Kali ini seorang bupati dari Sulawesi Selatan (Sulsel) menyatakan dalam persidangan di pengadilan bahwa korupsi yang dituduhkan kepadanya adalah untuk memenuhi perintah memenangkan Golkar dalam Pemilu 1997.SEPERTI makan buah simalakama. Mantan Bupati Maros, Nasrun Amrullah (48), benar-benar berada di persimpangan pilihan jalan yang sama-sama tidak mengenakkan: manut atau menolak permintaan Golkar. Manut, dia akan berhadapan dengan demonstrasi mahasiswa dan ujung-ujungnya, jabatan empuk itu dicopot. Menolak, ancamannya jelas. Dipecat.
Inilah posisi yang kira-kira menggambarkan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) Nasrun yang geger di Makassar, Sulsel, pada Agustus 1998.
Nasrun terungkap korupsi diawali dengan protes mahasiswa dan kelompok masyarakat Kabupaten Maros yang tergabung dalam Majelis Amanat Rakyat Maros. Investigasi majelis itu memperlihatkan sejak dilantik sebagai bupati pada 13 September 1994, Nasrun dicurigai melakukan praktik KKN. Bukti-buktinya antara lain tiga rumah mewah di Makassar, mobil mahal jip Mitsubishi Pajero, sedan Mercedes Benz E190 Automatic, dan jeep Chrysler Cherokee.
Kejaksaan Tinggi Sulsel lalu membentuk tim khusus untuk mengusut kekayaan Nasrun yang pernah dianggap sebagai bupati terkaya di wilayah provinsi itu. Awal Agustus 1998 Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel HM Gagoek Soebagyanto mengumumkan secara resmi, Nasrun Amrullah dinyatakan sebagai tersangka kasus korupsi Rp 1,4 milyar dalam kasus-kasus: pembangunan pasar, pembangunan terminal angkutan darat Maros, anggaran dana proyek, dan uang Badan Amal Zakat, Infaq dan Shadaqah (Bazis) haji yang tidak disetor ke Pemda Tingkat I.
Tak hanya itu. Dana Proyek Peningkatan Pembangunan Desa Tertinggal pun, menurut Gagoek, dikorupsi oleh Nasrun. Sebelum proses pemeriksaan dimulai, kejaksaan telah menyita salinan cek dari pemborong, uang Rp 87,3 juta dari Bazis haji. Pada saat itu Nasrun hanya bisa berkomentar, "Biarkan semuanya berjalan sesuai dengan mekanisme."
Meski Nasrun sudah menjadi tersangka kasus korupsi, kejaksaan belum bisa langsung memeriksanya. Rupanya Gubernur Sulsel HZB Palaguna bersikeras menunggu Surat Keputusan (SK) dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk membebastugaskan Bupati Maros supaya pemeriksaan berjalan lancar.
SK Mendagri itu sebetulnya tidak perlu ditunggu sebab, menurut Gagoek, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, pemeriksaan pemimpin wilayah di bawah gubernur cukup dilakukan dengan izin atasan langsung yang bersangkutan.
Ketika mengakhiri masa jabatannya sebagai bupati pada pertengahan tahun 1998, Nasrun masih bikin cerita. Ia mencopot sendiri tanda jabatan dari pakaian dinasnya untuk kemudian diserahkan ke kantor gubernur. Berdasarkan SK Mendagri Nomor 131.53-667 tanggal 10 Agustus 1998, jabatan Nasrun kemudian dialihkan kepada gubernur. Namun, dengan alasan sibuk, jabatan itu diserahkan kepada Pembantu Gubernur Mirdin Kasim SH sebagai pelaksana tugas harian.
Pengalihan jabatan ini, menurut Palaguna, bukan untuk mendiskreditkan seseorang, tetapi untuk memenuhi ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. "Pembebastugasan Nasrun sebagai bupati hanya bersifat sementara, selama proses pemeriksaan berlangsung," katanya. "Apa yang dialami Nasrun sudah dipandang sebagai suatu hukuman. Kita hendaknya tetap berpegang teguh dan menjunjung asas praduga tak bersalah."
