Bahasa Madura dan Dunia Santri: Negosiasi yang Belum Selesai

Oleh Jamal D. Rahman

Kongres I Bahasa Madura (di Pamekasan, Madura, 15-19 Desember 2008) adalah kabar gembira sekaligus kabar duka. Kabar gembira, karena Kongres ini adalah salah satu usaha menjunjung dan memajukan bahasa Madura, bahasa etnis terbesar ketiga di Indonesia setelah bahasa Jawa dan Sunda —mudah-mudahan ia melahirkan langkah-langkah lebih konkret ke arah tujuan yang ingin dicapai oleh Kongres itu sendiri. Kabar duka, karena Kongres tersebut bukan saja membenarkan apa yang diresahkan atau diprihatinkan banyak pihak tentang nasib bahasa Madura hari ini, melainkan juga sebuah bukti langsung tentang itu. Yaitu bahwa bahasa Madura mengalami kemunduran baik dari segi populasi pengguna maupun fungsi komunikasi dan sosialnya, yang karenanya dalam jangka panjang terancam punah.

Kongres I Bahasa Madura mengandung sebuah kontradiksi internal: ia bermaksud menjunjung bahasa Madura tetapi justru dengan mensubordinasi bahasa Madura itu sendiri. Bahwa Kongres ini menggunakan bahasa Indonesia, hal itu menyiratkan tidak memadainya bahasa Madura untuk dijadikan bahasa resmi Kongres Bahasa Madura sendiri. Adalah ironis, bahwa Kongres ini bermaksud memuliakan bahasa Madura tetapi justru dengan cara merendahkannya. Dan itu adalah bukti lain lagi bahwa situasi bahasa Madura hari ini memang amat memprihatinkan: ia dinomorduakan bahkan dalam forum terhormat yang diniatkan untuk menjunjung dan memajukannya.

Tetapi, usahlah kita pikirkan benar kontradiksi itu, dan marilah kita garisbawahi berita duka tadi, yaitu bahwa bahasa Madura mengalami kemunduran. Bagaimanapun, pada hemat saya, bahasa Madura mesti diselamatkan dari ancaman kepunahan dan bahkan harus dikembangkan menjadi bahasa modern yang berdaya guna maksimal. Dengan demikian, berita duka tadi lebih merupakan dering peringatan tentang marabahaya yang diam-diam mengintai dan mengancam kebudayaan kita. Maka yang penting dilakukan pada tingkat kesadaran (diskursif) adalah melihat modal budaya dan modal sosial kita untuk mengembangkan bahasa Madura itu sendiri sekaligus keterbatasan dan tantangan-tantangannya. Kesadaran (diskursif) itu niscaya akan menjadi landasaran dalam usaha mengembangkan dan memajukan bahasa Madura pada tingkat yang lebih strategis lagi produktif.

Salah satu modal budaya yang sangat penting pada hemat saya adalah pergumulan bahasa Madura di lingkungan pesantren. Sudah tentu kita harus menyadari pula keterbatasan-keterbatasannya, karena pesantren bagaimanapun ”hanya” salah satu lembaga sosial yang mungkin menjadi modal budaya dan sosial bagi bahasa Madura. Tapi tak dapat disangkal bahwa dunia pesantren telah memainkan peran penting bukan saja dalam melestarikan bahasa Madura sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, melainkan juga dalam pelembagaan bahasa Madura itu sendiri sebagai bahasa ilmu dan bahasa sastra. Dengan pergumulan bahasa Madura di lingkungan pesantren, bahasa Madura mengalami pengayaan penting terutama dengan masuknya banyak sekali kosakata Arab ke dalam bahasa Madura itu sendiri. Dirumuskan dengan cara lain, di dunia pesantren bahasa Madura jadi terbuka terhadap bahasa asing, terutama terhadap konsep-konsep agama Islam. Lebih dari itu, bahasa Madura di lingkungan pesantren adalah percobaan pemakaian bahasa Madura sebagai bahasa tulis secara berkesinambungan.

Di banyak pesantren di Madura (dan daerah Tapal Kuda), bahasa Madura digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Apa yang penting di sini adalah kesejajaran antara bahasa Madura yang bertingkat dan struktur sosial di lingkungan internal pesantren yang juga bertingkat. Artinya, struktur sosial pesantren yang bersifat hirarkis sangat sejalan dengan bahasa Madura yang juga hirarkis, dan dengan demikian pesantren merupakan lingkungan sosial yang sendirinya menjadi arena yang efektif bagi sosialisasi dan institusionalisasi bahasa Madura yang bertingkat itu, khususnya di kalangan para santri. Pengalaman pesantren di Madura pada hemat saya menunjukkan: hirarki bahasa Madura bukannya melanggengkan hirarki sosial di lingkungan pesantren, alih-alih hirarki sosial lingkungan pesantren telah memungkinkan hirarki bahasa Madura menemukan lingkungannya untuk melestarikan diri.

