Gamawan Fauzi: Soal Upah Pungut, Saya Jadi Enggan Mengungkapkan Ide

TELEPON seluler seorang wartawan Tempo berdering setelah majalah ini mengangkat berita tentang upah pungut, Oktober tahun lalu. Sang penelepon adalah Gamawan Fauzi, yang baru saja diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri Kabinet Indonesia Bersatu II. Dengan lugas, Gamawan menyatakan terima kasih atas berita itu dan berjanji akan mengembalikan upah pungut yang diterima kementeriannya sebesar Rp 95 miliar ke kas negara.

Ketegasan dan kejujuran memang menjadi ciri Gamawan sejak dia menjadi Bupati Solok, Sumatera Barat, lima belas tahun lalu. Di kabupaten itu, dia menerapkan prinsip keterbukaan informasi dalam tender pengerjaan proyek pemerintah. Birokrasi pemerintahan dibersihkan dari penyakit korupsi. Lantaran itu, Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award mengganjarnya penghargaan pada 2004.

Tak aneh pula Gamawan merasa tak enak hati bila sepanjang pekan lalu dia dituding bersikap permisif dalam urusan pemberian honor Bank Pembangunan Daerah kepada kepala daerah. Dia merasa masygul lantaran media massa tak membedakan honor dengan fee atau komisi yang jelas dilarang. Dia juga menduga publik mencampuradukkan honor BPD dengan honor untuk musyawarah pimpinan daerah yang sudah jelas diatur dalam keputusan presiden.

Bukan cuma predikat sebagai “orang lurus” yang disandang Gamawan. Dia juga dikenal cerdas dan menempuh karier sebagai pegawai negeri dengan gemilang. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Andalas ini awalnya magang di Lembaga Bantuan Hukum Padang, sebelum menjadi pegawai Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Kemudian, pada 1995, saat masih berusia 38 tahun, dia ditunjuk sebagai Bupati Solok.

Untuk menjelaskan posisinya dalam soal honor dari BPD, Kamis pekan lalu Gamawan menyempatkan datang ke kantor redaksi majalah Tempo. Mengenakan kemeja batik berwarna keemasan, dia juga menjelaskan soal pemekaran daerah dan kedekatannya dengan sejumlah pemimpin negeri ini.

Bagaimana sesungguhnya duduk soal pemberian honor dari Bank Pembangunan Daerah kepada kepala daerah itu?

Berita soal honor ini sudah kacau-balau. Orang tak bisa membedakan honor, rabat, dan komisi. Orang juga mengacaukan antara honor untuk musyawarah pimpinan daerah yang dananya dari APBD dan usul agar BPD memberikan honor kepada kepala daerah. Semasa menjabat Gubernur Sumatera Barat, Gamawan disebut telah mengeluarkan surat yang mengatur pemberian honor untuk kepala daerah. Padahal tak ada itu. Yang benar, itu surat keputusan pengangkatan musyawarah pimpinan daerah dan pembayaran honor mereka dengan dana dari APBD. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1986, pasal 8, dibayar Rp 4,2 juta per orang. Pembayarannya lewat Bank Nagari. Tapi orang berpikir itu honor dari BPD.

Indonesia Corruption Watch melansir Anda menerima Rp 60 juta per bulan?

Saya bilang tolong ralat, jumlahnya Rp 4,2 juta per bulan. Setelah dipotong pajak, setahun menjadi sekitar Rp 60 juta. Tapi semua sudah mengutip Rp 60 juta per bulan. Badan Pemeriksa Keuangan tidak melarang pemberian honor itu. Dan ini tidak cuma berlaku di Sumatera Barat, tapi di seluruh Indonesia, semua kabupaten, kota, dan provinsi.

Lalu bagaimana dengan honor tetap dari BPD untuk kepala daerah?

