Struktur Masyarakat
Berdasarkan pendekatan historis, lapisan masyarakat Aceh yang paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan, yaitu golongan umara dan golongan ulama.
Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam satu unit wilayah kekuasaan, Contohnya seperti jabatan Sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Uleebalang sebagai pimpinan unit pemerintah Nanggroe (negeri), Panglima Sagoe (Panglima Sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan Mukim dan Keuchiek atau Geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan Gampong (kampung). Kesemua mereka atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adapt, pemimpin keduniawian, atau kelompok elite sekuler.
Sementara golongan ulama yang menjadi pimpinan yang mengurusi masalah-masalah keagamaan (hokum atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius, Oleh karena para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah seorang yang berilmu, yang dalam istilah Aceh disebut Ureung Nyang Malem. Dengan demikian tentunya sesuai dengan predikat/sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok Ulama ini dapat disebutkan, yaitu :
1. Tengku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan pada satu unit pemerintah Gampong (kampung).
2. Imum Mukim (Imam Mukim), yaitu yang mengurusi maslah keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan.
3. Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang dipandang menerti mengenai hokum agama pada tingkat kerjaan dan juga pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang.
4. Teungku-teungku, yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi mereka yang sudah cukup tinggi tingkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chiek.
Selain pembagian atas kedua kelompok tersebut di atas, yang paling menonjol dalam masyarakat Aceh tempo doeloe, terdapat laposan-lapisan lain seperti kelompok Sayed yang bergelar habib untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Kelmpok ini dikatakan berasal dari keturunan Nabi Muhammad. Jadi kelompok Sayed ini juga merupakan lapisan tersendiri dalam masyarakat Aceh.
Pelapisan masyarakat Aceh juga dapat dilihat dari segi harta yang mereka miliki. Untuk itu, maka ada golongan hartawan/orang kaya dan rakyat biasa (Ureung leue). Selain itu, penggolongan masyarakat Aceh dapat dibagi pula ke dalam empat kelompok, yaitu golongan penguasa, terdiri atas penguasa pemerintahan dan pegawai negeri; kelompok ulama, yaitu orang-orang yang berpengetahuan di bidang agama; kelompok hartawan (mereka yang memilik kekayaan), dan kelompok rakyat biasa.
Tradisi Upacara Adat Kota Banda Aceh
Meunineum Biasa juga disebut Keumaweueh
Pada waktu hamil pertama seorang istri, yang dinamakan Meutijeuem, sampai pada waktu hamil 5 bulan, oleh pihak orang tua perempuan yang hamil tersebut diadakan sedikit kenduri dengan disertai nasi ketan dan dipanggil ahli famili dari pihak istri yang hamil. Setelah ahli famili dari pihak istri berkumpul, maka diadakan upacara basuh Kepala (Rhah Ulee). Kedua-dua laki istri, dengan sedingin-setawarkan (Peusijuek) dengan beras padi, yang dilakukan oleh ibu dan ahli famili dari perempuan yang sedang hamil.
Selanjutnya oleh pihak ibu perempuan yang hamil tersebut diantarkan nasi ketan tadi kepada pihak orang tua suami dari perempuan yang sedang hamil tersebut, sebagai pertanda atau sebagai ganti membari kabar, bahwa anak perempuannya telah berada dalam keadaan hamil 5 bulan.
Oleh pihak ibu (orang tua) si suami, nasi ketan yang diterima dari orang tua perempuan (besannya) dibagi-bagikan kepada ahli famili dari pidak si suami, untuk menyatakan bahwa menantunya yang perempuan telah hamil 5 bulan, yaitu suapaya diketahui oleh ahli famili.
Barulah setelah itu, pihak orang tua dari si suami beserta ahli famili mengantarkan makanan dan buah-buahan kerumah menantunya yang sedang hamil, yang disebut Meunieum.
Upacara meunieum ini ada juga dilakukan sewaktu seorang istri hamil setelah 7 bulan. Bahan makanan yang dibawa oleh pihak orang tua si suami ialah Bu Kulah yaitu nasi putih yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk Piramid di dalam hidang, bu leukat (nasi ketan) untuk peusunting meunantu yang sedang hamil, disertai Ayam Panggang dan Tumpou.