Apa boleh buat, kita tidak bisa menampik sifat bertingkat (hirarkis) bahasa Madura ini, sebagaimana juga kita tidak bisa menampik hirarki sosial di lingkungan pesantren (bahkan lingkungan sosial secara umum). Sampai batas tertentu hal ini mungkin menghambat bahasa Madura untuk berkembang terutama di hadapan tantangan modernitas yang menjunjung tinggi egaliterianisme dan kepraktisan. Dengan sifat bertingkatnya, bahasa Madura jadi tidak sejalan dengan semangat egaliterianisme dan relatif tidak praktis (mudah) digunakan. Sekali kita berbicara dalam bahasa Madura, dengan sendirinya kita memposisikan kita sendiri dan orang lain dalam hirarki sosial tertentu, sehingga dengan sendirinya bahasa Madura menjadi praktik relasi kuasa yang amat langsung. Bahasa Madura dengan demikian mengandung implikasi psikologi sosial yang kadangkala —bahkan seringkali— tidak nyaman.

Sampai taraf yang sangat terbatas sesungguhnya terjadi negosiasi antara budaya hirarkis dan budaya egaliter dalam masyarakat Madura, termasuk dalam bahasa Madura. Setidaknya di Porè, Cangkrèng, dan Tongghal, tiga desa di kampung saya di Sumenep, semangat egaliter dijunjung tinggi. Mereka berbicara dalam bahasa Madura enjak-iyah untuk anggota komunitas mereka, tanpa peduli dengan usia dan status sosial mereka karena mereka menganggap komunikasi enjak-iyah antara anggota komunitas (orèng diyah, orèng dinnak) sebagai tanda keintiman dan keakraban (nganggep). Berbicara ènggi-enten apalagi èiki-bunten antarmereka adalah sesuatu yang asing dan mengasingkan. Hanya kepada orang luar komunitas, mereka berbicara dalam bahasa Madura halus. (Enggkok tak abasa’a ka been, Nom. Moh abasa katon tak nganggep, ’Saya tidak akan berbahasa Madura halus denganmu, Paman. Sebab berbahasa Madura halus terasa tidak akrab’). Tetapi, seiring dengan banyaknya anak-anak tiga desa ini belajar di pesantren, pengaruh bahasa Madura hirarkis di sana lambat-laun mulai diterima. Pada titik ini, negosiasi antara bahasa egaliter dan bahasa hirarkis menghasilkan diterimanya bahasa Madura yang bersifat hirarkis secara sukarela.

Maka marilah kita terima sifat bertingkat bahasa Madura itu sebagai kekayaan bahasa Madura, sebagaimana juga bahasa etnis lain seperti Jawa dan Sunda. Apa yang penting di sini adalah bahwa pengalaman pesantren dengan bahasa Madura menunjukkan adanya kultur hirarki yang kadangkala memang amat kaku, tetapi pada saat yang sama justru memungkinkan batas-batas tertentu kekakuan hirarki itu diterobos. Jika hirarki sosial bersifat tertutup, hirarki bahasa tetap terbuka. Para santri (yunior) tidak akan bisa menyentuh lingkaran elite pesantren secara sosial, namun mereka bisa menyentuh lingkaran elit pesantren itu dalam dan lewat bahasa. Para santri (yunior) dan elite pesantren adalah dua wilayah yang terpisah, namun keduanya dipersatukan oleh bahasa. Dengan demikian, meskipun bersifat hirarkis, bahasa Madura justru bisa menjembatani hirarki sosial di lingkungan pesantren.

Hal serupa berlaku juga di lingkungan sosial yang lebih luas. Masyarakat dan elit sosial (birokrasi negara) adalah dua wilayah yang dengan relatif tegas terpisah secara sosial dalam struktur hirarkis yang ketat dan kaku. Rakyat tidak selalu mudah bertemu dengan bupati, gubernur, apalagi presiden, karena hirarki birokrasi yang ketat dan kaku itu. Tetapi adalah bahasa yang memungkinkan pertemuan antara dua lapisan sosial tersebut, betapapun bahasa itu sendiri bersifat hirarkis, yaitu bahasa yang termaterialisasi lewat berbagai media. Dalam arti itu, maka hirarki bahasa bukan saja berfungsi menjembatani hirarki sosial, melainkan juga menyelesaikan atau mengatasi kebuntuan hirarki sosial itu sendiri.