Saya pernah mengundang diskusi Pak Haryono (Haryono Umar, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi). Ini sebenarnya cuma wacana, bagaimana kalau kita tetapkan honor. Sebagian besar daerah sudah menyetop honor itu sejak 2006 karena ada surat edaran dari Bank Indonesia yang berisi imbauan menghentikan praktek pemberian honor. Sumatera Barat sudah menghentikan pemberian honor. Sejak 2006, saya sudah tak terima lagi.

Apa argumen di balik usul pemberian honor?

Alasannya, pemegang kas daerah bukan hanya BPD, boleh bank pemerintah lain atau bank swasta. Kalau ada bupati atau wali kota yang nakal dan menaruh uang ke bank swasta, lalu dia mendapat under table money, bagaimana KPK dan BPK mengontrolnya? Usul pemberian honor sebetulnya juga datang dari BPD sendiri. Mereka sungkan lantaran kepala daerah datang ke rapat umum pemegang saham tapi tak mendapat apa-apa. Jadi saya usulkan memberikan honor kepada bupati atau wali kota. Jumlahnya Rp 2,5-3 juta.

Apa benar Anda menyetujui pemberian fee?

Saya tidak tahu dari mana sumber berita itu. Sudah jelas fee dilarang, komisi dilarang. Itu haram. Kalau kepala daerah menyimpan uang di bank kemudian mendapat fee, jelas dilarang. Bila pemerintah daerah mendapat bunga dari BPD, itu masuk ke rekening pemerintah daerah, bukan ke rekening kepala daerah.

Bukankah sebagai kuasa pemegang saham di BPD, kepala daerah sudah mendapat gaji?

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, kepala daerah tak boleh lagi menjadi komisaris. Mereka hadir di rapat umum pemegang saham sebagai kuasa pemegang saham dan tidak digaji. Sedangkan gaji direktur BPD Rp 20 juta, belum termasuk 13 fasilitas lainnya.

Bolehkah pemerintah daerah menyimpan uang di bank yang paling menguntungkan?

Boleh. Sesuai dengan aturan, BPD bukan satu-satunya pemegang kas daerah. Tapi, kalau ada pejabat yang nakal, bagaimana kita mengontrol? Taruh uang di bank yang tidak aman boleh juga. Tapi di situ ada duit buat pegawai.

Bukankah mungkin saja bupati mendapat honor dari BPD tapi dia tetap menaruh sebagian uang di bank lain?

Bisa terjadi, tapi secara moral dia sudah terima honor, masak dia taruh di bank lain?

Bila khawatir kepala daerah nakal, penegak hukum tetap bisa memeriksa mereka….

Pengeluaran dana dari swasta tak bisa dikontrol karena dilakukan sembunyi-sembunyi. Bank swasta kan punya semacam anggaran promosi. Dia ambil saja dananya dari situ, tak ada bukti, tak ada tanda terima. Dan ini tak bisa diperiksa siapa-siapa. Kalau BPD, mesti ada lampiran, ada tanda terimanya.

Bukankah sudah bagian dari tugas kepala daerah untuk mewakili pemegang saham di BPD?

Iya, tapi dalam job description, itu tidak termasuk dalam tugas rutin. Maka oleh Menteri Keuangan boleh diberikan honor.

Apa bentuk aturan Menteri Keuangan itu?

Bentuknya saya lupa. Yang jelas, honor itu tidak boleh melebihi lima persen dari total kegiatan. Biasanya tiga persen. Itu dibagi ke seluruh penyelenggara untuk menambah pendapatan pegawai. Gaji saya sebagai gubernur cuma Rp 8,7 juta. Gaji bupati dan wali kota Rp 6,2 juta. Ini bukan kegiatan rutin dan dibolehkan dalam sistem anggaran. Tapi, kalau kegiatan rutin, itu tidak boleh.

Bagaimana dengan surat edaran Bank Indonesia yang melarang pemberian honor?

