Solo, Jateng - Delapan negara Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara plus Tiongkok menggelar Kolaborasi Seni Pertunjukan Wayang Tradisional ASEAN-Tiongkok, di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, 15-18 September 2014. Kolaborasi ini diharapkan memunculkan satu identitas baru wayang ASEAN yang berakar dari budaya tradisional negara masing-masing.
Delapan negara ASEAN, meliputi Indonesia, Brunei, Kamboja, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, berpartisipasi dalam acara itu. Sementara Malaysia, Laos, dan Timor Leste tidak berpartisipasi. Selain memperkenalkan wayang mereka dalam pertunjukan, para delegasi juga berbagi informasi dan pengalaman seputar wayang.
Program ini diprakarsai oleh Indonesia dan merupakan kelanjutan program kolaborasi sendratari Ramayana ASEAN-India tahun lalu.
”Dalam keberagaman itu ada persamaan, tanpa melenyapkan identitas budaya negara masing- masing,” ujar Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kacung Marijan.
Kolaborasi pertunjukan wayang ini memang tidak secara utuh karena cerita dan bentuk serta jenis wayangnya pun berbeda. Setiap negara menampilkan karyanya, lantas tim dari Indonesia menjembatani cerita melalui musik dan gerak wayang. Memang ceritanya menjadi tidak terlalu berkaitan, tetapi jembatan cerita itu dimaknai sebagai simbol persahabatan.
”Bisa saja muncul bentuk baru dari sini karena semua negara di ASEAN memiliki wayang dengan filosofi masing-masing. Ceritanya pun ada persamaan, misalnya cerita Ramayana. Kita saling memengaruhi,” tutur Kacung.
Ketua Umum Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia Suparmin Sunjoyo mengatakan, budaya wayang ternyata dimiliki negara-negara ASEAN. Kisah Ramayana dan Mahabarata, misalnya, juga dikenal di Thailand dan Kamboja. Wayang air di Vietnam menceritakan tentang kehidupan petani dan lingkungan, mirip dengan wayang padi di Solo, yang sangat lokalistik.
”Kolaborasi ini juga upaya untuk menggelorakan wayang, baik nasional maupun regional. Brunei dulu pernah ada, tetapi hilang dan sekarang digalakkan lagi. Kolaborasi ini merupakan upaya promosi dan pelestarian (perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan),” ungkap Suparmin, yang menjadi Sekretaris Jenderal Asosiasi Wayang ASEAN, asosiasi yang dibentuk pada 2006.
Ketua delegasi Brunei, Pangeran Zainin bin Pangeran Mansor, membenarkan perihal gairah wayang yang sekarang digalakkan lagi di Brunei. Di Brunei dikenal asik, sejenis wayang yang populer di Kampung Ayer, di Sungai Brunei, sejak tahun 1960. Bentuk wayangnya kecil, seukuran bungkus rokok. ”Biasanya kami memadukan wayang ini dengan acara mendongeng yang diputar di radio-radio,” katanya.
Tradisi dan Kontemporer
Selalu terjadi tarik-menarik antara mempertahankan tradisi dan mengembangkan bentuk baru yang kontemporer, termasuk dalam wayang. Wayang di Indonesia sudah menjadi warisan dunia tak benda yang diakui Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sehingga Indonesia berkewajiban untuk melestarikannya. Akan tetapi, bentuk dan penyajian wayang bisa berkembang.
Dalang Ki Manteb Sudarsono mengatakan, wayang kontemporer dan wayang tradisi agar sama-sama maju. Wayang tradisi tetap dipelihara, sementara wayang kontemporer silakan unjuk diri. ”Agar kaya. Kan, sudah ada wayang suket, wayang padi. Yang penting wayang itu laku. Kalau enggak laku, ya, tidak ada gunanya. Laku di sini artinya disukai, dipertunjukkan,” paparnya.
Soal cerita pun tidak kaku. Cerita wayang Jawa bisa dikolaborasi dengan wayang negara lain. ”Misalnya, apa yang bisa mencari jati diri itu hanya Bima, Arjuna, ya, boleh saja. Seperti ada cerita Rahwana Putih, boleh saja, kan, melihat Rahwana dari sisi yang berbeda. Rahwana itu tidak mau memerkosa lho,” kata Manteb.
Bagi Manteb, pakem itu bukan sesuatu yang kaku dalam pengemasan. Selalu ada ruang kreativitas di dalamnya. ”Pakem itu apa, sih? Saya sendiri enggak ngerti, he-he-he. Misalnya, lima tambah lima, kan, sepuluh, tetapi sepuluh, kan, bisa tujuh tambah tiga. Semacam itulah,” ujarnya.
Delegasi dari Tiongkok, Shandan Tong, mengatakan, pertunjukan wayang di Tiongkok memadukan tradisi dan modernitas, mulai dari karakter wayang, cerita, hingga kemasannya. Ia mencontohkan kisah The Execution of The Judge of the Hell, pertunjukan wayang yang digelar pada Agustus lalu di Beijing.
Sumber: http://travel.kompas.com