Liputan Malam: Pengalaman Kunjungan ke Lokalisasi Dolly dan Boker

Oleh : Dwiki Setiyawan

Di sela-sela acara Musyawarah Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) ke-6 di Hotel Palace Garden Surabaya tahun 2000, sebagai reporter media internal Presidium Majelis Nasional KAHMI, saya menyempatkan diri untuk mengetahui suasana malam seperti apa lokalisasi Dolly. Sebuah kawasan merah yang sangat terkenal di kota Surabaya. Sebelumnya, telah berkali-kali saya singgah dan bermalam di kota ini dalam rangka dinas, namun belum tahu seumur hidup dimana lokasinya dan seperti apa meriahnya.

Kepada seorang teman (laki-laki) satu kamar sesama panitia munas, pada sekitar pukul 21.00 WIB saya pamit keluar hotel dengan alasan mau mengadakan "survey". Dengan naik taxi yang mangkal di depan hotel, saya minta pada si pengemudi untuk mengantarnya ke Dolly.

Oya, beberapa tahun mengenyam pendidikan tinggi di kota Solo sejak akhir tahun 1980-an, lokalisasi Silir di kota bengawan yang tersohor pun hingga saya meninggalkan kota itu hijrah ke Jakarta belum pernah saya kunjungi. Ada teman waktu itu yang tengah penelitian dalam rangka menyusun skripsi tentang lokalisasi itu mengajak untuk menemaninya namun saya tolak dengan halus. (Menyesal juga sih. He..he..he...)

Malam itu, sesampai di Dolly saya menyusuri jalan-jalan dan gang yang ada di lokalisasi yang mirip pasar malam itu. Rumah-rumah dalam kompleks lokalisasi dinamakan "wisma". Di sini, saya juga baru tahu bahwa disamping Dolly ada lokalisasi lain di daerah itu. Bersebelahan dengan Dolly, namanya lokalisasi Jarak.

Yang membedakan hanya dalam hal tarip dan tempat. Walau sama-sama dalam satu kesatuan wilayah, Dolly yang terkenal itu taripnya untuk kelas menengah ke atas, pelacurnya muda-muda, dan wisma sebagai tempat mejeng sekaligus tempat kencan lebih bagus. Sedangkan lokalisasi Jarak diperuntukkan untuk kalangan menengah ke bawah. Wismanya biasa-biasa saja dan tersebar hingga ke dalam-dalam gang sempit. Pelacur di lokalisasi Jarak sudah berumur, sekalipun saya lihat banyak juga yang masih "kinyis-kinyis" dan "bau kencur".

Nama-nama wisma di kedua lokalisasi itu macam-macam. Ada Wisma X, Y hingga Z (pokoknya yang berkaitan dengan nama bunga, hasrat, keindahan dan "surga"). Untuk menarik perhatian konsumen, para perempuan sebagai pelacurnya duduk di sofa saling bercengkerama dalam etalase kaca. Bagaikan ikan dalam akuarium. Karena di luar etalase kaca itu sengaja digelapkan dan di dalam berpenerangan terang benderang, antara pelacur dan calon konsumen tidak saling mengetahui.

Apabila ada pengunjung yang berminat, cukup menunjuk nomor yang telah disematkan pada bagian dada (kayak ratu kecantikan saja) atau warna baju yang dikenakan. Bicara ba bi bu dengan anak buah germo yang menemani si pengunjung, bertransaksi maka selanjutnya si pengunjung dapat langsung membawa si pelacur yang telah dipilih menuju "kamar idaman" untuk "dieksekusi".

Soal tarif kencannya saat itu saya tidak tahu. Namun ada sesuatu malam itu yang membuat saya kaget bukan main. Di antara kerumunan orang di lokalisasi itu, ada seorang laki-laki setengah baya yang sore hari tadi baru saja check in di hotel. Ini saya hapal betul karena tshirt yang dikenakan masih sama dengan saat dia tadi check in. Yang juga tidak mungkin lupa, si bapak ini waktu check in didampingi istrinya yang cantik beserta beberapa anak-anaknya! Pikir saya, mau apa lagi si bapak ini? Sudah punya istri cantik kok masih sempat-sempatnya menyelinap tinggalkan istri cantik ke lokalisasi.

Kembali ke hotel sekitar pukul 24.00 WIB, saya ceritakan pada teman satu kamar pengalaman atau tepatnya petualangan mengunjungi Lokalisasi Dolly dan Jarak itu. Komentarnya membikin saya merasa bersalah dan tidak enak hati, "Kok tadi saya tidak diajak!"