***
NASRUN menerima surat panggilan pemeriksaan dari Kejaksaan Tinggi Sulsel dan pemeriksaannya dimulai tanggal 24 Agustus 1998. Sidang digelar di Pengadilan Negeri Maros pada 26 Desember 1998. Dalam dakwaan, tim jaksa penuntut umum yang terdiri dari Sukawati, Syam Kalahang, John Parindingan, Aminah Asri, dan Suriana Sufri menuduh Nasrun korupsi menerima uang saat pembangunan kantor bupati dan pembebasan tanah terminal, yang masing-masing bernilai Rp 200 juta, serta pematangan tanah terminal sebesar Rp 250 juta. Padahal, sudah tersedia dana APBD untuk proyek-proyek tersebut.
Nasrun didakwa pula memungut uang Bazis sebanyak Rp 320.125 untuk tiap orang yang menunaikan ibadah haji pada musim haji 1996/1997. Seluruhnya berjumlah Rp 372 juta, tetapi yang Rp 335 juta masuk ke rekening pribadi Nasrun. Ia pun didakwa memaksa para kontraktor memberi upeti kepadanya. Menurut jaksa, Nasrun telah melakukan korupsi seluruhnya sebesar Rp 987,45 juta.
"Itu hanya fitnah belaka," kata Nasrun menanggapi.
Dalam persidangan, Nasrun menolak tuduhan korupsi dengan alasan, dana dari kontraktor merupakan bagian kebijaksanaannya selaku bupati untuk mempercepat proses pembangunan karena dana dari APBD belum tersedia. Dana yang berkaitan dengan pembebasan tanah sebesar Rp 200 juta telah dibayar kembali. Dana pematangan lokasi pembangunan terminal sudah dikompensasikan, katanya, dengan pembangunan ruko di areal terminal itu.
Lalu, pungutan 10 persen dari para kontraktor, untuk apa? "Ini bagian dari anjuran untuk mengamankan Golkar dalam Pemilu 1997," kata Nasrun. Pungutan berjumlah lebih dari Rp 430 juta itu antara lain digunakan untuk membeli baju kaus Golkar serta beberapa kegiatan lain untuk kesuksesan Golkar. "Para kontraktor itu kader Golkar dan itu semata-mata untuk memenangkan Golkar pada Pemilu 1997," katanya.
***
TANGGAL 15 Juni 1999 Nasrun oleh pengadilan dinyatakan terbukti korupsi dengan vonis dua tahun penjara, denda sebesar Rp 20 juta, atau subsider tiga bulan kurungan. Putusan itu jauh lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa tujuh tahun penjara, denda Rp 25 juta, dan mewajibkan Nasrun mengembalikan uang negara sebesar Rp 725 juta.
Majelis hakim juga memerintahkan Nasrun mengembalikan uang negara sebesar Rp 612.359.026 juta. Sementara barang bukti berupa rumah mewah senilai Rp 1,5 milyar di Jalan Pangerang Pettarani dikembalikan kepada Nasrun sedangkan mobil mewah Pajero dikembalikan kepada PT Bosowa Motor Berlian. Uang tunai sebesar Rp 87,3 juta dikembalikan kepada Bazis Maros.
Nasrun menyatakan banding dan mengaku, "Saya merasa tidak bersalah. Saya tidak terima. Putusan ini tidak adil. Saya banding."
Sejak vonis itu bekas Bupati Maros ini menjadi tahanan rumah di rumah mewahnya yang terletak di bilangan Pettarani. Tahanan rumah ini sampai perkara bandingnya disidangkan. Sekali lagi, setelah vonis, Nasrun masih menyatakan apa yang dilakukannya dengan uang-uang yang bukan haknya "sekadar memenuhi perintah untuk memenangkan Golkar." (p12)
Sumber : KOMPAS - Minggu, 17 Maret 2002