Sudah tiga kali Nengah Suastini (46) pergi ke Jepang, yakni tahun 1997, 2002, dan Juni 2010. Semuanya dalam rangka pameran pariwisata. Ia membawa keahlian, produk, sekaligus warisan leluhurnya: kain gringsing.
Ia mempraktikkan proses penenunan kain gringsing itu selama ikut dalam pameran pariwisata dan perdagangan ”Modern Bali & Asia Style in Japan 2010” di Sagamihara dan Urawa, Jepang, 7-15 Juni 2010. Dari pagi hingga petang, mengenakan pakaian adat khas Bali, Suastini menenun. Ia menjawab semua pertanyaan pengunjung pameran dengan ramah.
Diikutsertakannya kain gringsing, proses pembuatannya, dan pembuatnya dalam pameran itu patut diapresiasi. Tidak hanya untuk mengembalikan kembali tingkat kunjungan wisatawan Jepang yang tengah lesu pada awal tahun ini. Lebih dari itu, rupanya para pemangku kepentingan di negeri ini ataupun di Bali masih sepakat bahwa pariwisata ramah lingkungan dan berkelanjutan adalah model yang harus terus didukung dan dihidupi.
Kain gringsing adalah sebutan khas untuk menyebut produk kain tenun ikat khas Tenganan Pagringsingan, salah satu desa aga di Kabupaten Karangasem, Bali. Lewat kain itulah sehari-hari Suastini hidup.
Ia menghidupi, misalnya, penggunaan teknik dobel ikat yang memakan waktu lama, hingga beberapa bulan, serta penggunaan bahan-bahan alami dari aneka dedaunan dan akar untuk pewarnaan kain gringsing. Sebuah proses yang bertentangan dengan praktik kebanyakan produk yang didorong oleh kebutuhan pasar, yakni proses produksi cepat dan kebanyakan menggunakan bahan-bahan tiruan atau kimia.
Bali boleh bangga, Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO) memilih pulau itu sebagai model dalam pengembangan pariwisata ramah lingkungan atau green tourism di dunia. Salah satu dasarnya adalah Bali dianggap mampu mengembangkan kepariwisataan berbekal kearifan lokal dan filosofi untuk menjaga keseimbangan alam, yaitu Tri Hita Karana.
”Bali mampu menjaga keseimbangan dan harmoni antara manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan sebagaimana terejawantah dalam konsep Tri Hita Karana. Kearifan itu masih hidup dan dipegang teguh hingga sekarang,” kata Asisten Sekjen UNWTO Geoffery Lipman dalam presentasi pemilihan Bali sebagai model pariwisata ramah lingkungan di kantor Gubernur Bali, Denpasar, akhir tahun lalu.
Konsep ramah lingkungan melekat dengan ekonomi hijau (green economy) yang mencakup antara lain penurunan produksi karbon dioksida, investasi ramah lingkungan, penggunaan energi alternatif, serta kelestarian keanekaragaman hayati. Namun, aplikasi konsep itu memperoleh tantangan aktual, terutama bila dihadapkan pada sejumlah persoalan terkait perubahan iklim yang dikhawatirkan berdampak pada kerusakan lingkungan di Bali. Salah satu fenomena mencolok yang terlihat adalah abrasi di kawasan pesisir.
Selain di Tenganan, praktik berwawasan hijau yang tetap dipraktikkan dan laku dijual kepada para turis masih banyak ditemui. Sebut saja Desa adat Penglipuran di Kabupaten Bangli ataupun Desa Wisata Kertalangu di Kota Denpasar yang baru dikembangkan beberapa tahun lalu. Juga ada praktik pertanian ekologis di Jatiluwih, Tabanan. Kawasan itu bahkan diusulkan menjadi warisan budaya dunia ke PBB.
Pemberi hidup
Bagi masyarakat Penglipuran, bambu merupakan pelindungan sekaligus pemberi hidup.
Sekitar 75 hektar atau lebih dari 50 persen dari total lahan seluas 112 di Penglipuran adalah hutan bambu. Hutan itu mengelilingi hampir seluruh wilayah desa, mulai dari arah timur laut desa, utara, barat, dan selatan desa. Dari total 75 hektar itu, 5 hektar di antaranya tanah milik desa yang dikelola para pengurus desa adat setempat. Dari 5 hektar itu, 1,5 hektar di antaranya melingkupi kawasan pura desa setempat.
Keberadaan hutan bambu di desa itu disesuaikan dengan tata guna lahan yang diteruskan secara turun temurun sesuai dengan awig-awig (aturan) desa setempat. Dari total lahan seluas 112 hektar di Penglipuran, misalnya, telah jelas penggunaannya. Kawasan pertanian di desa itu meliputi lahan seluas 25 hektar, permukiman 9-10 hektar, dan tempat suci sekitar 2 hektar.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengatakan, citra Bali sebagai daerah tujuan wisata ramah lingkungan di dunia diharapkan mampu mendatangkan wisatawan yang berkualitas. Ke dalam, hal itu sekaligus makin memperkuat tekad upaya menjaga kelestarian alam dan budaya.
”Ini juga menjadi tantangan Bali untuk semakin melestarikan alamnya. Sebab, tak dimungkiri pula pariwisata telah membuat orang berpindah ke kota dan enggan menjadi petani. Kalau pertanian dapat dikembangkan, orang tidak akan ramai-ramai ke kota. Sekaligus membuat Bali lebih hijau,” kata Pastika beberapa waktu lalu. (BEN)
Sumber: http://m.kompas.com