Pengalaman selanjutnya, yakni mengunjungi lokalisasi Boker. Lokalisasi ini berlokasi di Jalan Raya Bogor Susukan Pasar Rebo Jakarta Timur. Saya baru tahu betul lokalisasi ini justru ketika saat ini tinggal di Kalisari Pasar Rebo, hanya 10 menit jaraknya berkendara ke lokasi.

Padahal sebelumnya saya mengontrak rumah beberapa tahun di Jalan Haji Jusin Susukan Pasar Rebo. Ibaratnya hanya melangkah saja saya sudah bersegera tiba di lokalisasi ini. Anehnya hingga saya meninggalkan kontrakan Jalan Haji Jusin itu, sama sekali tidak tahu kalau ada sebuah lokalisasi cukup terkenal di kawasan Jakarta Timur ini.

Pantas saja kalau saya ditanyakan orang dimana tinggalnya, ada beberapa orang yang menyingung-nyinggung kata "Boker". Dan baru "ngeh" beberapa tahun kemudian.

Telah dua kali saya "survey" ke lokalisasi Boker, dan kedua muhibah itu setelah lahan lokalisasi telah dibebaskan pemda DKI. Kedua kunjungan itu juga tidak seorang diri, namun bersama seorang teman yang "sudah makan asam garam" tentang Boker tersebut. Boleh percaya atau tidak, untuk kedua kunjungan itu saya wajib ijin pada istri. Untungnya istri mengijinkan.

Alasan utama ijin, saya bilang sama istri seandainya kepergok warga (lha wong saya di tempat tinggal jadi pimpinan rt lho) dan menjadi gunjingan bahwa suaminya telah "jajan di luar", ia tidak shock dan segera mengklarifikasi. Alasan lainnya, untuk meyakinkan istri bahwa saya benar-benar hanya ingin "survey" dan mengetahui lingkungan sekitar yang tidak seberapa jauh dengan tempat tinggal. Lagi pula saya juga tidak sendiri, namun didampingi teman, dimana istri juga mengenalnya.

Kedua kunjungan ke Boker dilakukan setelah pukul 21.00 WIB pas Sabtu malam. Info yang saya dengar, kalau malam minggu katanya banyak wanita tuna susila (WTS) muda yang berdatangan dari berbagai pelosok di Jakarta. Bedanya kedua kunjungan tersebut, yang pertama setelah lokalisasi itu baru saja dibeli dan dibongkar pemda DKI. Sedangkan kunjungan kedua, setelah di lokalisasi itu telah berdiri bangunan besar dan megah yang kelak peruntukannya sebagai gelanggang olah raga terbesar di Jakarta.

Kesan pertama saya dari jarak agak jauh sebelum masuk ke lokalisasi, ini sebuah lokalisasi atau perkemahan prajurit yang mau berperang? Sebabnya beda 180 % dengan saat saya survey ke lokalisasi Dolly dan Jarak di Surabaya. Di Boker, bukan "wisma-wisma" yang kita lihat. Di sini sebagai penganti "wisma", berdiri tenda-tenda remang-remang atau gubuk. Ada tenda khusus penjual makanan dan minuman, tenda musik/band/pengamen, tenda arena perjudian dan tenda tempat kencan.

Begitu masuk pagar "utama" lokasi. Saya disambut barisan pelacur di kanan kiri gang yang cukup hanya untuk beriringan dua orang itu. Jarak kita dengan si pelacur hanya beberapa centimeter saja. Barisan pelacur itu terdiri anak baru gede (masih muda), setengah baya dan sudah tua; dari yang tubuhnya langsing hingga gembrot; dan dari yang aroma parfumnya mengundang birahi hingga aroma parfum yang membikin kepala pening hingga perut terasa mual.

Ciri khas dari pelacur-pelacur kalangan bawah ini, yakni: hampir semuanya menghisap rokok putih, wajah menor lantaran balutan tebal bedak (ada juga sih yang natural), menunjukkan belahan dada dan paha, dan semuanya menggenggam handphone. Berdasarkan pembicaraan dengan beberapa pelacur di situ, tarip kencan short time hanya Rp 100 ribu. Bahkan kalau semalaman seorang pelacur tidak mendapat order, tarif bisa turun drastis hingga Rp 50 ribu atau setengahnya saja. Kata seorang pelacur, "Yang penting saya bisa membeli rokok, ada transport pulang, dan bisa untuk makan keesokan harinya!"