Larangan itu sebetulnya hanya imbauan dari BI. Bukan hukum. Hanya imbauan dengan berpijak pada Undang-Undang KPK. Karena itu, Pak Haryono bilang akan didiskusikan.

Ide Anda bertabrakan dengan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, yang justru mendukung surat edaran Bank Indonesia. Dia bahkan menyarankan imbauan itu ditingkatkan menjadi undang-undang.

Tidak apa-apa, karena yang penting bagi kita ada kepastian. Jangan pula memakai asas retroaktif. Masak, minta dikembalikan? Uang yang mana yang harus dikembalikan? Honor muspida, misalnya, ada enggak aturan bahwa ini harus dikembalikan? Muspida itu dibentuk dengan keppres tahun 1986. Itu sudah 24 tahun berjalan.

Benarkah soal honor musyawarah pimpinan daerah, Anda pernah diperiksa oleh BPK?

Saya diperiksa oleh BPK 2007/2008. BPK menemukan pemberian honor yang tidak lengkap administrasinya. Kenapa berita acara rapat tidak dibuat? Kenapa daftar hadir rapat tidak dibuat? Karena itu, “Harap Saudara Gubernur menegur sekretaris daerah.” Itu kan biasa dalam administrasi pengawasan. Yang salah yang mengutip audit itu.

Anda juga sudah melakukan klarifikasi dengan BPK?

Auditor BPK Sumatera Barat menjelaskan bahwa pemberitaan media massa tidak relevan dengan substansi temuan BPK tersebut. Rekomendasi BPK tidak pernah menyuruh mengembalikan uang, tapi melengkapi daftar hadir dan notulen rapat. Ini akibat kelalaian staf BPK yang mengelola website mereka karena di sana masih tercantum. Padahal kami sudah melengkapi.

Apakah Anda akan mengkoordinasi urusan pemberian honor dengan Kepala Kepolisian RI dan BPK?

Ini pengalaman berharga buat saya. Saya sekarang jadi enggan mengungkapkan ide-ide. Padahal saya ini penanda tangan pertama pakta integritas. Saya yang pertama mengubah peraturan daerah tentang keterbukaan informasi, menghapus honor daerah, dan menggantinya dengan tunjangan daerah. Sekarang kebijakan saya itu sudah jadi model nasional. Pelayanan satu pintu juga saya yang menggagas dan dua kali saya mendapat penghargaan dari presiden sebagai pelopor.

Bagaimana dengan persoalan upah pungut?

Waktu saya masuk Departemen Dalam Negeri, ada upah pungut Rp 95 miliar. Sudah saya pulangkan ke kas negara. Ada satu surat zaman Pak Mardiyanto yang menyebut penerima upah pungut adalah aparat pelaksana, aparat kepolisian di daerah yang menjadi pelaksana dan penanggung jawab keuangan daerah. Menurut Mahkamah Agung, selagi undang-undang belum diubah, harus dilaksanakan. Ini kan belum ada pencabutan undang-undang. Sekarang sedang saya bicarakan dengan Menteri Keuangan untuk mengubah upah pungut menjadi insentif.

Benarkah Departemen Dalam Negeri bukan penerima upah pungut terbesar?

Ya, ada yang menerima 7,5 persen. Departemen Dalam Negeri hanya 2,5 persen. Sebetulnya upah pungut Rp 95 miliar itu bisa saja dipakai, tapi saya kembalikan.

Kebijakan moratorium pemekaran wilayah bersifat sementara atau permanen?

Dulu, sebelum reformasi, cuma ada 300 kabupaten/kota, sekarang bertambah 205. Kalau dilihat, dalam sembilan tahun ada 205, artinya setiap bulan ada dua daerah baru. Dulu pemekaran itu kan diblok aja. Dihitung per kecamatan, tapi tidak pernah ada koordinat. Bagaimana kalau di salah satu kecamatan ada minyak atau batu bara dan menyinggung daerah kecamatan lain? Ini ribut. Sekarang ada lebih dari 900 segmen masalah perbatasan di Indonesia. Itu antarkabupaten/kota. Selama 100 hari ini saya selesaikan cuma 99 laporan. Kalau 900, itu baru akan selesai pada 2014. Tentu ini harus dibenahi.

