Haryadi: Konsesi, Ideologi, dan Korupsi Politik

DISKURSUS ideologi terkait erat dengan politik uang pada agenda pemilihan kepala pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Semakin kental diskursus ideologinya, korupsi politik akan semakin berkurang. Begitu pun sebaliknya. Politik uang hanya terkapsulasi di tingkat elite, bukan di tingkat bawah.

Pemikiran itu dikemukakan Haryadi, pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya. “Ketika diskursus ideologi itu kental, money politics terkapsulasi hanya di level elite. Tidak tereduksi ke bawah, “ katanya.

Berikut petikan perbincangan Kompas dengan Haryadi di ruang dosen Departemen Politik FISIP Unair, Senin (8/2).

Indonesia sudah dua kali melaksanakan pemilu presiden dan banyak pemilu kepala daerah. Adakah pengaruhnya terhadap masyarakat, demokrasi, dan ke h i dupan bernegara?

Ada mata rantai yang terputus dalam pemilu presiden dan kepala daerah, antara visi, popularitas atau elektabilitas, dan efektivitas pemerintahan. Ini tiga hal terpisah. Tadinya orang yang punya orientasi memilih lebih rasional berharap ada benang merah yang terangkai antara orang yang punya visi bagus, elektabilitas tinggi, dengan efektivitas mengelola pemerintahan sehingga biaya besar dalam proses pemilihan bisa ada excuse. Tapi, ternyata tidak.

Dari rangkaian panjang pilpres dan pilkada langsung, tiga hal itu sama sekali terputus. Ada orang yang memiliki visi, program bagus, tapi popularity dan electability tidak mendukung untuk bisa terpilih. Ada yang punya electability tinggi, visi sederhana, terpilih, kemudian tidak efektif memerintah. Memang ada beberapa kasus, wali kota memiliki kemampuan membangun jejaring untuk mengoptimalisasi pemerintahan serta langkah afirmatif untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu.

Bagaimana dengan ongkos untuk pemilihan langsung jika elektabilitas, visi, dan efektivitas tidak terangkai?

Ongkos politik adalah sesuatu yang niscaya harus dikeluarkan sebagai bagian dari proses politik. Tapi, yang berkembang saat ini sejalan dengan pragmatisme, lebih mengarah pada money politics karena orang berharap pada konsesi yang luar biasa untuk itu. Menurut saya, itu bukan lagi political cost, tetapi sudah political corruption. Kecenderungan political corruption harus dibedakan dengan political cost karena orang memberikan konsesi yang berkepanjangan pada masa jabatan orang itu.

Pada level mana pun, pilpres, pilkada, umumnya dana yang harus dikeluarkan sangat besar, sesuatu yang di mata sebagian orang dianggap tidak masuk akal. Tidak mungkin dibiayai kandidat. Dia harus punya kemampuan memobilisasi dana dan itu artinya konsesi.

Pragmatisme ini mengindikasikan lemahnya dua hal. Pertama, lemahnya ideologisasi partai atau kekuatan yang mendukung kandidat. Kedua, soal political touching atau sapaan politik ke bawah. Dalam berbagai riset yang saya lakukan bersama teman-teman, ada indikasi salah satu ekspektasi publik terhadap pemimpinnya adalah pemimpin yang punya kepedulian terhadap publiknya.

Kalau kita bandingkan dengan awal kemerdekaan, Bung Karno dan Bung Hatta, itu disebut pemimpin. Kata pemimpin menjelaskan antara yang dipimpin dan memimpin sebagai satu kesatuan. Tapi, kalau kata elite menunjukkan ada keterpenggalan struktur. Elite dengan massa, itu dua hal yang terpisah.

Mereka yang ada di atas, kalaupun hadir di bawah, sebagian besar pada momen-momen saat mereka butuh dukungan suara. Tracking political public, kalau orang itu hanya datang menjelang pemilihan, minta diapresiasi. Biasanya orang akan langsung bertanya, berapa kami dikasih. Political touching lemah.

Saat pemilihan, saat diskursus ideologi cair, money politics itu niscaya. Ketika pemilihan berlangsung, diskursus ideologi kental, maka yang namanya political corruption menurun. Contoh, pemilihan gubernur DKI Jakarta, diskursus ideologinya kuat. Saat itu, Adang Daradjatun akan mengusung yang namanya Islam. Karena itu, dia dikeroyok 21 partai yang mendukung Fauzi Bowo.

Di mana diskursus ideologi cair, money politics besar. Contohnya Pilgub Jawa Timur, semua kandidat mengeluarkan uang yang tak terhingga, semua melakukan money politics. Namun, saya agak gembira melihat data hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden serta beberapa pilkada. Ada peningkatan persentase pemilih rasional yang mengutamakan program. Sekalipun jumlahnya belum cukup signifikan, bagi saya cukup menggembirakan.

