Bali Dipandang dari Luar

Oleh Edi Sedyawati

Dipandang dari luar, masyarakat Bali beserta kebudayaannya dengan profil yang amat khas di Indonesia itu, tampak begitu stabil dan percaya diri. Saya pernah menyatakan pendapat, bahwa selama agama tidak diganggu-gugat, kebudayaan Bali akan hidup terus dengan jati dirinya yang kuat, karena hidupnya kebudayaan itu mendapat topangan amat kuat dari agama. Atau, bahkan dapat dikatakan bahwa agama adalah raison d'etre (landasan eksistensi) dari kebudayaan Bali. Namun, penyimakan atas sejarah kebudayaan juga telah membuktikan, bahwa di atas landasan tersebut kreativitas senantiasa mendapat keleluasaan gerak di dalam lingkup keberterimaan tradisi.

Penyimakan sejarah telah menunjukkan bahwa Bali telah mengalami perkembangan sosial-politik dari zaman ke zaman, yang kesemuanya itu sedikit atau banyak tentu punya pengaruh terhadap perubahan budaya. Secara garis besar ada beberapa tahap perkembangan sosial-politik itu.

Pertama, ada sejumlah masyarakat kecil di masa prasejarah, berpusat hunian di berbagai tempat di Bali. Khususnya yang daerah pantai mengembangkan budaya Perunggu-Besi; penggolongan masyarakat atas dasar status telah dikenal, dan teknologi logam telah dikuasai.

Kedua, masa muncul dan berkembangnya kerajaan-kerajaan bercitra Hindu. Hal ini diawali dengan hubungan-hubungan dengan India, yang telah dimulai sejak masa prasejarah. Ini juga masa pembentukan pranata-pranata Hindu dengan sejumlah ciri khusus Bali. Dalam masa yang panjang itu di satu sisi terdapat hubungan yang amat dekat dengan Jawa pada masa-masa tertentu, dan di sisi lain terdapat golongan-golongan masyarakat khusus di Bali yang lebih banyak mempertahankan pranata-pranata lama yang mungkin berasal dari masa pra-Hindu, atau prasejarah. Ketiga, masa pemerintahan kolonial Belanda, ketika pihak Bali juga melakukan perlawanan, antara lain dengan juga melakukannya dengan cara yang khas, yaitu puputan.

Keempat, masa kemerdekaan di bawah pemerintahan Republik Indonesia. Pada masa ini terdapat intrusi sistem kenegaraan RI ke dalam, atau lebih tepat ke samping dan ke atas, sistem sosial adat Bali. Administrasi pemerintahan RI meliputi seluruh Bali, dan kualifikasi untuk berperan di alamnya tidak ditentukan oleh status warna (kasta).

Hubungan dengan Asing
Melintasi seluruh rangkaian masa itu, terdapat episod-episod tertentu di mana terdapat hubungan-hubungan intensif dengan golongan-golongan orang asing tertentu yang membuahkan penyerapan-penyerapan budaya yang akhirnya menambah variasi ekspresi budaya Bali. Yang dimaksud di sini adalah hubungan dengan para pembawa budaya Cina dan Eropa. Hubungan dengan Eropa terjadi pada masa kolonial, ketika sejumlah tokoh seniman seni rupa dari Eropa menetap di Bali, dan ternyata memberikan masukan yang diserap oleh para seniman Bali, untuk selanjutnya melahirkan gaya lukis Pitamaha, dan seterusnya. Gagasan tari Kecak pun konon dipasok oleh seniman asal Eropa. Berbeda dengan hubungan, Bali-Eropa yang banyak dokumennya itu, proses penyerapan aspek-aspek tertentu budaya Cina di tempat-tempat tertentu di Bali masih terlalu samar. Kesan kecinaan ada pada jenis kostum tari tertentu.

Demikianlah secara garis kasar perkembangan sejarah sosial di Bali. Dua tahapan perkembangan yang disebutkan terakhir (3 dan 4) boleh dikatakan masih banyak diingat orang, baik dari pengalaman sendiri maupun dari cerita orangtua atau kakek-nenek.

Kebudayaan pun mengalami perkembangannya melalui berbagai jalur. Dapat disebutkan jalur-jalur perubahan yang dapat jelas disimak itu meliputi: struktur sosial, tata ruang pemukiman dan kitarannya, teknik dan gaya seni, sistem ekonomi.

