Metode Bercerita Favorit Anak

Jakarta – Bercerita kini semakin banyak digunakan untuk menjelaskan pelajaran atau informasi kepada anak-anak. Hal tersebut bisa dilakukan guru, orangtua, atau anggota keluarga lainnya.

Menurut pendongeng anak dari Kampung Dongeng, Awam Prakoso, cerita merupakan rangkaian peristiwa yang disampaikan secara tertulis dan lisan yang berasal dari kejadian tidak nyata atau nyata.

Sedangkan dongeng merupakan hasil karya berdasarkan rekayasa imajinatif seorang penulis.

“Dongeng sudah pasti cerita, dan cerita belum tentu dongeng. Untuk itu, kita lebih mudah bercerita kepada anak jika sudah memahami pengertiannya,” ujarnya.

Banyak yang beranggapan bahwa bercerita itu sulit. Padahal, manfaatnya anak jadi lebih ingat pesan yang disampaikan dengan bercerita. Awam berkata setiap manusia secara naluri senang bercerita atau mendengarkan cerita. Terutama saat ini semakin banyaknya sosial media seperti Facebook dan Twitter.

”Jadi, jangan pernah berkata bahwa kegiatan bercerita itu sulit dilakukan karena kita itu ahli bercerita,” tutur pendongeng yang akrab disapa Kak Awam ini.

Agar pandai bercerita, Awam berpesan untuk menguasai materi cerita yang akan diceritakan. Saat ini tidak sulit juga menemukan buku cerita untuk referensi bercerita.

“Saat bercerita, kita juga perlu memainkan volume suara agar anak tertarik mendengarkannya,” urainya.

Selain dari buku, orangtua juga bisa membuat cerita dari referensi lingkungan sekitar atau perjalanan hidup, asalkan ke semuanya dikemas dengan bahasa anak.

“Bercerita itu tidak asal bercerita,” tandasnya dalam acara Toyota Bercerita yang diadakan PT Toyota Astra Motor (TAM) dan Ikatan Guru TK Indonesia serta Himpunan Pendidikan Anak Usia Dini di Jakarta, Senin (14/6) lalu.

Dia juga memberi saran, agar anak mudah mengikuti alur cerita dan menerima pesannya, yakni cerdas memilih tema cerita. Artinya, tokoh dalam cerita tersebut memang populer di kalangan anak-anak.

Awam mengatakan, materi cerita yang baik adalah materi yang pas dan cocok disajikan berdasarkan tingkat usia anak yang mendengarkan. Misalnya, untuk anak di bawah usia 4 tahun, mereka lebih menyukai dongeng tumbuhan, makhluk hidup, atau benda-benda yang ada di sekitar. Jadi, cerita yang dibuat bisa seperti “si bunga yang indah” dan lainnya.

Sementara untuk usia 4 sampai 8 tahun, lebih menyukai dongeng fabel (binatang dan benda mati), tokoh heroik, dan cerita tentang kecerdikan yang tentunya dikemas secara jenaka dan segar. Misalnya, kelinci yang patuh atau kura-kura yang cerdik.

Untuk anak berusia 8 sampai 12 tahun lebih menyukai dongeng petualang, sejarah, atau kisah para nabi dan sahabat.

“Untuk waktu bercerita sebaiknya jangan terlalu lama, karena daya konsentrasi manusia umumnya adalah 7 menit,” saran Awam.

Awam mengatakan, untuk anak di bawah usia 4 tahun sekitar 5 menit. Anak berusia 4 sampai 8 tahun sekitar 7 sampai 15 menit dan anak usia 8 sampai 12 tahun dengan durasi hingga 20 menit. Namun, jika cerita dikemas dan disajikan dengan cara yang menarik, maka anak-anak bisa fokus.

“Dongeng tidak hanya mengandung nilai-nilai kebaikan saja, namun sampaikan pesan pula dalam cerita itu untuk mengubah kebiasaan anak, seperti efek buruk kalau tidak suka makan sayur,” tuturnya.

Sementara itu, Shanaz Haque mengatakan, sebaiknya anak-anak tidak diceritakan cerita-cerita atau dongeng yang tidak nyata. Misalnya tentang ibu peri yang bisa mewujudkan keinginan apa saja atau wanita yang dicium oleh pangeran tampan bisa menjadi cantik.

“Dongeng yang tidak nyata itu sebaiknya jangan, karena anak-anak bisa mengambil pesan yang salah,” ujarnya di acara yang sama.

Shanaz Haque juga menjelaskan, “Mendongeng sudah dilakukan orangtua saat anak masih dalam kandungan. Dan, hal tersebut membuat anak terbiasa mendengarkan cerita.”(Koran SI/Koran SI/nsa)

-

Arsip Blog

Recent Posts