Kearifan Lokal dan Tradisi Pernaskahan Keagamaan di Sumatra Barat

Oleh : Oman Fathurahman

Tradisi penulisan, penyalinan, dan persebaran naskah-naskah keagamaan di dunia Melayu-Indonesia sangat terkait dengan proses islamisasi yang terjadi. Umumnya, naskah-naskah tersebut ditulis untuk kepentingan transmisi pengetahuan keislaman yang terjadi di berbagai institusi keagamaan, seperti pesantren, surau, dayah, rangkang, dan lain-lain.

Demikianlah, di kalangan masyarakat Minangkabau, tradisi penulisan dan kemudian persebaran naskah-naskah keagamaan ini dapat dipastikan terjadi secara terus menerus, seiring dengan terus berlangsungnya perkembangan dan persebaran Islam. Dan, karena Islam yang berkembang sejak awal bercorak tasawuf (Johns 1955), maka naskah-naskah keagamaan yang muncul pun kebanyakan mengandung pembahasan tentang tasawuf, baik yang ditulis oleh para penganut tarekat Syattariyyah maupun Naqsybandiyyah.

Seperti juga terjadi di wilayah lain di dunia Melayu-Indonesia, tradisi pernaskahan di kalangan Masyarakat Minangkabau mengandung sebuah “kearifan lokal” yang sedemikian kaya dan telah menarik perhatian banyak orang untuk melihat serta mengetahui nilai-nilai kebudayaan Minangkabau yang terkandung di dalamnya.

Kearifan lokal yang saya maksudkan dalam hal ini tentu saja mencakup hal yang sangat luas yang terkandung dalam naskah-naskah yang ditulis, seperti tradisi keberagamaan, keragaman faham, berbagai pilihan solusi dalam upaya pemecahan masalah adat, dan lain-lain, teks maupun konteksnya.

Tak pelak lagi, hingga saat ini, telah banyak sejumlah studi dilakukan atas khazanah naskah Minangkabau tersebut, baik oleh sarjana lokal setempat, yang notabene juga merupakan bagian tak terpisahkan dari “kearifan lokal” itu sendiri, maupun oleh mereka yang secara etnis dan budaya berada di luar apa yang saya sebut sebagai “kearifan lokal” itu. Dengan demikian, kearifan lokal dalam tradisi pernaskahan Minangkabau sudah bukan menjadi milik etnis Minang itu sendiri saja, sekat geografis dan sekat budaya pun sudah semakin pudar; hal yang tidak mengherankan jika banyak sarjana di luar Minang yang menjadi lebih tahu dan lebih mengerti tentang khazanah pernaskahan dan, karenanya juga, kultur Minang, dibanding orang Minang sendiri.

Tentu saja ini resiko dari apa yang disebut sebagai multikulturalisme, di mana tradisi pernaskahan menyediakan ruang yang sangat lebar guna tumbuh suburnya “isme” tersebut. Kenyataannya, selain banyaknya orang di luar Minang yang mempelajari kultur Minang melalui khazanah pernaskahannya, sebaliknya, tidak sedikit juga orang Minang yang melakukan telaah mendalam atas kultur di luar Minang, juga melalui khazanah pernaskahannya.

Hanya saja, faham multikulturalisme sesungguhnya tidak cukup berhenti pada cultural relativism, relatifitas budaya yang hanya mengakui adanya perbedaan, dan kemudian keterkarikan, atas adanya keragaman kultur belaka; faham multikulturalisme juga tidak cukup diterjemahkan hanya dengan bersikap toleran terhadap kultur lain di luar kultur kita sendiri; karena multikulturalisme berarti juga bersikap empati terhadap kultur lain itu, dan bahkan merelakan sebagian dari hak kultur kita untuk “dinikmati” oleh pemilik kultur lain. Harus terjadi proses pembelajaran untuk memahami dan mengapresiasi perbedaan dari kultur lain.

