Oleh Edna C Pattisina & dahono fitrianto
Biarkan candi-candi itu bicara. Maka mereka tidak sekadar menjadi panji-panji yang membawa kita pada mitos dan mistisisme. Ada kebijaksanaan yang akan mereka bisikkan dari sana.
Candi-candi itu bertutur tentang tata ruang. Melihat sebagian candi di Jawa Tengah seperti Gedongsongo, Cetho, Sukuh, Ratu Boko, dan Dieng, jangan kaget kalau ada keteraturan dalam ruang di situ. Batu-batu itu tidak tersusun begitu saja di lokasi yang dipilih asal-asalan, tetapi merupakan hasil dari keteraturan yang tersebar. ”Kalau dari konsep arsitektur modern, ordering system itu membuktikan kalau ada religi dari pelakunya,” kata arsitek Andy Siswanto.
Sistem keteraturan yang dipegang teguh ini berhubungan dengan kepercayaan tentang pencapaian nirwana. Nilai-nilai religi tersebut dimanifestasikan dalam candi. Seakan hendak meniru perjalanan ritual manusia menuju kesempurnaan, candi adalah hasil imajinasi kreatif tentang nirwana. Dan memang, ketika kabut turun, undak-undakan candi itu pun seperti menjadi sebuah negeri di awan.
Hasil dari kebijaksanaan masa lalu ini hadir dalam karya-karya estetis yang terintegrasi dengan alam. Candi Gedongsongo, misalnya, terdiri dari lima kelompok candi yang dibangun mengikuti kontur lereng Gunung Ungaran dan menghasilkan jalur berbentuk tapal kuda pada ketinggian 1.300 meter. Masing-masing kelompok terdiri dari satu hingga tiga candi kecil yang konon dibangun pada abad ke-7 ketika wangsa Syailendra berkuasa.
Berjalan kaki dari kelompok candi yang satu, walau harus ngos-ngosan karena menanjak, hati tenang karena ditemani hutan pinus dan ladang penduduk. Di tengah perjalanan yang mendadak menurun, ada kawah—yang menurut kepercayaan penduduk setempat mengeluarkan napas Rahwana—serta sumber air. Setelah itu, jalan kembali menanjak menuju akhir perjalanan, yaitu kelompok candi kelima yang duduk di pangkuan Gunung Ungaran.
Semakin sepi
Rasanya, perjalanan dengan jalan setapak Candi Gedongsongo membawa kita semakin ke atas, semakin sepi, dan semakin sendiri. ”Ada rangkaian ritual perjalanan untuk menangkap fenomena jagat raya,” kata Niken Wirasanti, staf pengajar Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM).
Pola serupa terjadi di Candi Dieng. Kompleks candi yang terletak di basin—cekungan sisa kawah—ini merupakan kompleks bangunan Hindu tertua di Jawa Tengah. Percandian Dieng yang terdiri dari Candi Semar, Arjuna, Srikandi, Gatotkaca, Puntadewa, dan Bima ini tersebar di dalam cekungan pada ketinggian 2.100 meter. Kompleks candi yang terpencar-pencar ini dikelilingi perbukitan yang membuat kita merasa berdiri di dasar sebuah mangkok. Padang rumput yang luas diselingi ladang kentang dan perkebunan penduduk, berpusat pada Candi Arjuna yang terletak di tengah-tengah, dan menjadi pusat perjalanan spiritual yang dilingkari bukit.
Walau sekilas terlihat acak, ada pola yang berhubungan dengan kondisi tanah di basin Dieng ini. Konon, pihak pembangun—developer kalau mengikuti istilah saat ini—kala itu harus melakukan uji kelayakan tanah dulu sebelum membuat sebuah bangunan yang dirancang berusia ratusan tahun. Caranya dengan membuat sebuah lobang, lalu diisi dengan air. Selang beberapa saat, dilihat bagaimana rembesan airnya. Semakin sempit rembesannya, berarti semakin padat tanah tersebut.
”Candi Dieng dibangun dengan sebelumnya diteliti seperti itu. Bayangkan bagaimana orang pada waktu itu mencari lokasi yang sangat spesifik sesuai rangkaian ritual dan syarat-syaratnya,” kata Gutomo, staf Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah. Belakangan, baru ditemukan bahwa tanah tempat candi-candi itu berdiri, terutama di kompleks candi utama di tengah basin, yaitu Candi Arjuna, adalah golongan tanah breksi vulkanik yang sangat keras, berbeda dengan jenis tanah di sekitarnya.
