Jakarta - Ada dilema yang muncul seiring dengan populernya batik beberapa tahun lalu. Sejak tahun 2009 lalu, batik mulai menemui masa keemasannya. Saat itu, batik pun mulai banyak digunakan dan diolah jadi baju.
Beberapa tahun kemudian, kegelisahan muncul karena desainer dianggap pilih kasih hanya mengolah batik saja dan melupakan kain tradisional lainnya. Tahun berlalu, desainer mulai mengolah kain lainnya, misalnya tenun.
Seperti hukum alam, saat tenun jadi populer, batik seakan tenggelam. Hal ini menjadikan desainer Didi Budiardjo dan Jakarta Fashion and Food Festival (JFFF) ingin mengangkat kembali kepopuleran batik.
"Tapi kali ini, saya ingin mengangkat batik yang seutuhnya. Saya enggak mau setengah-setengah. Kalau batik enggak ditampilkan dalam kondisi yang terbaiknya maka akan percuma," kata Didi Budiardjo saat konferensi pers fashion shownya di JFFF, Kamis (28/5).
Koleksi terbaru Didi yang dinamai Uri-Uri ini mengangkat tentang batik Pekalongan yang asli. Cut Meutia, Deputy Chairman JFFF mengatakan, batik Pekalongan dipilih jadi tema besarnya karena begitu bicara batik, salah satu yang paling otentik adalah batik Pekalongan. Setidaknya batik ini merupakan salah satu batik terpopuler setelah batik Solo dan Yogyakarta.
"Ada 43 look yang dihadirkan dalam koleksi ini. Dan semuanya memakai batik tulis yang sudah jadi," katanya. Penggunaan bahan yang sudah jadi ini sengaja digunakan karena pembuatan kain batik baru sesuai desainnya ini membutuhkan waktu yang lama.
"Proses membatik itu lama. Saya punya waktu hanya tiga bulan sejak Februari 2015. Dan jangan lupa Februari itu musim penghujan, jadinya enggak mungkin selesai kalau bikin baru," ucapnya. "Saya harus pilih sendiri dari beberapa UKM di Pekalongan tapi harus sesuai standar saya. Jadi bagi saya ini seperti Mission Imposibble."
Sebenarnya batik, bukan bahan baru yang dimainkan Didi. Terhitung sudah beberapa kali ia menggunakan bahan ini dalam koleksinya. Namun bedanya, kali ini ia menghadirkan rancangan batik untuk koleksi resor-nya.
"Ada yang terinspirasi dari laut, budaya Pekalongan itu sendiri. Dan mengarah ke laut, oriental, sampai romantisme Pekalongan di zaman dulu," ujar desainer berkacamata ini.
Ditambahkannya, ia juga terinspirasi dari motif burung layang-layang menukik khas batik Pekalongan di zaman dulu. "Dalam falsafah China, burung layang-layang menukik adalah lambang keberuntungan sudah datang."
Sumber: http://www.cnnindonesia.com