Dengan demikian, hirarki bahasa Madura di satu sisi memang membatasi atau bahkan menghambat kemajuan bahasa Madura sendiri karena tidak sejalan dengan desakan modernitas yang menjunjung egaliterianisme dan kepraktisan. Namun di sisi lain hirarki bahasa Madura telah memungkinkan, bahkan mendorong, agar bahasa Madura memainkan fungsi sosial justru di saat struktur sosial menghadapi jalan buntu. Dalam konteks itulah maka hirarki bahasa yang semula menjadi hambatan telah mentransformasi diri menjadi kekuatan. Sampai di sini kiranya cukup jelas bahwa di lingkungan pesantren bahasa Madura bukan saja menjadi alat komunikasi sehari-hari, melainkan juga memainkan fungsi sosial, yaitu menjembatani atau bahkan mengatasi kekakuan dan kebuntuan hubungan-hubungan sosial di lingkungan pesantren itu sendiri.

Di pesantren, bahasa Madura tidak hanya diajarkan dan digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari. Lebih dari itu, bahasa Madura digunakan sebagai bahasa ilmu secara relatif permanen. Paling tidak sampai tingkat tertentu, pelajaran akhlak, fiqih, akidah, tasawuf, dan lain-lain di pesantren disampaikan dalam bahasa Madura. Arti penting bahasa Madura yang digunakan sebagai bahasa ilmu ini adalah menaikkan fungsi bahasa Madura ke tingkat abstraksi dan konsep-konsep dengan kadar kerumitan dan pengayaan kosakata melebihi bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari. Dengan demikian, di pesantren bahasa Madura tidak hanya memainkan fungsi sosial, melainkan juga memainkan fungsi intelektual. Sudah pasti khazanah intelektual akan memperkaya kehidupan sosial suatu masyarakat. Karenanya, ketika bahasa Madura digunakan sebagai bahasa ilmu, maka ia pasti memperkaya bahasa Madura itu sendiri sekaligus membuka jalan bagi pengembangannya untuk benar-benar menjadi alat artikulasi ilmu secara modern.

Di samping itu, di pesantren bahasa Madura juga digunakan sebagai bahasa sastra. Kalau bahasa ilmu menggunakan banyak abstraksi, konsep, dan teori, bahasa sastra menggunakan banyak metafor, alusi, imajinasi, asosiasi, dan sejenisnya. Hanya saja, karena tujuan pesantren dengan semua aktivitasnya adalah pendidikan dan agama, maka metafor dan sejenisnya cenderung dieksploitasi untuk kepentingan didaktis dan moral agama. KH Musyfiq dari Karai, Sumenep, misalnya yang secara rutin mengisi pengajian melalui radio pemancar terbatasnya, kerap memulai pengajiannya dengan membacakan syair-syair keagamaan karangannya sendiri. Di pesantren, pelajaran akidah, fiqih, dan akhlak seringkali diajarkan lewat syiir yang dinyanyikan bersama. Salah satu syiir nasihat untuk kaum perempuan yang lamat-lamat masih saya ingat —dan ini satu-satunya bait yang saya hafal— (sayang lupa pengarangnya) berbunyi:
Orèng bebinik kodu tèngatè
Sopaja ngaollè soccèna atè
Bannyak rèng binik duk-nunduk kocèng
Tapè tor kadang alèrèk lancèng
(Perempuan mesti berhati-hati
Agar meraih suci hati
Banyak perempuan menunduk pura-pura
Tapi kadangkala juga melirik perjaka).

Dengan menjadikan bahasa Madura sebagai alat komunikasi sehari-hari, bahasa ilmu, dan bahasa sastra, maka pesantren telah memanfaatkan bahasa Madura dalam batas maksimal yang mungkin dilakukannya.

Lebih dari itu, sejumlah kitab yang diajarkan di pesantren —seperti Safinatun Najâ, Sullamuttawfîq, dan Bidâyatul Hidâyah, untuk menyebut sebagian— diterjemahkan ke bahasa Madura, dicetak dan diedarkan secara relatif luas. Apa artinya ini? Ini berarti bahasa Madura yang berkembang di pesantren didukung oleh kapitalisme-cetak (print-capitalism), satu kekuatan budaya modern yang dalam pengalaman kebudayaan di banyak tempat —di Eropa sejak abad ke-16 dan di Indonesia sejak awal abad ke-20— mempercepat proses modernisasi bahasa dan akhirnya masyarakat pemakai bahasa itu sendiri. Bahasa Indonesia berkembang menjadi bahasa modern jelas didukung oleh kapitalisme-cetak ini, terutama sejumlah penerbit swasta bacaan berbahasa Melayu dan kemudian penerbit Balai Pustaka. Jadi, pesantren sesungguhnya memiliki kekuatan atau prasyarat budaya untuk memodernisasi bahasa Madura untuk berkembang menjadi alat artikulasi modern.

