Oleh : Malta Nur Do’a
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) Pornografi pada Kamis (30/10) oleh DPR. UU ini disetujui seluruh fraksi yang ada di DPR kecuali Fraksi PDI-P dan Fraksi PDS. Kedua fraksi tersebut menyatakan walk-out. Namun di sisi lain, pemerintah tetap melegalkan bentuk lain dari pornografi yaitu prostitusi.
Melalui Menteri Agama Maftuh Basyuni, pemerintah menyatakan setuju atas pengesahan UU Pornografi ini. Menurutnya, UU ini bersifat non-diskriminasi tanpa menimbulkan perbedaan ras, suku, dan agama. Substansi UU juga dirasa tepat dan definisi dirasa cukup jelas. UU Pornografi diciptakan untuk melindungi masyarakat. UU ini juga merupakan tindak lanjut UU Perlindungan Anak dan Penyiaran. (http://rionih.wordpress.com)
Walaupun UU tersebut sudah disahkan, ada tiga daerah yang benar-benar menentang untuk melaksanakan UU tersebut diantaranya Bali, Sulawesi Utara dan Papua. Alasan mereka cukup jelas, yakni UU tersebut tidak sesuai dengan nilai budaya dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat serta, mengancam industri pariwisata di wilayah tersebut.
Di samping itu, pemerintah seolah bermuka dua soal pornografi ini. Di satu sisi, pemerintah sudah melegalkan UU tersebut, namun di sisi lain, penegakkan hukum masalah Pornografi masih belum bisa dijangkau.
Sebut saja masalah prostitusi yang masih tetap dilegalkan di beberapa kota besar di Indonesia seperti di Surabaya dengan perkampungan Dolly dan Semarang dengan perkampungan SK (Sunan Kuning) yang hingga saat ini masih tetap dibuka. Ironisnya, tempat-tempat tersebut ternyata menjadi salah satu pemasukkan bagi Pemda (Pemerintah Daerah) setempat.
Sudah semestinya semua elemen Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah, ketika UU Pornografi tersebut dilegalkan, maka semua tempat-tempat prostitusi wajib hukumnya untuk ditutup. Alasannya, tempat tersebut menjadi tempat diperjualbelikannya segala bentuk pornografi dan pornoaksi. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Lalu dimana konsistensi pemerintah untuk menjalankan UU tersebut? Jika pemerintah sendiri selaku penentu kebijakan belum mampu melaksanakan UU tersebut sepenuhnya, maka jangan terlalu banyak berharap rakyat akan mematuhi UU Pornografi tersebut.
Sisi Lain
Menurut Sutherland (1949), seseorang menjadi penyimpang bilamana pola-pola perbuatan menyimpang lebih wajar atau lebih lazim dihargai dalam lingkungan sosial tempat orang itu melakukan kegiatan (yakni diantara orang-orang penting lainnya yang diharapkan restunya). Jadi, dalam kasus ini orang-orang yang berada di daerah prostitusi seperti gigolo, pelacur dan germo mengetahui perilaku mereka menyimpang dengan cara yang sama seperti para konformis mengetahui perilaku yang konformistis (sesuai).
Menurut pandangan teori fungsionalis, dengan adanya tempat pelacuran juga memberi manfaat bagi masyarakat. Tempat ini membuka banyak peluang usaha bagi pengusaha minuman keras, pub, karaoke dan lain sebagainya. Alhasil, tempat ini juga memberi masukkan pendapatan ke kas daerah. Sutherland juga menjelaskan bahwa dari tempat-tempat seperti prostitusi menjadi pusat pendidikan kegiatan pornografi, dimana masyarakat di dalamnya menganggap pornografi sebagai sesuatu yang wajar.
Justru lingkungan seperti ini yang patut mendapat sorotan dan menjadi perhatian utama Pemerintah. Hampir di sepanjang jalur Pantura Jawa (Pantai Utara) terdapat warung remang-remang yang menawarkan dengan terang-terangan kegiatan prostitusi. Namun, masih saja pemerintah lamban dalam mengambil tindakan. Sehingga, yang terjadi adalah masyarakat menjadi kurang menaruh rasa patuh terhadap UU Pornografi itu sendiri.
Jika pemerintah benar-benar konsisten dengan UU Pornografi, maka pemerintah mesti bersikap tegas terhadap segala bentuk penyimpangan Pornografi. Termasuk menutup tempat-tempat hiburan malam yang jelas-jelas mempertontonkan pornografi dan pornoaksi, serta tidak memberi celah sedikit pun terhadap pornografi. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah pemerintah berani mengambil tindakan tersebut? Ataukah Pemerintah ragu menutup tempat tersebut mengingat kontribusi tempat-tempat tersebut bagi pemasukkan kas daerah?
Dapat dipastikan bahwa ketegasan Pemerintah dalam mengimplementasikan UU Pornografi akan meyakinkan masyarakat akan keseriusan pemerintah dalam melindungi masyarakat. Sehingga, secara bersama-sama masyarakat dan pemerintah akan menjalankan UU tersebut. Para pakar setuju bahwa tanpa adanya konsistensi dan keseriusan para penentu kebijakan dalam melaksanakan kebijakan yang mereka buat, maka jangan mengharapkan terlalu jauh kebijakan tersebut akan tercapai seperti yang mereka harapkan
Sumber : http://www.majalahopini.co.cc/