Denpasar, Bali - Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana (Unud), Prof Dr Phil I Ketut Ardhana MA, menegaskan bahwa sebagian besar negara-negara di kawasan ASEAN memanfaatkan aset sosial budaya untuk mengimplementasikan diplomasi budaya dengan negara-negara lain di belahan dunia.
"Thailand, Laos, Vietnam dan Indonesia memanfaatkan aset sosial budaya untuk promosi dalam memasuki era globalisasi," katanya di Denpasar, Senin.
Ia mengatakan, penerapan strategi kebijakan dalam diplomasi budaya tersebut memberikan ruang gerak yang lebih luas guna mempermudah mencari solusi terhadap kerumitan hubungan ekonomi politik yang sering terjadi berkaitan dengan daya saing dan krisis ekonomi sebagai dampak globalisasi di tingkat regional.
Oleh sebab itu tidak mengherankan, masalah studi tentang etnisitas dan identitas banyak dilakukan terkait keberadaan kelompok etnik yang biasanya termarjinalisasikan dan hidup jauh terkebelakangkan dari pengaruh modernisasi.
Prof Ardhana mencontohkan, keberadaan orang Karen, etnik minoritas di Thailand, atau orang Asli di Malaysia serta Dayak Iban, Dayak Bidayu dan Dayak Lun di Vietnam, hingga kini masih tampak termarjinalkan.
Pemerintah Thailand misalnya, sering kali dalam konsep "Becoming Thai" mengabaikan keberadaan kepercayaan lokal yang dianut oleh etnis-etnis minoritas di negara tersebut.
Padahal mereka sebagian besar memiliki agama asli atau kepercayaan lokal yang semakin termarjinalisasi dengan adanya penerapan konsep menjadi orang Thai dan beragama Budha.
Hal itu merupakan konsep yang tidak jauh berbeda dengan konsep yang diimpelemtasikan pemerintah Malaysia yakni "Becoming Malays" yang artinya menjadi orang Malaysia dengan ciri uniknya menganut agama Islam.
Malaysia juga memanfaatkan aset sosial budaya untuk menegoisasikan dengan etnik-etnik melayu yang ada di Indonesia. Untuk itu diplomasi budaya dilakukan dengan mengadakan seminar budaya melibatkan peserta dari kedua negara, Malaysia-Indonesia.
Hal itu dilakukan mengingat Malaysia-Indonesia sama-sama memiliki etnik melayu dan menggunakan bahasa lokal, yakni bahasa Melayu.
Dalam seminar yang melibatkan dua negara itu, dibahas masalah sosial budaya, yakni budaya melayu, serta penyebaran etnik melayu hingga konsep budaya Riau Raya dalam kaitan dengan kehidupan budaya Melayu di Kepulauan Riau, Penang dan Brunei Darussalam.
Sumber: http://oase.kompas.com