Perpaduan antara mesin cetak dan kapital(isme) —yang memproduksi dan memasarkan bahasa dalam suatu cetakan— memungkinkan suatu bahasa terakselerasi sedemikian rupa dan menjangkau masyarakat dengan relatif luas, dengan pembayangan tentang suatu komunitas pengguna bahasa itu sendiri. Cetakan membangkitkan imajinasi tentang sejumlah pembaca di tempat-tempat lain yang relatif jauh, yang secara bersama-sama disatukan dan dipertemukan oleh bahasa dalam cetakan itu sendiri. Ketika para santri belajar kitab cetakan berbahasa (terjemahan) Madura, diam-diam mereka membayangkan santri-santri lain belajar kitab yang sama di tempat-tempat yang tak mereka kenal, dengan bahasa yang sama yakni bahasa Madura. Dengan cara itu, bahasa Madura terakselerasi, tersosialisasi, dan terinstitusionalisasi dalam jangkauan sosial yang tak terbayangkan sebelumnya.

Sayangnya, berbeda dengan kasus Eropa dan Indonesia, sebagai kekuatan budaya kapitalisme-cetak ini tidak bisa bekerja efektif dalam memodernisasi bahasa Madura. Sebab, ia segera menghadapi kenyataan lain fenomena bahasa Madura, baik di dalam maupun di luar lingkungan pesantren. Dalam kasus bahasa Madura di pesantren, kapitalisme-cetak akhirnya harus berhadapan dengan keterbatasan-keterbatasannya sendiri.

Pertama, di lingkungan pesantren, bahasa Madura (sebagai produk kapitalisme-cetak) lebih merupakan bahasa skunder dengan bahasa Arab sebagai bahasa primer. Bahasa Madura bukan bahasa utama, melainkan sekadar bahasa kedua yang hanya berfungsi sebagai alat bantu sementara para santri belum mampu mengakses sendiri kitab-kitab kuning yang berbahasa Arab. Dengan demikian, maka yang penting di sini bukan bahasa Madura sebagai alat artikulasi ilmu, melainkan bahasa Arab. Dengan posisi bahasa Madura seperti itu, maka tidak pernah (perlu) diuji sejauhmana bahasa Madura benar-benar mampu menjadi alat artikulasi ilmu, hambatan dan kesulitan apa yang dihadapi, dan jalan keluar apa yang mesti diambil untuk mengatasi hambatan atau kesulitan tadi. Jadi, bahasa Madura sesungguhnya tidak benar-benar disadari sebagai bahasa ilmu, apalagi dicita-citakan untuk menjadi bahasa ilmu yang canggih dan modern. Bahasa Madura digunakan sebagai bahasa ilmu lebih karena pertimbangan-pertimbangan praktis, sehingga ia dengan mudah boleh diganti dengan bahasa lain, misalnya bahasa Indonesia.

Kedua, produksi kapitalisme-cetak berupa kitab berbahasa (terjemahan) Madura terbatas untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan pengajaran di lingkungan pesantren, khususnya kebutuhan para santri kelas awal. Kapitalisme-cetak ini tidak memproduksi kitab atau buku berbahasa Madura untuk para santri senior (dan pembaca umum). Ini sejalan dengan yang pertama tadi: karena santri senior (diandaikan) sudah bisa mengakses sendiri kitab-kitab berbahasa Arab, maka untuk mereka tak disediakan lagi kitab berbahasa Madura. Sejurus dengan itu, tidak terbentuk kebutuhan terhadap bacaan atau kitab berbahasa Madura di tingkat lanjut dan masyarakat umum. Dalam hal ini kapitalisme-cetak bekerja dengan rasionalitasnya yang khas: ia hanya akan memproduksi kitab berbahasa Madura sejauh ada permintaan pasar yang tinggi dan mungkin menyerap produksi kitab berbahasa Madura itu sendiri.

Ketiga, produksi kapitalisme-cetak berupa kitab berbahasa (terjemahan) Madura untuk lingkungan pesantren ini secara terus-menerus bernegosiasi dengan produksi lain berupa cetakan atau penerbitan buku untuk segmen pembaca umum. Negosiasi budaya itu berlangsung terutama pada penggunaan aksara. Yang pertama menggunakan aksara Arab; yang kedua menggunakan aksara Latin. Negosiasi budaya ini masih terus berlangsung sampai sekarang, sehingga tidak terjadi unifikasi aksara bahasa Madura. Tidak terjadinya unifikasi aksara dalam bahasa Madura —karena belum tuntasnya negosiasi tadi— inilah yang menjadikan kapitalisme-cetak tidak efektif dalam memodernisasi bahasa Madura.