Seorang pelacur muda dan cantik serta wajahnya yang "ndeso" (menurut saya lho) mengatakan pula, "Apabila saya menyukai seorang laki-laki dan lama mengenalnya, tidak dibayar pun saya mau. Yang penting suka sama suka,"

Kontur tanah di lokalisasi Boker ini naik turun. Entah kalau sehabis hujan seperti apa lokalisasi ini? Pada kunjungan pertama, tempat mejeng pelacur-pelacur guna menjajakan diri itu di sekeliling sebuah pohon besar. Sedangkan pada kunjungan kedua, pohon besar itu sudah ditebang. Karena itu, untuk menjajakan dirinya, hampir di setiap sudut yang ada dan sudah sempit lokasinya itu digunakan semaksimal mungkin.

Mau tahu seperti apa tenda khusus tempat kencan pelacur dan si lelaki hidung belang itu? Letaknya di sebelah selatan kawasan sempit dimaksud, dengan kemiringan tanah kurang lebih 30 derajat. Tenda yang berdiri lebih besar daripada lainnya dan memanjang di kanan kiri gang sempit. Di sini, suasananya lebih tenang dan agak gelap.

Di luar tenda tempat kencan ini, ada petugas keamanan dan petugas yang mengutip "sewa kamar" dan mengatur antrian lelaki hidung belang, kamar mana saja yang saat itu kosong. Ada kamar mandi? Boro-boro di sini. Sebagai gantinya, pelacur dan lelaki hidung belang yang ingin membersihkan diri setelah kencan, hanya disediakan sebuah baskom dan gayung berisi air! Saya ngeri juga mendengarnya.

Pada kunjungan pertama, saya hanya ingin tahu saja letak tenda kencan itu. Di kunjungan kedua (sudah percaya diri), saya kembali ke tenda kencan dan berdiri beberapa saat lamanya disamping petugas kemanan. Hanya ingin tahu berapa lama kencan berlangsung? Jawabnya, rata-rata dibawah 15 menit. Mungkin si pelacurnya kepingin cepat-cepat selesai agar bisa "mengejar setoran" kembali. Si lelakinya juga tidak masalah karena memang keadaan dan hasrat telah ditumpahkan. Sebagian besar lelaki yang baru keluar dari kencan menunjukkan wajah kepuasaan, sekalipun dengan menundukkan kepala. (mungkin malu ya)

Penasaran mau tahu apa yang terjadi, saya mengendap-endap mendekati tenda kencan. Agar tidak terjadi kesalahpahaman, saya selipkan uang tip Rp 10 ribu pada petugas keamanan yang ada dan minta ijin. Yang benar-benar saya tidak tahan, dari beberapa kamar itu saya mendengar rintihan-rintihan dan suara-suara aneh dari si pelacur. Entah itu desahan dibuat-buat atau memang ia menikmatinya. Kalaupun ada suara dari lelaki hidung belang yang tengah di puncak kencan, biasanya hanya menggeram-geram. Dari sebuah kamar, saya terkesiap dan menahan tawa karena ada pelacur yang bicara agak keras. "Cepat dong mas!" Dan dijawab si lelaki, "Iya. Ini baru mau nyampe!"

Hampir satu tahun sudah saya tidak survey kembali ke lokalisasi Boker itu. Pengalaman yang saya ceritakan diatas, suduh cukup bagi saya untuk ikut menyelami denyut nadi kehidupan malam warga kelas pinggiran yang jaraknya tidak jauh dari tempat tinggal. Pelajaran yang dapat dipetik, di satu sisi menumbuhkan simpati mendalam dan iba pada perempuan-perempuan terpinggirkan "di jalan kehidupan sosial" dan mereka dicap sebagai penyakit sosial (yang harus dibasmi) itu. Di sisi lain, terlepas dari nada-nada merendahkan dan penghakiman masyarakat yang kurang proporsional, ada perasaan salut bahwa demi menyambung hidup saja mereka telah mengorbankan kehormatannya.

Dari Jalan Raya Bogor Jakarta Timur yang acap dilalui, kini telah berdiri sebuah gedung olah raga (hampir jadi) yang megah dan nampak kokoh. Di sekelilingnya juga akan didirikan sarana olah raga lainnya. Kelak apabila kompleks olah raga itu selesai dan digunakan, dalam hati bertanya, "Mereka akan tergusur dan digusur. Dimana lagi mereka nanti akan dapat mengkais-kais rejeki buat bertahan hidupnya... di "jalan simpang, berliku dan kejam" yang telah dipilihnya itu?

-

Arsip Blog

Recent Posts