Senjakala Kesenian Tayub Tuban

Tuban, Jatim - Nasib kesenian Tayub di Kabupaten Tuban, tak berbeda jauh dengan kesenian tradisional lain, hidup ngos-ngosan.

Sunaryo, Kabid Pariwisata di Dinas Perekonomian dan Pariwisata Kabupaten Tuban mengatakan, kelompok tayub ini cukup banyak. Walau demikian, para pemain seni ini didominasi seniman tua. Jumlah seniman muda bisa dihitung dengan jari. Sama dengan pemainnya, penontonnya pun sebagian besar orang sepuh. Tidak terlihat ada upaya regenerasi, baik pemain maupun penontonnya.

Hal ini dirasakan Nasru Indra Rukmana, penari tayub kenamaan asal Kecamatan Meraurak. Wanita berusia 32 tahun ini, mencoba banting stir menjadi calon legislatif (caleg) DPRD Kabupaten Tuban.

Menurut Indra, saat ini banyak waranggono yang terbuai dengan kesuksesannya. Mereka lupa mengembangkan, atau juga abai mengelola upah yang didapat. Semakin tua waranggono, semakin ia ditinggalkan penggemarnya. "Kami tak bisa terus-terusan seperti ini," katanya.

Sementara upaya pemerintah, disebutnya masih sebatas mempermudah menghidupkan kesenian pertunjukan saja. Tak ada pemberdayaan pada para waranggono.

"Padahal kami ini tak bisa terus-terusan menjadi waranggono," timpal Indra.

Tidak hanya itu, kehidupan Waranggono saat ini tidaklah sebaik 10, 20 atau 30 tahun lalu. Saat ini, panggilan untuk manggung hanya dari beberapa kalangan saja mau nanggap mereka. Seni ini sudah kalah dengan seni-seni modern yang jauh lebih murah biaya pertunjukkannya.

Haryadi, budayawan Tuban sekaligus dosen di Universitas Ronggolawe mengibaratkan seni tayub di Tuban masih dalam masa keemasannya. Kesenian ini masih banyak diminati masyarakat kelas bawah.

"Tapi, kalau ini tak dijaga betul bisa jadi akan punah seperti kesenian lain," kata Haryadi.

Menurut Haryadi sudah ada dua kesenian yang punah di Tuban. Pertama, adalah Gendak, yaitu seni yang menggabungkan tari, musik, dan teater ini sudah tak ada lagi penerusnya. Berikutnya adalah kentrung. Seni bernyanyi dengan tabuhan ketipung, gendang, dan sitar ini sudah hilang.

"Padahal ini salah satu seni tradisional asli Tuban," lanjut Haryadi.

Kelompok kentrung di Tuban sendiri kini tinggal menyisakan Mbah Surati. Dulunya kelompok ini berjumlah tiga orang, namun karena usia satu persatu anggotanya meninggal tanpa pewaris. Seni ini sudah di ujung tanduk. Usia Mbah Surati yang sudah menginjak 94 tahun juga tak meninggalkan penerus.

Saat wartawan mengunjungi rumahnya beberapa waktu lalu, kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Ia tinggal sebatang kara di gubuk reotnya di Desa Bate, Kecamatan Bangilan, Kabupaten Tuban. Gubuk ini ia beli dari hasil jerih payahnya ngentrung saat muda.

-

Arsip Blog

Recent Posts