Lauk pauk nasi ialah Ikan, Daging yang dimasak berbagai macam, Telur Ayam dan Telur Itik rebus, Jreuk dan lain-lain masakan yang disusun di dalam hindang berlapis-lapis (hiding meulampoh).
Buah-buahan yang dibawa ialah segala macam buah-buahan yang ada, termasuk buah-buahan untuk rujak (seunicah) sebanyak satu keranjang besar.
Selain itu juga ada dibawa kue-kue (Peunajoh) basah dan kering. Maksud tujuan dari upacara adat Meunineum ini pada mulanya ialah lebih menguatkan rasa persaudaraan antara kedua belah pihak (suami-istri) dan utnuk lebih menguatkan silaturrahmi antara sesame ahli famili. Makanan yang dibawa ini dibagi-bagikan juga kepada famili pihak istri.
Kelahiran Bayi
Setelah bayi lahir dan setelah dibersihkan, maka kalau bayi tersebut laki-laki diazankan ditelinga kanan dan kalau bayi tersebut perempuan diqamatkan ditelinga kiri, yang dilakukan olah Ayah si bayi ataupun oleh kerabat tertua yang terpandang alim dalam keluarga.
Upacara Adat Peucicap
Menurut penyelidikan kami kepada orang-orang tua, bawah upacara ini dilakukan pada hari ke-7 setelah bayi dilahirkan, yaitu kepada bayi tersebut dicicipi Madu Lebah, Kuning Telur dan Air Zam-zam.
Oleh pihak orang tua si suami dibawakan seperangkat keperluan bayi tersebut, yaitu ija (kain) ayunan, ija geudong (kain pembalut) bayi, ija tumpe (popok), tilam, bantal dan tali ayun (tali ayunan). Kalau dikalangan kaum hartawan ada juga yang membawa tali ayun dari emas.
Selain itu juga diberikan sepersalinan pakaian kepada si istri yang baru melahirkan, yang diberikan oleh ibu mertuanya. Pada hari itu juga diadakan Akikah, yaitu menyembelih seekor kambing, cukur rambut bayi dan pemberian nama kepada si bayi, dengan upacara peusijuek dan sebaran beras- padi serta doa selamat.
Peusijuek Dapu dan Peutron Aneuk (pada hari ke 44 setelah anak dilahirkan yaitu setelah Madeueng)
Upacara peusijuek dapu (setawar sedingin tempat berdiang) dilakukan oleh orang tua dan ahli famili dari orang tua suami, yaitu orang tua pihak suami menyunting ketan kepada menantunya yang perempuan dengan uang Teumeutuek dan disertai dengan sepersalinan pakaian. Kalau di kalangan orang-orang bangsawan, selaian kepada menantu perempuan, juga turut diberi persalinan pakaian kepada orang-orang (dayang-dayang) yang turut serta mengasuh perempuan yang medeueng setelah melahirkan. Selain itu pada hari itu juga diadakan upacara turun anak kehalaman (Peutron Aneuk).
Peutron Aneuk
Anak yang telah berumur 44 hari tersebut diturunkan kehalaman dengan dipayungi dan kaki anak tersebut diinjakkan ke tanah (peugiho tanoh).
Pada upacara ini diatas kepala si anak dibelah Buah Kelapa dengan alas kain putih yang dipegang oleh 4 orang.
Kelapa yang telah dibelah tersebut, sebelah diberikan kepada pihak orang tua suami dan sebelah lagi diberikan kepada pihak orang tua si istri, dengan tujuan supaya kedua belah pihak tetap kekal dalam persatuan, rukun damai, kompak dan teguh dalam persaudaraan.
Selanjutnya diadakan pembakaran petasan (mercon) dan disuruh orang-orang yang tangkas dan ahli bermain pedang mempertunjukkan ketangkasan dengan mencincang batang pisang, supaya anak tersebut nanti berani dalam menghadapi peperangan membela negara, dan dapat menjadi Panglima Perang yang tangkas dan arif bijaksana.
Selanjutnya anak tersebut ditempatkan ke dalam sebuah balai di halaman, dengan tujuan supaya anak tersebut nanti dapat menyesuaikan dirinya dengan masyarakat dan dapat menjadi orang terkemuka dalam Masyarakat. Setelah Upacara tersebut barulah anak itu dibawa masuk ke dalam rumah dengan terlebih dahulu orang tua yang membawa memberi Salam dan disambut salam serta do’a restu untuk kebahagian si anak.
