Magelang, Jawa Tengah - Komunitas seniman petani Lereng Gunung Merapi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, melaksanakan ritual gamelan usai shalat Idul Fitri, Minggu (20/9). Usai shalat Idul Fitri di halaman Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, lereng barat Gunung Merapi, sejumlah pemuda berusia sekitar 30 tahun melaksanakan ritual itu. Mereka tampak mengenakan pakaian adat Jawa, berupa kain "bebet", surjan, dan belangkon memasuki pendopo padepokan itu dan duduk bersila di depan gamelan untuk memulai ritual.
Di sejumlah tempat, di deretan gamelan yang ada di depan panggung utama padepokan, terlihat taburan bunga mawar warna merah dan putih. Mereka menabuh gamelan sebagai tradisi ritual yang telah berlangsung sejak sekitar 1950, setiap 1 Syawal. Tradisi itu warisan dari pendiri padepokan, almarhum Romo Yoso Sudharmo. Padepokan seniman petani itu berdiri sejak 1937. "Ini sebagai caosan, persembahan doa, disajikan untuk leluhur," kata Sitras Anjilin, pimpinan Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor".
Gamelan pelog mereka tabuh di bawah pimpinan seniman petani, Darmawan, yang bermain pada instrumen kendang. Mereka melantunkan secara berturut-turut tujuh gending yakni Ladrang Sriwilujeng, Ketawangsubakastawa, Srikacarios, Srirezeki, Sridhandhang, Asmaradana, dan Pangkur. Sitras yang generasi kedua pimpinan padepokan itu menjelaskan, Ladrang Sriwilujeng bertutur tentang permohonan kepada Tuhan untuk keselamatan warga, dan Ketawangsubakastawa merupakan wujud sowan masyarakat petani kepada Tuhan dan para leluhur saat Lebaran.
Selain itu, katanya, Srikacarios bercerita tentang kebudayaan para raja, Srirezeki sebagai permohonan petani untuk rezeki yang melimpah setelah Lebaran, Sridhandhang doa untuk tolak bala, Asmaradana sebagai simbol kegembiraan masyarakat setempat saat Lebaran. "Sedangkan Pangkur menjadi gending penutup atas rangkaian ritual itu. Kami pamitan kepada leluhur dalam ritual itu dengan persembahan Pangkur," katanya. Ia mengatakan, Ladrang Sridhandang adalah ciptaan Romo Yoso, sedangkan enam gending lainnya karya para pujangga zaman Kerajaan Mataram.
Dua seniman lainnya, masing-masing Marmujo bermain di kenong dan Suwonto di saron, bersama-sama melantunkan tembang macapat saat ritual gamelan itu. Sebelum halalbihalal dengan para tetangga dan kerabat, katanya, komunitas seniman setempat melakukan ritual gamelan terlebih dahulu. "Mengirim doa kepada leluhur terlebih dahulu, lalu mereka berhalalbihalal, tetap dengan mengenakan pakaian adat Jawa," kata Sitras. Ia mengatakan, pelaku ritual gamelan terutama kalangan seniman petani muda dari keluarga padepokan tersebut. "Karena para sesepuh padepokan tentu sibuk menerima silaturahmi warga lainnya," katanya. (antara)
Sumber: http://www.antaranews.com