Yogyakarta - Opera Batak, sebuah kesenian tradisional Sumatera Utara, memang telah lama mati suri. Namun kesenian tradisional ciptaan Tilhang Oberlin Gultom (alm) ini muncul kembali ke tengah publik, justru di Teater Arena kampus Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, Sabtu malam pekan lalu.
Pentas bertajuk Sampuraga, yang melibatkan para pemain Teater Sakata, Padangpanjang, dan para pemusik asli dari Tapanuli tersebut disutradarai oleh Enrico Alamo. Pentas ini sekaligus merupakan karya Enrico dalam program penciptaan seni di Fakultas Seni Pertunjukan Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia,Yogyakarta.
“Sebagai kesenian tradisi, Opera Batak memang sudah jarang tampil. Saya hanya ingin mempopulerkan kembali teater tradisi itu,” kata sutradara kelahiran Sungai Piring, Indragiri Hilir, Riau, ini.
Seperti Opera Batak pada umumnya, Enrico juga mengangkat cerita rakyat sebagai materi pertunjukkan. Kali ini ia mengangkat Sampuraga, sebuah cerita rakyat dari daerah Mandailing. Tepatnya adalah legenda tentang terjadinya kolam air panas yang ada di Desa Sirambas, Mandailing, Sumatera Utara.
Cerita besarnya adalah kisah Sampuraga (diperankan Djunaedi Lubis), seorang anak durhaka yang dikutuk karena tidak mengakui ibu kandungnya (diperankan Silvia Purba). Sampuraga pergi dari desa asalnya, Padang Bolak, meninggalkan ibu kandung yang sudah renta dan kekasihnya, Lisda (diperankan Sandityas Hutabarat), untuk pergi merantau ke Mandailing.
Di rantau, Sampuraga ternyata hidup makmur karena sangat dipercaya oleh seorang bangsawan. Sampuraga bahkan dikawinkan dengan Yohana (diperankan Chandra Nilasari), putri tunggal sang bangsawan. Saat pesta perkawinan, ibunda Sampuraga datang bersama Lisda. Namun Sampuraga tak mengakui dan bahkan mengusir ibu kandung dan kekasihnya itu. Sampuraga kemudian dikutuk, tenggelam dalam air panas.
Meski mengangkat cerita rakyat, Enrico menggunakan pendekatan teater modern pada pementasan Opera Batak di Teater Arena Kampus ISI Yogyakarta ini. Dalam versi aslinya, pentas Opera Batak bisa berlangsung semalam suntuk karena selalu ada selingan ceramah agama atau lawakan. Kali ini, Enrico mengemasnya menjadi sebuah pertunjukkan teater dengan durasi satu seperempat jam.
Pendekatan teater modern itu, antara lain, teknik menghadirkan dua peristiwa terpisah menjadi satu adegan di atas panggung. Contohnya, adegan sang ibu di rumah yang mengharapkan kedatangan Sampuraga dan adegan Sampuraga yang sedang bermesraan dengan Yohana, kekasihnya. Dua adegan di tempat berbeda itu hadir dalam satu panggung dengan “pemisah” lampu sorot yang ditembakkan dari atas.
Enrico yang sedikit mengubah seting cerita. Dalam versi aslinya, Sampuraga adalah seorang pemuda miskin pengangguran yang kemudian berhasrat merantau untuk menaikkan taraf hidupnya. Dalam versi Enrico, Sampuraga diberi “baju” sebagai perajin Sigale-gale (boneka kayu yang bisa digerak-gerakkan tangannya). Sampuraga gelisah dan kemudian memutuskan untuk merantau karena masyarakat tidak lagi tertarik dengan Sigale-gale. Enrico bahkan menghadirkan adegan pertunjukkan Sigale-gale yang ditinggalkan penontonnya karena kesenian tradisi itu dianggap tidak lagi menarik.
Enrico bertekad mempopulerkan kembali Opera Batak. Setelah pentas di Kampus ISI Yogyakarta, ia sudah membuat rencana pentas keliling Opera Batak. “Oktober dan November nanti kami akan pentas di Bandung dan Solo,” ujarnya.
Opera Batak dirintis oleh Tilhang Oberlin Gultom sejak 1920. Di zaman Soekarno, Opera Batak bahkan pernah diundang pentas di Istana Negara. Pentas Opera Batak surut sejak Tilhang Oberlin Gultom meninggal pada 1970. Upaya membangkitkan kembali kesenian tradisional rakyat Sumatera Utara itu dirintis pada 2002 melalui program Revitalisasi Opera Batak di Pematang Siantar.
Sumber: http://www.tempointeraktif.com