Pekanbaru, Riau - Keberadaan budaya melayu semakin hari semakin memprihatinkan. Dimana, beberapa identitas bangsa melayu mulai redup ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Provinsi Riau. Di negara tetangga seperti Malaysia juga mengalami hal yang sama.
Permasalahan krisis identitas bangsa melayu ini terungkap dalam dialog interaktif antar bangsa mahasiswa Kolej University Islam Melaka (KUIM) dan tokoh melayu Riau di Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Selasa (10/6/2014).
Sebanyak 10 mahasiswa KUIM datang bersama DR. H. Baharudin bin H. Putih selaku dosen pembimbing. Baharudin menjelaskan, mahasiswa dari KUIM ingin mendalami bagaimana kehidupan dan seluk beluk budaya melayu di Riau. Mengingat, Riau dan Malaysia merupakan rumpun melayu yang tak dapat dipisahkan.
"Kami ingin tahu bagaimana peranan LAMR dalam menjaga dan melestarikan budaya melayu dalam kehidupan masyarakatnya," ujar Baharudin.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian (DPH) LAMR, Al Azhar menjelaskan LAMR merupakan sebuah organisasi yang punya tanggungjawab besar untuk menjaga dan melestarikan budaya melayu. "LAMR sudah berdiri sejak 6 Juni 1970 dan sekarang sudah menginjak usia 44 tahun. Tugas berat dalam menjaga budaya melayu ada di sini," katanya.
"Kalau di Malaysia, ada semboyan 'tak akan melayu hilang di dunia' kalau di Riau, 'tak kan melayu hilang di bumi'," ulas Al Azhar. Dari semboyan ini, kata Al Azhar, sudah menjadi tanggungjawab LAMR dalam membumikan nilai-nilai, norma-norma dan adat istiadat melayu di tengah-tengah masyarakat.
Senada itu, Ketua Majelis Kerapatan Adat (MKA) LAMR, H. Tennas Effendy menjelaskan bagaimana keanekaragaman budaya melayu yang ada di Riau. Dimana, dalam setiap kabupaten memiliki kebudayaan berbeda. Keberadaan LAMR dibantu oleh LAMR ditingkat kabupaten tersebut. "Di setiap kabupaten, ada LAMR-nya yang terus menjaga nilai-nilai budaya masing-masing," jelasnya.
Walau begitu, beberapa nilai-nilai kemelayuan sudah mulai memudar seiring perkembangan dunia barat. Dunia barat mencoba menghilangkan setiap kebudayaan bangsa melayu dengan memasukkan budaya mereka. "Dari segala aspek, mereka mencoba masuk dan merasuki setiap generasi muda melayu," katanya.
"Setelah kemerdekaan, banyak pemuda-pemuda Indonesia yang belajar ke Eropa. Dalam beberapa tahun, mereka lebih banyak menggali perkembangan teknologi. Sementara, nilai-nilai kebangsaan melayu tak sempat mereka pelajari," urai Tennas.
Diceritakan Tennas, terkikisnya budaya melayu tidak hanya di Indonesia. Ia pernah beberapa kali berkunjung ke Malaysia dalam rangka menghadiri pesta pernikahan. Ternyata, hanya beberapa orang saja yang mengenakan pakaian melayu. "Mereka merasa kuno dengan pakaian melayu. Padahal, ini identitas orang melayu," katanya.
Diskusi tentang keberadaan bangsa melayu semakin menarik ketika Miesha, salah seorang mahasiswa KUIM menanyakan huruf arab melayu (jawi) yang saat ini mulai tidak dikenal generasi muda. "Bagaimana di Indonesia. Upaya seperti apa yang dilakukan supaya tulisan ini tetap bertahan," tanya Miesha.
Menanggapi hal itu, Al Azhar menjelaskan sejak tahun 1980 hingga tahun 2000-an, kurikulum pendidikan di Indonesia mewajibkan pelajaran Arab Melayu hingga ke bangku SMA. Namun, dalam kurikulum selanjutnya pelajaran Arab Melayu dimasukkan ke pelajaran Muatan Lokal.
"Dimana, pihak sekolah diberi kewenangan untuk menentukan apa saja isi dari Muatan Lokal dan ada juga sekolah yang tak mengajarkan lagi. Mereka menilai, pelajaran itu tidak terlalu penting," katanya.
Walau demikian, LAMR berupaya agar tulisan arab melayu ini tetap ada. Caranya, dengan menulis nama-nama jalan dengan huruf arab melayu. "Nama jalan itu, huruf latin digandengkan dengan huruf arab melayu," katanya.
"Selain itu, di perguruan tinggi yang ada di Riau juga diajarkan mengenai budaya melayu. Wawasan budaya melayu menjadi mata kuliah wajib," jelas Al Azhar.
Al Azhar menyoroti kondisi masyarakat melayu saat ini. Dimana, sudah sangat banyak terpengaruh budaya asing. Sebagian orang menganggap, semakin jauh dari identitas dirinya, dia semakin maju. "Dari cara berpakaian saja, itu kelihatan. Mereka mengaku sangat modern ketika memakai yang serba mini," katanya.
"Semua orang ingin modern dan dalam benaknya sudah tertanam yang modern itu seperti bangsa eropa," ulasnya. Padahal, modern tidak harus meninggalkan jati diri bangsa melayu.
Sumber: http://www.goriau.com