Apakah juga dilakukan evaluasi selama masa transisi pemekaran wilayah? Ada wilayah yang sudah menghentikan pelayanan publik di masa transisi….

Sekarang kami sedang melakukan evaluasi, bagaimana perkembangan daerah masing-masing. Penghentian pelayanan publik mestinya tak boleh dilakukan. Orang mengira otonomi itu akan melancarkan semuanya. Sejak 1967 sampai 2001, misalnya, kuasa pertambangan yang dikeluarkan oleh negara cuma 650. Tapi sejak 2001 sampai 2009 sudah 8.000 kuasa pertambangan yang dikeluarkan bupati/wali kota.

Apa semangat di balik pembenahan otonomi?

Harus ada grand design-nya. Karena itu, harus ada revisi undang-undang. Saya sedang menyiapkan perubahan tiga undang-undang: pemerintahan daerah, pemerintahan desa, dan pemilu kepala daerah. Supaya tidak ada bottlenecking. Kendati luas, kewenangan kabupaten/kota itu tetap harus ada kontrol.

Ada usul agar gubernur tak perlu dipilih tapi ditunjuk oleh pemerintah pusat?

Ada tiga pilihan. Ada yang mengusulkan jadi semacam menteri wilayah saja. Pasti takut bupati/wali kota karena menteri wilayah diberi kewenangan mewakili presiden di daerah, diberi kuasa sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Kedua, dia dipilih oleh DPRD. Tapi, sebelum dipilih, diminta persetujuan presiden, supaya terkait dengan presiden. Jadi dia menjalankan setengah otonomi, setengah terpusat. Ide ketiga tetap seperti ini dengan segala risikonya.

Anda dulu menjadi gubernur berkat dukungan PDI Perjuangan. Setelah menjadi menteri SBY, bagaimana hubungan dengan partai itu?

Saya sebetulnya kan pegawai negeri, bukan politikus. Dulu, waktu saya mencalonkan diri menjadi gubernur, tidak ada tumpangan. Lalu saya diminta pakai saja PDI Perjuangan. Saya ketemu Bu Mega dan Pak Taufiq. Saya juga diminta sebagai Gamawan Fauzi ketika membacakan endorsement untuk pencalonan SBY-Boediono di Bandung. Perlu diingat, saya juga dekat dengan Pak Jusuf Kalla. Saya sering makan siang dengan beliau karena beliau kan urang sumando Padang. Dengan Bu Mega juga dekat. Waktu mencalonkan diri menjadi gubernur, saya diberi uang oleh Pak Taufiq.

Bagaimana ihwal kedekatan Anda dengan SBY?

Selama saya menjadi gubernur, beliau delapan kali datang ke Sumatera Barat. Beliau pernah tidur dua malam di kediaman saya. Beliau juga mengadakan perundingan bilateral Indonesia-Malaysia di Bukit Tinggi. Kemudian beliau sering mengundang saya ke Istana. Saya diajak berdiskusi tentang otonomi daerah atau bantuan langsung tunai.

Gamawan Fauzi Datuk Rajo Nan Sati

Tempat dan tanggal lahir: Solok, 9 November 1957

Pendidikan: Magister Manajemen dan Sarjana Hukum Universitas Andalas, Padang

Pekerjaan: Menteri Dalam Negeri Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-sekarang), Gubernur Sumatera Barat (2005-2009), Bupati Solok (1995-2005), Kepala Biro Hubungan Masyarakat Pemerintah Sumatera Barat.

Sumber : Majalah Tempo, Selasa, 9 Februari 2010
-

Arsip Blog

Recent Posts