Banjarmasin, Kalbar - Suku Dayak di Kalimantan Barat memiliki tradisi seni bertutur atau tradisi lisan yang menawan. Ada beragam jenis seni bertutur di kalangan masyarakat Dayak. Namun kelestarian tradisi ini kian terancam. Minat generasi muda untuk mempelajarinya sangat minim. Mereka yang menguasai tradisi ini kini sudah bisa dihitung jari.
Penulis buku Kearifan Lokal Masyarakat Dayak, Dedy Armayadi, mengatakan, pada dasarnya hampir setiap subsuku Dayak di Kalimantan Barat memiliki tradisi seni bertutur atau tradisi lisan. Hanya saja penamaan dan penyampaiannya yang berbeda-beda. Misalnya saja di kalangan Suku Dayak Desa di Sintang, seni bertutur ini dinamakan bekana. Sedangkan pada masyarakat Uud Danum tradisi ini dikenal dengan sebutan kolimoi. Tentu saja ada banyak lagi jenis tradisi lisan yang ditemui pada masyarakat subsuku Dayak lain, seperti Kanayatn, Iban, Kayaan, dan lain-lain.
“Kalau kita menyempatkan diri berkunjung ke perkampungan-perkampungan tradisional Suku Dayak, kita masih akan menjumpai tradisi ini. Misalnya di rumah-rumah betang di Sintang maupun Kapuas Hulu. Ada banyak jenis tradisi lisan ini,” kata Dedy Armayadi.
Menurut Dedy, tradisi bertutur ini biasanya diturunkan secara turun temurun. Tradisi ini sendiri biasanya disampaikan dalam berbagai acara adat, mulai dari pesta panen, gunting rambut atau penyambutan tamu. Bentuknya berupa senandung untuk memanjatkan doa, menyampaikan pujian, ataupun memberi nasihat. “Sejak dahulu, nenek moyang suku Dayak sudah terbiasa dengan kesenian sastra tutur ini. Ada banyak pesan yang biasa disampaikan dalam tradisi ini,” katanya.
Rafael Syamsuddin, tokoh masyarakat Uud Danum yang kini tinggal di Pontianak mengatakan, tradisi seni bertutur juga sangat erat dengan masyarakat Uud Danum. Masyarakat Uud Danum menyebut tradisi ini dengan istilah kolimoi. Kolimoi sendiri biasanya dituturkan dalam sejumlah acara. Bahkan biasanya seni ini dituturkan selama tiga hari tiga malam. Menurut Rafael, tidak banyak yang menguasai seni ini karena menggunakan bahasa yang dipercaya merupakan bahasa kayangan.
“Kolimoi itu misalnya bercerita tentang mitos orang-orang kayangan yang hidup berbaur dengan manusia di dunia,” katanya. Ada juga seni bertutur yang disebut Tahtum, yakni legenda kepahlawanan nenek moyang masyarakat Uud Danum yang terdiri atas 75 tokoh yang harus dikisahkan. Menurut Dedy Armayadi, tradisi seni bertutur kini terancam punah. Hanya sedikit orang tua yang masih menguasainya, sementara anak-anak lebih tertarik pada kesenian modern.
“Di Kalangan Dayak Desa misalnya, hanya sedikit orang yang kini masih menguasai seni bertutur bekana. Para penuturnya sudah banyak yang meninggal, sementara anak-anak muda yang mau belajar tradisi ini semakin sedikit,” jelasnya.
Bagi anak-anak muda, lagu populer lebih menarik dibanding seni ini. Linin Markus, salah seorang warga Dayak, merasa prihatin soal ini. “Banyak yang terpengaruh hiburan dari luar sehingga lupa dengan budaya sendiri. Apalagi sekarang televisi, telepon dan berbagai hiburan mudah didapat,” katanya.
Masuknya televisi atau radio memang berdampak besar pada kebudayaan setempat. Dulu sangat banyak orang bisa melantunkan bekana atau seni bertutur lainnya, tapi kini hanya bisa dihitung jari. “Karena ada intrusi budaya dari luar sehingga banyak yang lebih tertarik pada budaya-budaya modern ketimbang budaya tradisional. Kini yang menguasai tradisi ini terbatas di kalangan tertentu terutama orang tua yang berusia lanjut,” jelas Dedy.
Menurut Dedy diperlukan satu upaya untuk melestarikan tradisi ini, salah satunya dengan mendorong generasi muda agar mau belajar seni bertutur ini. Upaya lain yang bisa dilakukan adalah dengan membuat rekaman video mengenai berbagai tradisi seni bertutur ini.
Upaya merekam tradisi Bekana menggunakan teknologi video atau audio diharapkan bisa melestarikan tradisi itu untuk generasi mendatang. Paling tidak, generasi Dayak di masa mendatang masih bisa menjalin keterikatan dengan seni bertutur kuno itu melalui pemutar musik.
Sumber: http://www.pontianakpost.com