Sisa Kerajaan di Ujung Timur Bali

Oleh Arya Sadhewa

Sebelum tahun 1908 Kabupaten Karangasem merupakan wilayah kerajaan di bawah kekuasaan raja-raja. Tercatat raja yang terakhir sampai tahun 1908 adalah Ida Anak Agung Gde Djelantik yang membawahi 21 Punggawa, yaitu Karangasem, Seraya, Bugbug, Ababi, Abang, Culik, Kubu, Tianyar, Pesedahan, Manggis, Antiga, Ulakan, Bebandem, Sibetan, Pesangkan, Selat, Muncan, Rendang, Besakih, Sidemen dan Talibeng.

Menurut Pebancangah Babad Dalem, bahwa semenjak bertahta Raja I Dewa Karang Amla, Wilayah Kota Amlapura ini disebut Desa Batuaya. Kemudian tahta berganti sampai masa raja Ida Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem, yang istananya di Puri Amlaraja, pada saat itu sebutan Karangasem sudah dipakai, yang dalam hal ini dikukuhkan oleh Piagam Pura Bukit.

Dengan bertahtanya Raja Anak Agung Gde Putu dan Anak Agung Gde Oka, Awig-Awig Desa Batuaya diubah menjadi Awig-Awig Amlapura. Kemudian dibawah pemerintahan Anak Agung Gde Jelantik, sebutan Wilayah Kota Amlapura ini kembali disebut Karangasem sebagai suatu pusat pemerintahan.

Dengan Keputusan Mentri Dalam Negeri (Mendagri) tertanggal 28 November 1970 No. 284 tahun 1970, terhitung mulai tanggal 17 Agustus 1970, Ibu Kota Karangasem diubah menjadi Amlapura, kembali sebagai nama Kerajaan Karangasem yang bertahta di Kota Karang Amla (Amla berarti Asem).

Pada saat itu semenjak terjadi penyerahan kekuasaan kerajaan Karangasem dari pemegang tampuk kekuasaan Raja Batuaya kepada pihak Puri Karangasem, merupakan masa peralihan dari sistim kerajaan kepada sistem Pemerintahan Republik, dimana wilayah Kota Amlapura sekarang bernama Amlanegantun.

Mula-mula Ibu Kota Karangasem masih berpusat dengan nama Karangasem pula. Mengingat beberapa Kabupaten di Bali sudah memiliki Ibu Kota seperti Buleleng dengan Kota Singaraja - Singa Ambararaja, Jembrana dengan Kota Negara, Badung dengan Ibu Kota Denpasar, maka dicarilah upaya untuk mencari nama terbaik Ibu Kota Karangasem.

Anak Agung Gde Karang yang menjadi Bupati saat itu berkonsultasi dengan Ketua DPRD Ida Wayan Pidada, hingga menemukan nama Amlepure (Amlapura) yang artinya, Amla berarti buah-buahan, sebagaimana layaknya daerah Karangasem yang memiliki potensi buah-buahan yang sangat beragam, buah apapun yang ada di Bali di Karangasem pun ada. Dari asal nama wilayah Amlanegantun dan sebagai pusat buah-buahan yang beragam, maka lahirlah nama Amlapura, yang berasal dari kata Pura artinya tempat dan Amla artinya buah.

Nama Amlapura akhirnya diresmikan sebagai Ibu Kota Kabupaten Karangasem dengan turunnya Kep. Mendagri tanggal 28 November 1970 No. 284 tahun 1970, dan terhitung mulai tanggal 17 Agustus 1970, Kota Karangasem sebagai Ibu Kota Dati II diubah menjadi Amlapura, bersamaan dengan Upacara Pembukaan Selubung Monumen Lambang Daerah, oleh Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) XV Bali, sebagai panji kebanggaan Kabupaten Karangasem di Lapangan Tanah Aron.

Dan yang menggembirakan saat itu Kabupaten Karangasem menerima penghargaan Sertifikat dan Tropy Patung dan hadiah berupa uang Rp. 200,00 sebagai Kabupaten Terbersih di Bali. Kini Karangasem pada peringatan HUT Kota Amlapura ke-39 juga menjadi Kota Terbersih tidak hanya se-Provinsi Bali tetapi se-Indonesia dengan meraih Trophy Adipura.

