Banjarbaru - Sebuah perahu khas masyarakat suku Banjar Provinsi Kalimantan Selatan yang dikenal dengan sebutan perahu tambangan menambah koleksi Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru.
"Perahu Tambangan itu akan disimpan dan menjadi koleksi Museum Lambung Mangkurat sekaligus ditetapkan sebagai benda cagar budaya," ujar Kepala Museum Lambung Mangkurat Tri Prasetya Krasna di Banjarbaru, Selasa.
Menurut dia, perahu berbahan kayu ulin itu pertama kali ditemukan dua penyelam tradisional di Desa Baulin RT 3 RW 2 Margasari Kecamatan Candi Laras Selatan, Kabupaten Tapin, yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Kota Banjarmasin pada Juni 2009.
Dari hasil identifikasi, kata dia, perahu yang biasa digunakan sebagai sarana transportasi sungai itu memiliki panjang 12,40 meter, lebar 1,34 meter, dalam 59 centimeter dan jumlah apak atau sangkar 17 buah.
Saat ditemukan pertama kali di Sungai Saka Raden, anak sungai Nagara di Desa Baulin Margasari, benda cagar budaya itu, 80 persen dalam kondisi baik tetapi tanpa atap lunar dan bagian badan perahu rusak serta sampung belakang (buritan) perahu mengalami pelapukan (soiling).
"Posisinya teronggok di dasar sungai dan tertutup lumpur sedalam 1,5 meter dengan posisi miring dan bagian belakang atau buritan perahu mencuat keatas," ujar Tri Prasetya didampingi Pamong Budaya Ahli, Dwi Putro Sulaksono.
Dwi Putro menambahkan, perahu yang dibuat dengan teknik pertukangan, ukir kayu dan pahat itu, diperkirakan memiliki langgam budaya masa klasik Hindu - Budha atau klasik Islam.
"Namun langgam budaya itu masih berupa perkiraan dan belum bisa dipastikan sebelum analisa Dating (perkiraan angka tahun) yang dilakukan Balai Arkeologi Kalimantan melalui uji lab dengan metode Carbon dan Potasium Argon," ungkapnya.
Ia mengatakan, motif ukiran berupa bunga yang tercetak di badan perahu diperkirakan berasal dari luar tetapi ada kedekatan dengan motif sejumlah candi zaman Hindu - Budha yang ada di Kecamatan Candi Laras.
"Namun, sekali lagi, untuk menentukan langgam budaya masih memerlukan penelitian lebih lanjut baik melalui uji lab maupun penelitian melalui teknik pembuatan, fungsi dan bahan yang digunakan," ujar anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) ini.
Sementara itu, proses pengangkutan benda cagar budaya dari lokasi awal penemuan hingga ke Museum Lambung Mangkurat, Selasa siang, berlangsung cukup berat karena dibawa melalui jalur sungai dengan cara didorong perahu bermesin melintasi beberapa sungai yakni Sungai Nagara, Sungai Barito, Sungai Andai hingga Sungai Martapura.
Sesampai di dermaga Desa Pekauman Ulu di tepi Sungai Martapura, cagar budaya itu dinaikkan ke darat dan diletakkan di atas mobil tronton selanjutnya dibawa ke Museum Lambung Mangkurat yang berjarak sekitar 20 kilometer dari dermaga itu.
"Perahu itu akan disimpan di tempat khusus koleksi perahu sambil menunggu kejelasan data dan latar belakang budaya dari penelitian Balai Arkeologi," kata Tri Prasetya.
Ia menambahkan cagar budaya itu bakal menambah koleksi perahu yang sudah ada di museum yakni Perahu Pandan Liris, Perahu Tambangan dan Jukung Sudur. (JY)
Sumber: http://oase.kompas.com
"Perahu Tambangan itu akan disimpan dan menjadi koleksi Museum Lambung Mangkurat sekaligus ditetapkan sebagai benda cagar budaya," ujar Kepala Museum Lambung Mangkurat Tri Prasetya Krasna di Banjarbaru, Selasa.
Menurut dia, perahu berbahan kayu ulin itu pertama kali ditemukan dua penyelam tradisional di Desa Baulin RT 3 RW 2 Margasari Kecamatan Candi Laras Selatan, Kabupaten Tapin, yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Kota Banjarmasin pada Juni 2009.
Dari hasil identifikasi, kata dia, perahu yang biasa digunakan sebagai sarana transportasi sungai itu memiliki panjang 12,40 meter, lebar 1,34 meter, dalam 59 centimeter dan jumlah apak atau sangkar 17 buah.
Saat ditemukan pertama kali di Sungai Saka Raden, anak sungai Nagara di Desa Baulin Margasari, benda cagar budaya itu, 80 persen dalam kondisi baik tetapi tanpa atap lunar dan bagian badan perahu rusak serta sampung belakang (buritan) perahu mengalami pelapukan (soiling).
"Posisinya teronggok di dasar sungai dan tertutup lumpur sedalam 1,5 meter dengan posisi miring dan bagian belakang atau buritan perahu mencuat keatas," ujar Tri Prasetya didampingi Pamong Budaya Ahli, Dwi Putro Sulaksono.
Dwi Putro menambahkan, perahu yang dibuat dengan teknik pertukangan, ukir kayu dan pahat itu, diperkirakan memiliki langgam budaya masa klasik Hindu - Budha atau klasik Islam.
"Namun langgam budaya itu masih berupa perkiraan dan belum bisa dipastikan sebelum analisa Dating (perkiraan angka tahun) yang dilakukan Balai Arkeologi Kalimantan melalui uji lab dengan metode Carbon dan Potasium Argon," ungkapnya.
Ia mengatakan, motif ukiran berupa bunga yang tercetak di badan perahu diperkirakan berasal dari luar tetapi ada kedekatan dengan motif sejumlah candi zaman Hindu - Budha yang ada di Kecamatan Candi Laras.
"Namun, sekali lagi, untuk menentukan langgam budaya masih memerlukan penelitian lebih lanjut baik melalui uji lab maupun penelitian melalui teknik pembuatan, fungsi dan bahan yang digunakan," ujar anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) ini.
Sementara itu, proses pengangkutan benda cagar budaya dari lokasi awal penemuan hingga ke Museum Lambung Mangkurat, Selasa siang, berlangsung cukup berat karena dibawa melalui jalur sungai dengan cara didorong perahu bermesin melintasi beberapa sungai yakni Sungai Nagara, Sungai Barito, Sungai Andai hingga Sungai Martapura.
Sesampai di dermaga Desa Pekauman Ulu di tepi Sungai Martapura, cagar budaya itu dinaikkan ke darat dan diletakkan di atas mobil tronton selanjutnya dibawa ke Museum Lambung Mangkurat yang berjarak sekitar 20 kilometer dari dermaga itu.
"Perahu itu akan disimpan di tempat khusus koleksi perahu sambil menunggu kejelasan data dan latar belakang budaya dari penelitian Balai Arkeologi," kata Tri Prasetya.
Ia menambahkan cagar budaya itu bakal menambah koleksi perahu yang sudah ada di museum yakni Perahu Pandan Liris, Perahu Tambangan dan Jukung Sudur. (JY)
Sumber: http://oase.kompas.com