Banda Aceh, NAD - Dalam beberapa waktu terakhir, pementasan seudati terkesan tak lagi menghiraukan alat-alat budaya yang baku. Hal tersebut diutarakan Abdullah Abdurrahman atau yang lebih dikenal dengan sebutan Syeh Lah Geunta dalam kegiatan “Rumah Budaya Focus Group Discussion Pemetaan Seni Tradisi Aceh”, Rabu (8/1/2014) di Kantor Komunitas Tikar Pandan, Geucheu Meunara, Banda Aceh.
Syeh Lah Geunta menegaskan bahwa penggunaan rencong saat pertunjukan seudati. “Itu tidak boleh hilang dari pakaian seudati karena pakaian seudati adalah pakaian pahlawan,” katanya.
Dia menyimpulkan seudati sebagai tarian pahlawan lantaran gerakan dan gayanya yang heroik. Rencong, kata dia, adalah lambang pusaka Aceh yang harus dipakai oleh penari seudati. “Itu tak boleh ditawar-tawar dan tak bisa dikotak-atik,” tegasnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa penggunaan rencong dalam pakaian seudati bukan untuk kekerasan dan menonjolkan senjata tajam. “Dalam seudati, gagang rencong di bawah. Itu menunjukkan perdamaian. Beda jika gagangnya ke atas, yang untuk waspada atau berperang,” ungkapnya.
Syeh Lah Geunta menuturkan, pemakaian tengkuluk dalam pementasan seudati juga mulai tak dihiraukan lagi akhir-akhir ini. “Ada penari delapan orang, dua tidak pakai tengkuluk, mana bisa seperti itu,” tegasnya.
Pria yang telah mengenal seudati sejak kelas 4 Sekolah Rakyat (SR) itu, menuturkan, jarangnya even tarian seudati sekarang ini, berpengaruh pada eksistensi seudati yang mulai redup di Aceh. “Adanya seudati cuma saat PKA, acara-acara pernikahan. Dulu, di era 80-an festival seudati setahun bisa tiga kali,” ungkapnya.
Syeh Lah Geunta adalah satu dari belasan pegiat seni tradisi yang ikut serta dalam diskusi tersebut. Ada enam perwakilan kabupaten yang diundang, yaitu Bireun, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Subulussalam, dan Aceh Barat.
Manajer Komunitas Tikar Pandan, Rizki Alfi Syahril, mengatakan, pihaknya ingin mengundang para seniman tersebut untuk mengetahui perkembangan seni tradisi di Aceh. “Ingin melihat bagaimana kondisi aktualnya. Apakah ada yang sudah tidak ada lagi, vakum, dan masih ada,” katanya.
Tarian Bangsawan
Dari Aceh Barat, Juani menguraikan sejarah Tarian Bangsawan. Tarian itu, ujar Juani, adalah tarian rakyat. Pemainnya, kata dia, terdiri dari enam perempuan sebagai penari; dan dua pria sebagai Ule Balang serta Panglima.
“Yang memainkan musik ada tiga orang. Tarian tersebut mengisahkan nasib Aceh saat masuknya Belanda,” sebutnya. “Intinya tarian tersebut bertujuan untuk membangkitkan semangat perjuangan. Makna dari Tari Bangsawan ini adalah keakraban antara raja dengan rakyatnya,” kata dia.
1845-1905 merupakan periode eksisnya tarian tersebut di kawasan Aceh Barat pada saat seorang ulama kharismatik menetap di kawasan Karak, kecamatan Woyla Barat. “Dia punya wawasan yang luas dan menjadi pelopor penerapkan syariat Islam. Namun setelah periode tersebut, tarian itu sudah nyaris lenyap. Barulah pada 2012 kami coba hidupkan kembali,” ujarnya.
Sumber: http://theglobejournal.com