Dari sudut ilmu sosial, faham multikulturalisme sangat dipengaruhi oleh teori post-modernism yang menolak adanya dominasi sudut pandang dalam memahami masalah-masalah sosial (Jamhari 2004: 2). Post-modernism dapat dikatakan sebagai kritik terhadap faham modernisme yang memandang semua proses masyarakat dari satu kacamata pandang. Dalam hal ini kacamata perkembangan modernisasi Barat dijadikan sebagai satu-satunya ukuran untuk menentukan kebenaran. Padahal kenyataannya, kearifan (wisdom), juga dapat datang dari dunia dan peradaban selain Barat.

Dengan demikian, dalam konteks tradisi pernaskahan Minangkabau, yang merupakan salah satu dari sekian kearifan lokal yang sedemikian beragam, apresiasi tidak cukup hanya dengan menunjukkan ketertarikan terhadap keberadaan khazanah pernaskahannya, karena tidak jarang ketertarikan tersebut dilandasi semata dengan motivasi “menganggap unik, aneh, dan berbeda” saja dengan apa yang diketahui sebelumnya; lebih buruk dari itu jika ketertarikan terhadap kearifan lokal dalam tradisi pernaskahan Minangkabau ini kemudian diikuti dengan “mengukur” kebenarannya dengan ukuran lain yang diyakini sebagai satu-satunya yang benar, sehingga kearifan lokal yang ada menjadi marginal, keluar dari mainstream, dan dianggap berbeda dari yang “asli” dan yang “benar”.

Kini, di saat indigenous philology —yang ditandai dengan semakin banyaknya para pengkaji naskah dari kalangan pribumi sendiri— semakin berkembang, sudah saatnya untuk meluruskan cara pandang ketika menghadapi sebuah kearifan lokal yang terkandung dalam khazanah pernaskahan Minangkabau; di dalamnya tidak boleh ada sama sekali tujuan eksploitasi, melainkan lebih pada apresiasi, empati, dan perasaan sederajat antar satu kearifan lokal dengan kearifan lokal lainnya.

Berangkat dari teori di atas, “kearifan lokal” yang terkandung dalam tradisi pernaskahan di Minangkabau, karena sangat erat terkait dengan tradisi keberagamaan, dengan sendirinya memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, “kearifan lokal” ini dapat menjadi perekat dan potensi untuk menciptakan tradisi multikultural, di mana para pengkaji dari berbagai etnis dan budaya lain menjadi terlibat dalam pemaknaan naskah-naskahnya, sehingga Minangkabau menjadi sangat kosmopolit dan menjadi tempat bertemunya beragam tradisi.

Akan tetapi di sisi lain, “kearifan lokal” tersebut juga tidak jarang menjadi penyebab munculnya sikap fanatik dan munculnya klaim kebenaran mutlak (absolute truth) dari sebuah komunitas tertentu yang merasa lebih berhak dan merasa lebih memiliki tradisi tersebut. Ini umumnya muncul ketika masing-masing pemilik “kearifan lokal” menganggap “kearifan lokal”nya itu sebagai yang paling penting, yang paling benar, dan karenanya harus dibela, dengan cara apapun. Konflik antara Kaum Tua dan Kaum Muda, atau konflik antara Ulama Cangking dan Ulama Ulakan, adalah contoh konflik antara komunitas (dalam hal ini kaum tarekat) yang mengklaim sebagai pemilik “kearifan lokal” dalam tradisi pernaskahan keagamaan di satu sisi, dengan komunitas (dalam hal ini kaum modernis) yang berseberangan dengan “kearifan lokal” tersebut, karena memiliki ukuran kebenaran yang berbeda berkait dengan masalah keagamaan.

Idealnya, kebenaran mutlak yang dimiliki oleh setiap kelompok dapat menjadi faktor untuk menyatukan mereka dengan kelompok lain. Bukankah masing-masing faham yang mengklaim suatu kebenaran, jika disatukan akan menjadi klaim kebenaran bersama?

-

Arsip Blog

Recent Posts