Prinsip keteraturan memang menjadi dasar sejak titik awal, yaitu pemilihan lokasi. Ketinggian dan ketersediaan air menjadi salah satu syarat utama pembangunan candi-candi penyembahan. Keberadaan candi-candi itu di tempat yang tinggi, didasarkan pada kepercayaan pra-Hindu yang menganggap roh-roh leluhur tinggal di gunung.
Sementara kedekatan dengan sumber air juga merupakan keharusan karena air adalah salah satu elemen terpenting dari sebuah upacara. Bahwa kebanyakan candi menghadap ke timur dan barat juga berkaitan dengan perjalanan hidup yang dimulai dari kelahiran dan kematian. ”Candi itu sangat struktural, lihat saja sumbu-sumbunya yang berhubungan dengan kosmik,” kata Andy.
Pemilihan tempat juga mempertimbangkan gejala alam, seperti suhu, nuansa pagi dan malam, kabut dan kawah gunung berapi yang membawa manusia ke sebuah penjelmaan dari nirwana itu sendiri. Sebut saja misalnya Candi Sukuh (970 meter) dan Candi Cetho (1.400 meter), keduanya di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar. Jalan menanjak dan berkelok-kelok harus ditempuh sebelum tiba di kedua candi ini. Efek matahari terbit dan tenggelam pada candi yang terbentang searah timur-barat ini, ditambah dengan latar tubuh gunung yang menjulang di belakangnya, menciptakan suasana yang magis dan misterius.
Undakan-undakan yang merupakan bangunan utama candi membawa peziarah naik ke ”atas”. ”Itulah lambang langit sebagai dunia atas yang dihuni zat spiritual yang dipahami sebagai tujuan hidup manusia,” kata Niken.
Selain tata ruangnya, masing-masing ornamen pada tiap candi dengan terperinci merujuk pada makna tertentu. Setiap simbol, sekecil apa pun, adalah bagian dari sebuah narasi besar yang dirancang sejak awal untuk menjadi ”jiwa” candi tersebut. Candi Sukuh dan Candi Cetho, misalnya, banyak memiliki beragam hiasan yang menggambarkan kesuburan manusia. Hadirnya lingga dan yoni, rahim, hingga alat kelamin dibuat sebagai ornamen yang merujuk pada proses hidup manusia.
Kecanggihan lainnya, struktur candi juga mengakomodasi kondisi alam Indonesia yang beriklim tropis dan banyak gempa. Struktur batuan candi yang disusun tanpa perekat menggunakan hukum gravitasi, yaitu menggunakan sistem batu pengunci. Salah satu keunggulannya, karena sambungannya tidak solid, bangunan ini elastis dan relatif tahan gempa. Gutomo dari BP3 juga bercerita, telah diteliti bahwa pencahayaan yang sengaja minim dan sirkulasi udara dari empat penjuru lubang di atap menjadikan candi sebagai tempat semadi.
Pola alam
Apa yang terlihat acak dalam konsep ruang candi sebenarnya membentuk pola keteraturan yang mengikuti pola alam. Ruang sekitar menjadi unsur figuratif dari sebuah bangunan. Ini yang dalam perspektif arsitektur modern disebut dengan environmental design, yang dengan rasional mempertimbangkan aspek lingkungan.
Setidaknya ini bisa menjadi cermin tata ruang perkotaan, yang tentunya tidak bisa langsung diperbandingkan karena memiliki religi yang berbeda. Ketika nirwana digantikan oleh kebutuhan ekonomi sebuah rancangan, menjadi pertanyaan besar apakah rencana ruang kota dapat menjawab kebutuhan yang baru tersebut.
”Banyak unsur utama arsitektur modern kota besar seperti estetika dan efisiensi yang tidak mampu terpenuhi,” kata Andy merujuk pada contoh kasus kawasan Sudirman-Thamrin. Ruang sekadar menjadi sisa yang tidak terdefinisi dari beton-beton yang dihunjamkan sebagai gedung. Inilah wajah ”candi-candi modern” paling gampangnya bisa dilihat di ”pusat peradaban mutakhir Indonesia”, yaitu sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin.
Arsitek Marco Kusumawijaya bercerita tentang proyek ”Membayangkan Jakarta”, yang menemukan bahwa daerah Sudirman-Thamrin itu tidak memiliki fungsi hunian yang menimbulkan kehidupan. Yang ada hanya kantor dan kantor lagi. Sementara sebuah contoh kasus menyebutkan, dari 91 orang yang bekerja di sebuah gedung di Jalan Sudirman, hanya satu orang yang tinggal di sana. Yang lain, ya selamat terjebak kemacetan.
Ketika masyarakat modern mengalami kegagapan dalam mendefinisikan kebutuhan lewat kecanggihan ilmu pengetahuan modern, dengarlah sebentar, ada bisikan dari masa lalu...
Sumber: http://kompas.com