Naskah Serat Dewabuda terdaftar sebagai khazanah Perpustakaan Nasional dengan nomor register Kropak 638 atau Br. 638 karena merupakan koleksi Brandes. Naskah ini disebut juga Sewakadarma Jawa Kuno. Dalam khazanah naskah Sunda, ada tiga buah naskah yang bernama Sewakadarma sebagai koleksi Perpusnas, yakni: Sewaka Darma (Kropak atau Br. 408), Serat Sewakadarma (Kropak atau Br. 637), dan Serat Dewabuda (Kropak atau Br. 638)—semua koleksi Brandes.
Serat Dewabuda yang berbahasa Jawa Kuno ini ditulis di atas daun nipah. Naskah ini terdiri atas 129 lempir, halamannya berjumlah 255 karena lempir pertama hanya ditulis satu muka, sedangkan lempir terakhir kosong dan lempir sebelumnya ditulisi satu muka saja. Meski berbahasa Jawa namun naskah ini ditulis di Jawa barat, maka dari itu termasuk dalam khazanah naskah Sunda Kuno.
Dari kolofon pada lempir 129-130 diperoleh gambaran bahwa proses penulisan naskah ini berlangsung selama dua bulan, dimulai dari hari Selasa Kliwon bulan ketujuh, selesai pada hari pasaran Pon bulan kesembilan tarikh 1357 Saka. Meski tak menyebutkan hari selesainya naskah ini, klausa pada embaran yang berbunyi “menjelang purnama terbenam” dapat ditafsikan bahwa naskah selesai pada tanggal 15 bulan kesembilan. Jadi, menurut perhitungan tarikh Masehi, masa itu jatuh pada bulan Januari-Februari (Kapitu) dan Maret-April (Kasanga) tahun 1435 M. Ada pun lokasi penulisannya adalah sebuah lembah bernama Argasela di Sungai Mulutu, di antara Gunung Cupu dengan Gunung Rantay dan sebuah bukit bernama Talagacandana. Gunung Cupu adalah sebuah gunung di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Dengan begitu, naskah ini disusun pada masa Prabu Niskala Wastukancana memerintah di Kawali (1371-1475).
Naskah Serat Dewabuda merupakan naskah agama, di mana banyak terdapat pandangan, sikap, kaidah-kaidah yang berlaku, dan ajaran agama yang dianut oleh masyarakat pendukung yang menghasilkan naskah ini. Di samping banyak nama-nama dewa Hindu, naskah ini menyebutkan hal-hal yang khas ajaran Buddha.
Seperti naskah-naskah Sunda Kuno yang lain (Jatiniskala, Sewaka Darma Kropak 408, Kawih Paningkes, Sanghyang Siksakanda ng Karesian), naskah ini berbicara mengenai kaleupasan atau moksa. Berikut kutipannya:
Dlaha ilkaning mati ata yan kapangguhenta ikeng kamoksan, anpanglinari sunyataya. Misra butaset nyawayawa. Irikang aparamarta, ya ta sinangguh aparamarta ngarana. Ya moksa lpas lingna. Ikan sunyayata kinawruhan pwaya apan katon pweking aparamarta apa ta menak nikan sengguhenta moksa lawan kamoskan apan katon pwa ikan alilang ahning nirawarana langgeng nira sraya kasparsa ikang aparamarta iken bayu langgeng ndya ta matangyan moksa ika.
(Langgeng hingga ajal jika dapat kau temukan kelepasan itu. Katakanlah sebagai sunyataya, bergabung yang hidup di luar, ke dalam aparamarta (ketidakbenaran). Itulah bertemu dengan ketidakbenaran namanya, mencapai moksa lepas katanya, menuju sunyataya. Hal ini diketahui karena terlihat sebagai ketidakbenaran. Apakah merasa senang jika kau temukan moksa dan kelepasan itu? Apakah terlihat tiba-tiba, hening dan suci, kekallah kebebasan itu. Terasalah ketidakbenaran itu, udara yang kekal. Manakah yang kemudian disebut moksa?).
***
Sumber: wacananusantara.org