelacur itu masih muda, sekitar 17--18 tahun dan sepertinya sengaja di tempatkan di hotel untuk menarik perhatian. Ada yang berasal dari Gunungsugih," kata dia.
Tempat asal lainnya dari daerah-daerah di Lampung seperti Lampung Tengah, Lampung Selatan, serta sebagian besar warga Kota Bandar Lampung. "Ada juga pelacur yang terjaring berasal dari Muara Enim yang usianya masih belia," ujar Yusuf.
Sedangkan untuk rentang usia para pelacur yang terjaring bervariatif. Tapi, rata-rata mereka berusia antara 17 tahun dan 42 tahun. Untuk pembagiannya tempat mangkal, yang muda biasanya di hotel-hotel, sedangkan yang tua di pinggir-pinggir jalan.
Razia Lanjutan
Dinas Sosial Kota Bandar lampung akan melaksanakan 10 kali operasi penyadaran. Tapi, tidak seluruhnya melibatkan aparat terkait seperti hakim, jaksa, Poltabes, Kodim, Pom TNI, Pol. PP, dan pariwisata. "Bisa saja kami razia sendiri berdasarkan laporan masyarakat," kata dia.
Ketika melakukan operasi, untuk membedakan perempuan biasa dengan para pelacur, petugas melihat dari performanya. "Pelacur biasanya menor dan kalau diklakson langsung menghampiri. Selain juga biasanya kita sudah melakukan pemantauan lebih dulu, sehingga memang bisa dibedakan antara keduanya," kata Yusuf.
Adapun motif yang membuat mereka turun ke jalan, ujar Saad, lebih banyak karena ekonomi. Tapi, faktor itu tidak berdiri sendiri karena adanya penurunan moral dan adanya sikap hedonisme di masyarakat. "Sebagian besar mereka lajang. Belum pernah yang tertangkap masih memiliki suami," kata dia.
Untuk pelacur yang mangkal di eks lokalisasi, menurut Saad, tindakan itu tidak legal. "Kami tetap melakukan pengawasan. Namun, fokus kami yang berada di luar eks lokalisasi Pemandangan dan Pantai Harapan. Yang di luar itulah yang sangat mengganggu kesantunan dan rasa hormat masyarakat kota," kata dia.
Ditanyakan kendala, mereka mengakui adanya usaha melarikan diri dari para pelacur. "Setiap melakukan razia di Pasar Seni, bisa dipastikan ada pengejaran. Sedangkan untuk salah tangkap pernah terjadi sekali saat dilakukan razia di hotel, tertangkap sepasang suami istri yang sedang berada di dalam hotel untuk mencari rekreasi tetapi lalai membawa surat identitas diri. Akhirnya, suaminya kita suruh mengambil surat nikah, baru setelah ada, oleh hakim dibebaskan," kata dia.
Tidak Terhapuskan
Dalam situasi apa pun, pelacuran selalu saja hadir, dari yang mengendap-endap hingga yang terang-terangan. Sulit dielak, pelacuran telah beringsut dan menggurita menjadi industri seks yang tak pernah sepi dari hiruk-pikuk konsumen sehingga keberadaannya menjelma bagai "benang ruwet". Sebab, pelacuran selalu saja berimpitan dengan wilayah sosial, kekuasaan politik, dan ekonomi, bahkan lembaga keagamaan.
Namun, pelacuran juga berkaitan watak dan tabiat manusia yang seolah menjadikannya sebagai bagian dari hidup. Tak ayal, soal pelacuran sama saja dengan mengunyah masalah yang paling purba di muka bumi ini. Atau, seperti kata Helen Buckingham, ketua Prostitution Laws Are Non-Sense, pelacuran adalah profesi wanita paling purba, tempat untuk pertama kalinya seorang wanita memperoleh penghasilan yang modalnya adalah tubuh sendiri.
Pelacuran adalah sebentuk wajah dari seksualitas manusia. Seksualitas sendiri tentunya sudah berjalan sejak manusia ada, terutama untuk maksud-maksud reproduksi. Seiring berjalannya waktu dan makin merumitnya kebudayaan, melebar pula jangkauan seksualitas. Demikian pula kehadiran pelacuran bersetangkup dengan tersimpuhnya impuls-impuls erotisme yang secara fitrah ada dalam diri manusia.
Erotisme merupakan salah satu aspek dari kehidupan batin manusia, suatu aspek langsung dari pengalaman batin yang membedakan dengan seksualitas binatang. Watak erotisme adalah menyatunya gairah yang melampaui segala penghalang seperti tabu-tabu yang dikonstruksi secara sosial.
George Bataille dalam bukunya, Erotism, Death And Sensuality, City Light Books (San Francisco, 1986), menyebut pelacuran adalah salah satu corak kehidupan sosial yang melanggar normalitas sosial. Dalam pelacuran sesungguhnya aspek kesucian dan pantangan dalam hubungan seksual tetap berpadu dalam diri sang pelakunya, tapi ia menerabas batas.
Lahirnya pelacuran yang semata karena kuatnya pertukaran komersial disebabkan faktor kemiskinan daripada penjelajahan terhadap tabu-tabu. Kemiskinan menjadi sebab-sebab lain yang membebaskan dari larangan sosial, tetapi bukan melanggar, hanya penampakan dari rasa ketakberdayaan secara sosial ekonomi.
Secara sosiologis, suasana lalu lalang pelacuran acap menjerat pandang masyarakat yang berstandar ganda. Pelacuran dipandang sebagai kehinaan sehingga dimasukkan patologi sosial. Di sisi lain pelacuran diterima sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Apakah itu pelacur yang cerdas, anggun, terhormat dan memilih lokasi praktek di hotel-hotel ataukah itu pelacur memilih berpraktek di sudut-sudut kota dengan tarif tak sampai Rp100.000 per malam.
Beragam pandangan orang terhadap kehidupan pelacuran mengental dalam dimensinya masing-masing, mengutuk atau bersimpati terhadap mereka yang melata dan menggelepar menangguk lembaran-lembaran rupiah dengan modal tubuh itu. Penilaian inilah yang akan melahirkan posisi sosial seorang penjaja seks. Tak urung masyarakat bisa terjebak pada sikap munafik. n HUT/CR-8/M-2
Sumber : http://ww2.lampungpost.com