Haryadi mengkritik sistem kepartaian di Indonesia yang tidak memiliki alternatif kepemimpinan. Akibatnya, orang yang diusung partai terbatas, sekalipun sudah pernah kalah dalam pertarungan politik. “Karena terpaksa dimunculkan, ketika pernah kalah lima tahun lalu, dendam itu terpelihara selama lima tahun. Jadi, situasi kepolitikan di Indonesia ini memfasilitasi pemeliharaan dendam dalam kurun waktu panjang. Yang terjadi, hiruk pikuk sekarang ini adalah bagian dari impitan antara ekspresi kepentingan- kepentingan para pendendam— istilah saya—dengan negosiasi positioning di antara koalisi sendiri,” katanya.

Setidaknya, sudah ada dua kali gerakan massa di Indonesia sepanjang pemerintahan Presiden Yudhoyono periode kedua. Mungkinkah gerakan ini akan seperti tahun 1998?

Menurut saya, tidak. Gerakan ini kan momentumnya 100 hari, tools-nya (Bank) Century. Tapi, yang jadi persoalan adalah gerakan-gerakan ini kan dilakukan oleh kelompok masyarakat yang terfragmentasi kepentingannya. Nyaris yang namanya common enemy tidak ada. Isu bersama tidak ada, isu yang diusung terfragmentasi. Dari sisi itu sebenarnya tidak ada titik temu.

Kalau kita coba bandingkan gerakan-gerakan itu dengan 1998, sama sekali berbeda. Pada 1998 ada common enemy, yaitu Orde Baru yang tersimpulkan pada personifikasi Presiden Soeharto. Itu musuh bersama. Isunya sama, reformasi. Baru ada mobilisasi massa.

Gerakan 100 hari kemarin, 28 Januari, mobilisasi massa lebih dulu lewat pemanfaatan media, tetapi isu yang diusung terfragmentasi. Itu menyebabkan gerakan semacam ini akan punya daya efektif yang rendah dan tidak akan pernah bisa masif.

Dalam dua unjuk rasa besar yang lalu, kebetulan Presiden tidak ada di Jakarta, tapi malah mengkritik balik. Apakah itu sikap yang tepat dilakukan pemerintah menghadapi unjuk rasa?

Enggak, sebetulnya. Ketika Presiden harus menyikapi hal yang remeh-temeh semacam itu, ia akan dihadapkan pada persoalan remeh-temeh yang ribet sekali. Sedikit saja selip omongan, mudah sekali menjadi amunisi baru bagi lawan-lawan politiknya.

Presiden mestinya punya staf ahli yang memikirkan itu. Bagaimana mungkin Presiden begitu mudah terpancing untuk bereaksi terhadap hal yang remeh-temeh itu. Kalau tim solid dan bagus, hal remeh-temeh itu yang menghadapi tidak harus langsung Presiden, cukup orang-orangnya, apakah menterinya, apakah staf ahlinya.

Termasuk mengurusi koalisi?

Saya kira di mana-mana namanya koalisi itu kan ada kepentingan tertentu, sekalipun ada pakta integritas yang ditandatangani, sekalipun ada jatah yang di sana-sini sudah disepakati. Tapi, yang namanya kekuatan politik itu akan selalu cenderung untuk menegosiasikan lebih dari apa yang sudah didapat.

Cuma tidak boleh ada pembiaran terlalu lama terhadap situasi semacam ini. Saya kira Presiden harus tegas untuk kemudian memberikan batasan-batasan jelas tentang positioning koalisi itu. Hanya dengan cara itu, Presiden akan lebih punya kemungkinan mengoptimalisasi kerja pemerintah. Kalau memang ada kekuatan partai yang tidak bisa diajak kompromi, lepas saja.

Dalam koalisi itu sendiri, apakah dibenarkan jika Presiden mengintervensi partai-partai yang ada di dalam koalisi itu?

Sesuatu yang sangat wajar. Karena itu koalisi dilibatkan, diundang, dan ikut dalam pakta integritas. Bahwa kemudian ada konsolidasi koalisi dari partai yang ada di Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century, tidak mungkin tidak. Tapi, seberapa besar derajat intervensi itu, tentu mereka yang lebih tahu. Format koalisi yang digalang sejak Pilpres 2009 dibandingkan koalisi yang dibangun 2004, saya kira ada yang berbeda.

Koalisi 2004 sangat rentan karena hanya digalang pada level nasional, tidak direduksi ke level daerah. Pada koalisi baru ini ada upaya untuk mereduksi koalisi itu sampai pada tingkat daerah. Ini terkait dengan soal kerja sama dan atau koalisi dalam hal pemilu kepala daerah ataupun penetapan pimpinan partai. Langkah sana-sini di berbagai daerah sudah kelihatan berjalan. Itu bagian dan tidak lepas dari negosiasi dengan Presiden juga.

Golkar itu partai yang dalam tradisi panjang selalu berkepentingan dekat dengan kekuasaan. Begitu juga dengan Partai Amanat Nasional, partai yang sekalipun beberapa kelihatan kritis, tapi tidak bisa jauh-jauh dari kekuasaan. PDI-P pada dasarnya juga tidak bisa berjarak dari kekuasaan, menjadi oposisi kan karena terpaksa. (Nina Susilo dan Dewi Indriastuti)

Sumber : Kompas, Selasa, 16 Februari 2010
-

Arsip Blog

Recent Posts