Oleh: Bagus Mustakim
Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Mitos Nyi Roro Kidul bagi masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta, terasa sangat kuat. Setiap kali terjadi kecelakaan laut yang menelan korban selalu dikaitkan dengan keberadaan Sang Ratu. Demikian juga dengan terseretnya tiga siswa SMP dan dua mahasiswa beberapa waktu lalu. Masyarakat lantas menghubungkan peristiwa itu dengan permintaan tumbal oleh penguasa laut selatan tersebut. Berkembangnya ilmu pengetahuan modern yang dapat menjelaskan fenomena laut secara ilmiah dan logis ternyata tidak mampu melunturkan kepercayaan itu.
Tradisi dan mitologi ini, secara budaya, memang menjadi daya tarik tersendiri, khususnya untuk kepentingan penelitian maupun wisata. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan kebutuhan terhadap nalar rasional modern, tradisi dan mitologi ini dapat berdampak kontraproduktif. Karena itu, tarik ulur antara mitologi tradisional dan tuntutan modern ini perlu dipecahkan. Pemecahannya harus berupa solusi yang dapat menjembatani dua kultur yang berbeda tersebut. Di satu sisi kepercayaan masyarakat terhadap Nyi Roro Kidul harus tetap diakui, namun di sisi lain nalar modern yang rasional dan ilmiah dapat diterima oleh masyarakat.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengubah wujud mitologis Nyi Roro Kidul menjadi wujud etis. Perubahan ini memerlukan usaha keras agar dapat membangun cara pandang baru terhadap keberadaaan Nyi Roro Kidul. Cara pandang yang dimaksudkan adalah mengubah sosok Nyi Roro Kidul yang demonic menjadi sosok yang penuh kasih sayang. Dalam mitos Nyi Roro Kidul sejatinya ada sifat pengasih dan penyayang yang dilekatkan pada diri Sang Ratu tersebut. Misalnya, mitos yang menyatakan korban-korban kecelakaan laut pada dasarnya adalah orang-orang yang dipilih untuk melayani Ratu di dalam kerajaannya. Dalam konteks kehidupan pada masa kerajaan, orang-orang itu adalah orang-orang pilihan yang sangat beruntung. Karenanya, adanya kecelakaan laut dapat dipahami sebagai wujud kasih dan sayang Sang Ratu terhadap korban sehingga menjadikannya sebagai orang pilihan untuk melayani Ratu.
Sifat kasih dan sayang ini perlu dieksplorasi untuk memberikan pencitraan baru terhadap keberadaan Sang Ratu. Citra Ratu yang jahat, haus darah dan pengorbanan harus diubah menjadi Ratu yang lembut serta penuh kasih dan sayang.
Citra Ratu yang jahat tersebut harus diposisikan sebagai kesalahan masyarakat dalam memosisikan keberadaan Nyi Roro Kidul. Karenanya, kesalahan itu perlu dikoreksi dan diperbarui. Dengan demikian, sejatinya Nyi Roro Kidul justru ingin memberikan kasih dan sayang dengan memberikan berkah laut sebanyak-banyaknya kepada masyarakat pantai selatan.
Meskipun demikian, kepercayaan terhadap keberadaan Nyi Roro Kidul menuntut adanya konsekuensi berupa kepasrahan terhadap kekuatan Sang Ratu itu. Namun, wujudnya bukan berupa kepasrahan mitologis dalam bentuk pengorbanan, ataupun pemberian tumbal atau sajen laut, melainkan kepasrahan etis yang menghendaki perkenan dari Sang Ratu melalui kewajiban moral dan tantangan kehidupan moral dalam masyarakat pantai. Misalnya, menjaga kelestarian laut agar tidak terjadi kerusakan, menjaga lingkungan laut agar tidak terjadi pencemaran, mempelajari sifat-sifat laut agar terhindar dari kecelakaan, membangun masyarakat sekitar laut yang adil makmur dan sejahtera, dan lain-lain.
Mitologi Nyi Roro Kidul ini dengan demikian dapat bersifat fungsional. Kepercayaan terhadap keberadaan penguasa laut selatan itu dapat melahirkan tradisi laut baru yang sesuai dengan tuntutan zaman. Melalui pembaruan cara pandang semacam ini, kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan Nyi Roro Kidul tetap diakui sebagai kekayaan lokal yang dapat dilestarikan. Pembaruan ini juga dapat menarik kepercayaan lokal ini dalam tradisi modern yang fungsional, yang tidak semata-mata untuk kepentingan mistik melainkan juga kepentingan masyarakat modern.
Sumber: http://cetak.kompas.com