Jumlah Anak-Anak Yang Dipasok Jadi Pelacur Di Indonesia Tinggi

Oleh Sumadi Wijaya

Di dunia sekitar 1,2 juta anak-anak terjebak dalam industri seks. Memperingati tahun kedua Hari Menentang Pekerja Anak se-Dunia tanggal 12 Juni 2003, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) melalui program Internasional Penghapusan Pekerja Untuk Anak (IPEC) meluncurkan buku “Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih: Fenomena Anak Yang Dilacurkan Di Indonesia”. Peluncuran buku yang dihadiri Direkur ILO untuk Indonesia, Alan Boulton, dilakukan di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta Kamis (12/6). Selain peluncuran buku, juga dilaksanakan Debat Publik Membangun Aliansi Untuk Penghapusan Perdagangan Anak Perempuan Yang Dilacurkan.

Menurut Data ILO, sekitar 1,2 juta anak di dunia masih diperdagangkan dan terjebak dalam pekerjaan berbahaya atau kerja paksa ke eksploitasi seksual. “Perdagangan anak merupakan tindakan yang tidak bermoral dan ilegal yang memaksa anak-anak bekerja dalam kondisi memprihatinkan, dimana mereka seringkali diteror dan disiksa oleh oknum-oknum yang hidup dari memanfaatkan keluguan mereka,”kata Direktur Jenderal ILO Juan Somavia dalam siaran pers yang ditulis ILO.

Kondisi yang lebih memprihatinkan adalah kebanyakan anak-anak yang diperdagangkan berakhir dengan dieksploitasinya mereka menjadi pekerja seks komersial. Kajian cepat yang baru dilakukan ILO-IPEC pada tahun 2003 memperkirakan jumlah pekerja seks komersial di bawah 18 tahun sekitar 1.244 anak di Jakarta, Bandung 2.511, Yogyakarta 520, Surabaya 4.990, dan Semarang 1.623. Namun jumlah ini dapat menjadi beberapa kali lipat lebih besar mengingat banyaknya pekerja seks komersial bekerja di tempat-tempat tersembunyi, ilegal dan tidak terdata.

Lebih lanjut, data yang ada memperlihatkan daerah-daerah pemasok anak-anak untuk kegiatan pelacuran meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, sumatera Barat, Suamtera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara. Sementara daerah-daerah penerimanya terutama Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Medan, Riau, Batam, Ambon, Manado, Makasar, dan Jayapura. Beberapa diantaranya bahkan diperdagangkan di luar negeri seperti Sinagpura, Malaysia, Taiwan, dan Jepang.

Buku yang diluncurkan tersebut berisi studi-studi lapangan yang dilakukan ILO-IPEC bersama dengan Universitas Katolik Atmajaya, Yayasan Kusuma Buana, dan Universitas Airlangga. Buku ini membahas latar belakang pelacuran anak di Indonesia, prosedur jaringan dan rekrutmen, kisah-kisah anak yang dilacurkan, faktor pendorong timbulnya pelacuran anak, perlindungan hukum dan implikasinya. “Peluncuran buku ini diharapkan dapat menggugah berbagai pihak untuk lebih peduli tentang pelacuran anak dan melakukan tindakan konkrit untuk mengatasinya,”ujar Andri Yoga Utami, salah satu editor buku ini. Ia juga menambahkan perlunya perubahan paradigma bahwa dalam kasus anak yang dilacurkan, anak hanya menjadi korban dan menjadi seseorang yang tidak punya pilihan. “Berbeda dengan PSK dewasa,”katanya.

Dalam kesempatan tersebut Alan Boulton menyerahkan secara simbolis buku “Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih: Fenomena Anak Yang Dilacurkan Di Indonesia” kepada wakil dari parlemen remaja, pemerintah, lembaga donor, pekerja, LSM, organisasi kewanitaan, dan polisi.

“Ini adalah sesuatu yang dilihat ILO sebagai hal yang buruk sehingga pekerja anak terutama dalam hal seksual, harus dihapuskan,”kata Alan mengenai masalah anak yang dilacurkan. Indonesia pun menjadi salah satu negara yang termasuk dalam program IPEC karena kondisi pelacuran anak yang memprihatinkan. (Narila Mutia-TNR)

-

Arsip Blog

Recent Posts