Menyerahkan Anak ke Tempat Pengajian
Setelah anak berumur 7 tahun, anak tersebut dihantar oleh orang tuanya ketempat pengajian (Guru Mengaji), kalau anak lelaki ke tempat pengajian anak-anak laki-laki, kalau anak perempuan ke tempat pengajian anak perempuan dengan guru wanita. Pada waktu mengantar anak tersebut dibawa serta ketan kuning dengan tumpo dan ayam panggang, pisang abin beberapa sisir, kain putih 6 hasta, sehelai kain sarung, sedekah sekedarnya dan Beureuteh (Beras Padi digongseng) dicampur kembang. Oleh Guru mengaji dibagi-bagikan makanan yang dibawa tersebut diantara anak-anak mengaji, supaya terdapat kekompakan dan persatuan yang baik antara anak yang baru mengaji dengan murid-murid yang lama.
Upacara Sunat Rasul (khitan)
Sunat Rasul dilakukan setelah anak berumur antara 10 sampai 13 tahun. Anak tersebut diberi berpakaian adapt didudukkan diatas pelaminan dimaba diadakan acara Peusijeuk dengan setawar sedingin, beras padi serta dipesunting dengan ketan oleh kaum kerabat pihak ayah dan ibu serta teumeuntuk (pemeberian) uang oleh kaum kerabat. Selain itu juga ada teumeuntuk uang dari pihak tamu yang diundang kepada orang tua si anak, ataupun hantaran berupa benda. Dikalangan Bangsawan ada juga diadakan arakan yaitu anak tersebut didudukkan dalam usungan dengan iringan Gendang dan Serunai. Pada upacara Sunat Rasul ini diadakan jamuan kenduri, yang bagi rakyat menurut daya dan bagi Bangsawan diadakan secara mewah, hamper menyerupai kenduri Perkawinan. Upacara Sunat Rasul dilakukan oleh mudim dengan anak tersebut disuruh mengucapkan Dua Kalimah Syahadah.
Upacara Adat Dalam Menyelesaikan Persengketaan atau Perkelahian antar Anak-anak
Dalam suatu perkelahian antara anak-anak, jika terjadi pertumpahan darah (rho darah), oleh orang tua-tua kampung terus diadakan perdamaian diantara kedua belah pihak orang tua anak-anak yang berkelahi, dengan diwajibkan bagi pihak yang memukul dhirt kepada orang tua anak yang keluar darah, yaitu diwajibkan membawa ketan kuning, tumpou, kain putih 6 hasta, pakaian satu salin dan uang. Selama belum sembuh, segala urusan pengobatan ditanggung oleh pihak yang tidak rho darah dan dihadapkan orang-orang tua kampong kedua belah pihak orang tua anak-anak tersebut diadakan upacara bermaaf-maafan.
Pertunangan Menjelang Pernikahan
Kalau seorang anak lelaki yang telah dewasa hendak dijodohkan dengan anak perempuan dari seseorang, terlebih dulu diutus seorang yang bijak dalam berbicara untuk megadakan urusan perjodohan (meuselungoue),dan pada orang tua dari anak perempuan. Dalam pembicaraan tersebut dibicarakan persetujuan perjodohan dan penetapan mas kawin (mahar) serta penentuan hari membawa tanda (ikatan).
Ba Ranub Kong Haba
Pada hari yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak maka datanglah serombongan orang tua-tua dari pihak lelaki kepada pihak orang tua perempuan dengan membawa sirih penguat ikatan (ranub kong haba), yaitu sirih lengkap dengan alat-alatnya dalam cerana, pisang talon ( Pisang Raja dan Wajib 1 Talam), ada juga yang disertakan kain baju. Selain itu juga dibawa benda mas 1 atau 2 mayam dengan ketentuan menurut adat kalau ikatan ini putus disebabkan oleh pihak lelaki yang memutuskannya, maka tanda mas tersebut hilang. Tetapi kalau ikatan putus disebabkan karena pihak perempuan yang memutuskannya, maka tanda mas tersebut harus dikembalikan dengan dua kali ganda. Pada upacara ini juga ditentukan hari dan bulan diadakannya pernikahan dan pulang penganten (Woe Linto).