Berkenaan dengan struktur sosial telah disebutkan di muka mengenai intrusi sistem pemerintahan modern RI ke dalam susunan masyarakat Bali yang masih kuat mempertahankan adat. Integrasi struktur masyarakat adat dalam satuan kewilayahan paling jelas dapat diamati di tingkat desa, dengan institusi-institusi otentiknya berupa banjar, sekaaa, dan seterusnya, serta institusi lintas-desa seperti subak, yang masih vital. Perubahan yang sudah terjadi adalah diciptakannya institusi desa dinas yang merupakan sarana pemerintahan sekuler yang merupakan bagian dari pemerintah RI yang paling langsung berhubungan dengan penduduk. Desa dinas ada di samping institusi tradisi, sedangkan di atas itu terdapat satuan-satuan pemerintahan yang lebih tinggi (kecamatan, kabupaten, propinsi yang sama sekali tidak mengacu pada adat, dan para pemegang kewenangan di dalamnya pun tidak ditentukan secara adat.

Hubungan Primordial
Di dalam keleluasaan berkarier di institusi-institusi modern (pemerintahan, pendidikan, perusahaan, dan seterusnya), orang Bali tetap menjaga hubungan-hubungan primordialnya yang dinyatakan melalui partisipasi aktifnya dalam upacara-upacara sosial-keagamaan di desa asalnya. Tata sosial demikian adalah unik, dan dilihat dari luar sepertinya indah. Yang tidak jelas adalah, adakah perubahan-perubahan sikap terhadap kesetiaan kepada tata ritual sosial-keagamaan itu. Adakah orang Bali yang berani ''ingkar'' terhadap kewajiban-kewajiban primordialnya? Dalam pandangan saya, ikatan-ikatan primordial adalah bagian dari jati diri manusia sebagai warga suatu satuan sosial tertentu, dan untuk melestarikannya adalah hak asasi bagi setiap orang. Persoalannya adalah, di zaman dunia yang telah menapak ke modernisasi dan kini globalisasi ini, tantangan untuk mengelola hubungan-hubungan itu menjadi semakin berat, karena manusia dihadapkan pada orientasi yang jamak, tidak hanya satu jalur. Orang Indonesia kebanyakan harus dapat menjadi dwi-budayawan, atau bahkan tri-budayawan (etnik, nasional, inter-etnik, global).

Tata ruang pemukiman dan kitarannya bersentuhan dengan konsep cultural landscape (bentang alam budaya) yang telah dikembangkan dalam forum UNESCO dalam rangka pengembangan sarana untuk perlindungannya. Kebudayaan Bali mempunyai konsep tata ruang etnik religius kuat yang cukup terformulasikan dengan jelas dalam khazanah sastranya. Dalam skala rumah maupun orientasi kosmos aturan-aturannya jelas. Namun, keterbatasan lahan di hadapan tekanan pertumbuhan penduduk, belum lagi di hadapan kepentingan industri/modal besar yang semakin rakus akan lahan, merupakan jenis tantangan baru yang dari waktu ke waktu menuntut solusi per kasus.

Perubahan sistem pasar dari pasar tradisional yang temporer dan berorientasi ke pusat-pusat perbelanjaan dan perkulakan yang permanen dalam sistem pasar modern, menuntut pula penyesuaian tata ruang. Ruang-ruang strategis dilihat dari sudut ekonomi tidak jarang harus bertabrakan dengan kepentingan religius-kosmik. Semestinya memang ketenteraman batin tidak dikorbankan untuk prospek ekonomik-moneter.

Suatu perkembangan sosial-politik masa kini yang dapat membuat persoalan menjadi lebih rumit adalah urusan Otonomi Daerah. Balidwipa Mandala yang merupakan kesatuan sosial-budaya, kini seakan-akan terancam tercabik-cabik oleh kepentingan kabupaten demi kabupaten. Sumber daya diperebutkan, dan tidak lagi diintegrasikan untuk penggunaan bersama dalam suasana gotong-royong yang damai.

Mungkin juga di tingkat desa dapat muncul arogansi desa adat, sedemikian rupa, seolah-olah persatuan dan kebersamaan itu menjadi tidak penting lagi. Kita tidak dapat surut, kembali ke rahim ibu, dan melupakan Republik Indonesia yang kemerdekaannya telah kita perjuangkan bersama.

Penulis, budayawan, mantan Dirjen Kebudayaan

-

Arsip Blog

Recent Posts