Lambang Daerah diambil dari simbol Gunung Agung yang mengepulkan asap dengan membentuk Pulau Bali dengan Tugu Pahlawan di tengah, dikelilingi padi dan kapas menandakan simbol kemakmuran Gunung Agung dengan Pura Besakih sebagai pusat ritual umat Hindu serta memiliki sejarah sebagai daerah perjuangan, murah sandang pangan, gemah ripah loh jinawi berkat lahar Gunung Agung. Sedangkan garis merah merupakan simbol Karangasem ngemong Pura Kiduling Kreteg di Besakih.

Sedangkan Taman Tirtagangga, salah satu obyek wisata terletak di Desa Ababi, Kecamatan Abang. Jaraknya sekitar 5 km ke arah utara dari Kota Amlapura (ibu kota kabupaten) yang dibangun pada tahun 1948 oleh Raja Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem.

Sebelum dibangun, taman ini merupakan areal mata air besar dan masyarakat menyebutnya dengan embukan, artinya mata air. Mata air ini difungsikan oleh penduduk dari desa-desa sekitarnya sebagai tempat mencari air minum dan tempat pesiraman atau penyucian Ida Betara (para dewa), oleh karena itu mata air itu disakralkan oleh penduduk setempat.

Dari mata air inilah kemudian Raja Karangasem mendapat ide untuk membangun sebuah taman terlebih karena alamnya didukung oleh udara yang sejuk, yang kemudian diberi nama Taman Tirtagangga. Sama halnya dengan Tama Soekasada Ujung, maka Tama Tirtagangga memiliki keterikatan kuat dengan Puri Agung Karangasem.

Dalam areal Taman Tirtagangga terdapat beberapa kolam besar yang difungsikan sebagai kolam ikan dan tempat permandian. Air yang mengalir melalui pancuran-pancuran besar dan kecil yang keluar dari mulut patung-patung di kolam ini berasal dari sumber mata air sehingga terasa sejuk dan menyegarkan. Di tempat ini terdapat menara air mancur dan patung teratai bertingkat yang membagi dua buah kolam besar.

Pada masa kini Taman Tirtagangga berfungsi secara religius, sosial, dan juga sebagai hiburan. Secara religius, mata air di tempat tersebut dimanfaatkan sebagai air suci bagi masyarakat sekitarnya di samping sebagai tempat untuk upacara Dewa Yadnya dan Metirtayatra.

Secara sosial, sumber mata air Tirtagangga dimanfaatkan oleh pemerintah daerah sebagai sumber air bersih bagi masyarakat Karangasem. Dan sebagai hiburan, Taman Tirtagangga dikelola dan dikembangkan sebagai salah satu obyek dan daya tarik wisata yang banyak diminati serta dikunjungi sebagai tempat rekreasi.

Jemeluk-Amed berkembang sebagai salah satu obyek wisata bahari dan merupakan primadona bagi wisatawan mancanegara dan nusantara. Terletak di Desa Purwakerti, Kecamatan Abang, berjarak sekitar 19 km dari Kota Amlapura (ibukota kabupaten), 12 km dari Tulamben, 33 km dari obyek wisata Candidasa, dan ±78 km dari Kota Denpasar. Obyek wisata ini termasuk dalam pengembangan kawasan pariwisata Tulamben.

Daya tarik utama obyek wisata ini adalah panorama alam bawah laut yang menyimpan potensi keindahan terumbu karang dengan beraneka ragam jenis ikan hias. Keberadaan terumbu karang yang masih asli tetap diupayakan pelestariannya dengan kehidupan nelayan dan aktivitas pembuatan garam tradisional oleh masyarakat setempat juga menjadi daya tarik tersendiri.

Dari obyek wisata Amed kita dapat mencapai obyek wisata Taman Soekasada Ujung dengan jarak tempuh sekitar 1,5 jam lamanya melalui jalur lintas timur dengan melewati bibir tebing ujung timur Pulau Bali yang memiliki pemandangan eksotis di sepanjang perjalanan. Pemandangan laut lepas dengan jejeran puluhan perahu atau jukung nelayan menjadi daya tarik yang tidak akan terlupakan dengan paduan panorama perbukitan. Di tempat ini banyak dibangun vila dan akomodasi hotel serta penginapan lainnya yang menawarkan fasilitas beragam.

-

Arsip Blog

Recent Posts