Upacara Adat Perkawinan (Woe Linto)
Tiga hari sebelum naik Pengantin (Woe Linto) terlebih dahulu oleh pihak pengantin laki (Linto) diantar kepada pihak pengantin perempuan (dara baro) sirih inai (Ranub Gaca), Ranub lipat/Ranub Gapu 1 hidang, 1 hidang alat-lat pakaian Dara Baro, 1 Hidang Breueh Pade, 1 hidang telur rebus yang diberi berwarna, setawar sedingin, dan daun inai (Gaca) untuk inai Dara Baro. Di rumah Dara Baro diadakan acara Koh Andam.
Mampleue (mempelai) Woe Linto
Pada upacara mempelai Linto diberi berpakaian Adat dan dihantar ke rumah Dara Baro beramai-ramai, dengan didahului oleh orang tua yang bijak, dan Linto diapit oleh anak-anak muda yang sebaya. Bawaan dari pihak linto ialah Jeunamee (mahar atau mas kawin) seumpama1 bongkol mas, diisi dalam cerana beserta Jinong Kunyet dab Beras Padi. Cerana dibungkus dengan kain Sutra Kuning yang pada ujung kain diletakkan bohru dari emas, ranub rajeu’ atau ranub peurakan, kue-kue (peunajoh) wajeb, meuseukat, dhoi-dhoi, bhoi, penajoh tho keukarah, bungong kayee dan lain-lain. Di halaman rumah Dara Baro rombongan Linto dijemput (dinantikan) oleh orang tua dari pihak linto diberi salam dengan kata-kata bersanjak yang disambut pula dengan kata-kata halus bersanjak oleh pihak Dara Baro. Setelah itu Linto dibawa naik ke rumah, yang sewaktu tiba ditangga Linto disetawar-sedingin, dengan siraman air Mawar dan Beras Padi. Setiba diatas rumah Linto bersama rombongan ditempatkan di serambi, didudukkan di atas Pelaminan kecil, dimana diadakan jamuan makan, dan pernikahan Ijab Kabul. Ada juga pernikahan Ijab Kabul ini didahulukan harinya sebelum Upacara mempelai. Selain itu barulah Linto dijemput (dibawa) ke pelaminan besar untuk disandingkan dengan Dara Baro. Biasanya setelah bersanding, Linto bersama rombongan pulang kembali ke rumah orang tuanya.
Upacara Sesudah Mampleue
Upacara Petujoh, yaitu Linto pulang ke rumah Daro Baro dengan rombongan kira-kira 25 orang. Di halaman rumah Daro Baro diadakan Upacara penanaman Kelapa yang dilakukam oleh Linto bersama Dara Baro. Pada Upacara Peutujoh oleh ibu Dara Baro diadakan teumeutuek (pemberian) uang kepada Linto disertai sepersalinan pakaian. Pemberian dari pihak orang tua Dara Baro, oleh Linto dibawa pulang untuk diperhatikan kepada ibu Linto. Selanjutnya boleh ibu Linto membawa nget tujoh dan peukayan tujoh kepada Dara Baro.
Tueng Dara Baro
Kira-kira hari ke-10 sampai 1 bulan, Dara Baro dijemput oleh ibu Linto dengan ranub Batee dan Gateng, Dara Baro dibawa ketempat Linto. Sesampainya di rumah Linto diadakan upacara, yaitu Peusijeuk Dara Baro dan Teumeutuek kepada Dara Baro yang dilakukan oleh ibu dan kerabat Linto. Tangan Linto dan Dara Baro dimasukkan ke dalam empang beras dan empang garam, sebagai ganti memberi tahu bahwa ini adalah rumahnya sendiri dan tahu dimana beras dan garam untuk perjanjian di masa-masa mendatang.
Bawaan dari Dara Baro sewaktu pergi kerumah Linto adalah kue-kue Adat 3 hidang yang terdiri dari wajeb, dodoi, meusekat dan kue-kue kering lainnya serta ranub bate, kue-kue bawaan Daro Baro tersebut, oleh ibu Linto dibagi-bagikan kepada kerabat dan tetangga. Selanjutnya oleh orang tua pihak Linto dihadiahkan kepada Dara Baro sesuatu benda menurut kemampuan dan lazim yaitu hewan betina.
Sumber : http://www.bandaacehkota.go.id