Ini berbeda dengan negosiasi aksara Arab (Melayu) dan aksara Latin dalam bahasa Melayu-Indonesia. Dalam kasus bahasa Melayu-Indonesia, aksara Arab melahirkan tradisi pernaskahan, sementara aksara Latin (produk dari kapitalisme-cetak) melahirkan tradisi cetakan bahasa Melayu-Indonesia beraksara Latin, yaitu berupa majalah, surat kabar, dan buku. Di sini, kapitalisme-cetak telah menuntaskan negosiasi aksara Latin dengan aksara Arab, yang berakhir dengan terjadinya unifikasi aksara Latin dalam bahasa Melayu-Indonesia. Tuntasnya negosiasi aksara Arab dan aksara Latin (yang berakhir dengan unifikasi aksara Latin) dalam bahasa Melayu-Indonesia inilah yang dengan efektif turut mendorong modernisasi bahasa Indonesia.

Paparan di atas menegaskan bahwa pesantren merupakan modal budaya sekaligus modal sosial dalam mengembangkan bahasa Madura. Pengalaman pesantren dalam pergumulannya dengan bahasa Madura adalah usaha memanfaatkan bahasa Madura itu sendiri secara maksimal, dengan sejumlah daya dukung yang cukup besar —terutama kapitalisme-cetak. Pengalaman pesantren memperlihatkan bahwa bahasa Madura memainkan peran sosial dan intelektual yang sangat penting di dunia santri dan masyarakat Madura secara umum. Bahwa di lingkungan pesantren bahasa Madura digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, bahasa ilmu, dan bahasa sastra, cukuplah itu untuk menunjukkan adanya hubungan dan jaringan sosial (masyarakat Madura) yang relatif luas, yang sebagiannya terbentuk lewat bahasa Madura itu sendiri. Pada titik inilah pesantren telah memupuk modal budaya sekaligus modal sosial bagi kemungkinan pengembangan bahasa Madura ke depan, dalam batas-batas yang mungkin dilakukannya.

Dengan memperhatikan modal budaya dan modal sosial pesantren dalam mengembangkan bahasa Madura, yang pastilah merupakan bagian dari bagan bahasa Madura secara umum, kita melihat sebuah usaha kultural pelembagaan bahasa Madura di tengah keterbatasan dan tuntutan yang sesungguhnya kurang mendukung bagi pelembagaan bahasa Madura itu sendiri. Pada hemat saya, sampai sekarang pun, pelembagaan itu lebih didorong oleh pertimbangan-pertimbangan praktis tinimbang pertimbangan strategis dan kesadaran diskursif. Bagaimanapun pesantren pada akhirnya dihadapkan pada pilihan-pilihan rasional di tengah tuntutan sosial dan intelektual yang kian luas dan kompleks, dimana kemampuan berbahasa merupakan salah satu barometer utamanya.

Maka itu, setelah pesantren secara kultural menjadi medan negosiasi bahasa Madura —dan negosiasi itu belum selesai— dengan dukungan infrastrukturnya dalam bagan sosial-ekonomi-budaya, diperlukan sinergi dengan berbagai kekuatan sosial, politik, dan birokrasi negara guna mendorong pelembagaan dan pengembangan bahasa Madura itu sendiri. Dengan sinergi berbagai kekuatan sosial —pesantren dengan pengalamannya dalam bergulat dengan bahasa Madura, lembaga pendidikan, lembaga-lembaga bahasa dan kebudayaan Madura, birokrasi negara, dll.— itu, bahasa Madura akan mampu memecahkan kesulitan-kesulitannya sendiri. Pada saat yang sama, ia akan menyokong pertimbangan-pertimbangan praktis dengan kesadaran diskursif tentang pentingnya melestarikan sekaligus mengembangkan bahasa Madura itu sendiri, tidak hanya sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, melainkan juga sebagai bahasa ilmu, bahasa sastra, dan lain-lain. Tidak hanya sebagai bahasa lisan, tetapi juga sebagai bahasa tulis. Amien. Salam.***

Pondok Cabe, Desember 2008

Makalah disampaikan pada Kongres I Bahasa Madura 2008 di Pamekasan, Madura, 15-19 Desember 2008.

-

Arsip Blog

Recent Posts