Harmonisasi Peradaban Jadi Produk Unggulan Pariwisata Indonesia

Jakarta - Alam Indonesia indah, penduduknya ramah, kekayaan alam dan budayanya melimpah dengan biaya hidup murah, tentu tak diragukan lagi merupakan daya tarik kunjungan wisatawan manca negara.

Namun semua itu tidak cukup bisa diandalkan ketika negara lain bisa menciptakan objek wisata baru dan daya tarik wisata semakin beragam.

"Kita tidak bisa cukup berbangga dengan ungkapan negeri di jamrud khatulistiwa. Keindahan alam dan ragam budaya bukan lagi keunggulan. Tren pariwisata yang bisa dikembangkan justru dengan menyelaraskan semua daya tarik itu dengan perkembangan peradaban suatu bangsa. Ini produk potensial unggulan pariwisata masa depan, harmonisasi peradaban (harmony of civilization)," ujar Pakar Pemasaran Hermawan Kertadjaya, saat diskusi pariwisata nasional yang diselanggarakan Direktorat Jenderal Pemasaran Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Selasa (13/10).

Sikap terbuka bangsa Indonesia ditambah dengan kesuksesan menyelaraskan budaya timur dengan demokrasi merupakan salah satu bukti Indonesia memiliki potensi unggulan ini.

"Jangan lupa, Indonesia adalah salah satu model sukses dari harmonisasi Islam dan demokrasi. Meski mayoritas warga negara kita beragama Islam, demokrasi berjalan dengan cukup baik di negara kita," papar Hermawan.

Hal inilah sebenarnya, imbuh Hermawan, yang harus ditonjolkan dalam promosi wisata Indonesia di luar negeri.

"Kalau ini bisa tonjolkan sebagai bagian promosi wisata Indonesia di luar negeri, pencapaian target wisatawan bisa dua kali lipat dari saa ini," ujar Hermawan.

Meski produk wisata menjadi andalan utama, faktor pelayanan (service) dan upaya menyelaraskan seluruh proses terkait sektor pariwisata justru menjadi kunci kemajuan.

"Mengemas produk wisata sama saja dengan prinsip pemasaran produk. Merek (brand) Indonesia yang indah dan kaya budaya saja tidak cukup, harus disertai dengan perbaikan pelayanan (service) kepada wisatawan serta harmonisasi aturan di semua pemangku kepentingan (stake holder) pariwisata," papar Hermawan.

Belum selarasnya beragam aturan dan prosedur antar instansi itu pula yang kian dikeluhkan para pelaku industri pariwisata nasional.

"Sulit bagi kita menawarkan paket wisata bila tidak ada pengembangan destinasi (tempat tujuan) wisata. Belum lagi birokrasi di berbagai instansi yang justru membuat upaya kita menggaet turis semakin berat," ujar Ketua Asosiasi Agen Penyelenggara Perjalanan Wisata (Asita) DKI Jakarta, Herna Danuningrat.

Salah satu instansi yang paling disoroti pelaku industri wisata, imbuh Herna, adalah Direktorat Imigrasi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

"Sebagai pihak pertama yang berhubungan dengan wisatawan di pintu masuk, baik bandara maupun pelabuhan, pelayanan imigrasi masih menjadi keluhan dari wisatawan. Selain cukup berbelit, wisatawan sering mengeluhkan pelayanan yang tidak ramah," ujar Herna.

Pihak imigrasi sendiri membantah mempersulit masuknya wisatawan. "Stake holder di bandara dan pelabuhan laut itu bukan hanya kami. Jadi kami harus memastikan semua aturan terpenuhi," ujar Kepala Sub Dinas Dokumen Perjalanan, Ditjen Imigrasi, Amirullah.

Ia juga menambahkan, pihaknya justru berupaya mencari terobosan untuk mempercepat pengurusan dokumen imigrasi.

"Kita sedang berupaya membuat layanan visa saat kedatangan (visa on arrival) di udara. Jadi kita tempatkan petugas kita di penerbangan pesawat tujuan Indonesia. Namun hal ini masih terkendala infrastruktur dan keterbatasan petugas," papar Amirullah.

Dari 138 pintu masuk berupa (bandara dan pelabuhan) ke Indonesian pihaknya sudah memberikan vasilitas VoA ini di 60 lokasi.

"Kita berupaya menyelaraskan aturan, namun tentunya dalam kondisi sekarang dimana pengawasan terhadap lalu lintas orang harus semakin diperketat, kita juga dituntut lebih waspada," ujar Amirullah.

Namun menurut Hermawan, yang kini harus dibenahi adalah mental birokrasi yang terlalu kaku.

"Kalau hanya sekedar melaksanakan aturan sulit untuk menempatkan diri sebagai tuan rumah yang baik. Semua pihak terkait sektor ini harus siap menerapkan prinsip dagang bahwa turis itu sama dengan pembeli, yang harus mendapatkan pelayanan maksimal supaya tidak beralih ke penjual lainn," tutur Hermawan. (Jajang Sumantri)

-

Arsip Blog

Recent Posts