Melawat ke Bunda Tanah Melayu

Oleh : B Josie Susilo Hardianto

Deretan meriam di Bukit Cening di Pulau Mepar, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau ini tampak berkarat dan telantar. Meskipun demikian, meriam-meriam itu sesungguhnya menyimpan nilai sejarah tinggi dan menjadi saksi sejarah bagi kejayaan Kesultanan Riau-Lingga yang menghadapi masa kejayaannya pada abad ke-18.

Laut tak berombak. Angin yang berdesir hanya menggoyang daun-daun pohon kemunting yang tengah berbuah lebat. Buahnya yang hitam sebesar kelereng itu tiba-tiba lepas dari putiknya. Dentuman keras dari meriam-meriam yang sejak fajar memuntahkan bola-bola besi belum juga surut.

Dari arah laut tampak kepulan asap membubung tinggi. Bayangan memerah dari kapal-kapal yang membara memantul dari muka laut yang jernih. Dari balik bayangan itu tampak pula sebuah kapal yang separuh tubuhnya tenggelam di perairan, di balik Pulau Mepar, tempat tiga benteng pertahanan dan puluhan meriam terus beradu kekuatan dengan meriam-meriam dari armada Belanda.

Tembakan bantuan dari arah Bukit Cening, tempat pohon-pohon kemunting tengah berbuah lebat tadi, terus-menerus menggelegar menyambut kapal-kapal Belanda yang berhasil lolos dari hadangan meriam dari atas Pulau Mepar.

Angin berembus lagi. Bayangan rekaan tentang perang di tahun 1700-an itu mendadak lenyap bersama angin gunung itu. Sambil memandangi deretan 19 meriam yang tersusun rapi di tengah-tengah benteng Bukit Cening dan kemegahan Gunung Daik yang bercabang tiga, terbayangkan betapa hebatnya Kesultanan Riau-Lingga dulu menyusun pertahanan untuk melindungi wilayah kesultanan dan rakyatnya.

Meriam sumbing
"Ada sekitar empat benteng utama yang dibangun untuk mempertahankan Daik," tutur seorang staf Dinas Pariwisata Kabupaten Lingga, Lazuardi. Salah satu benteng pertahanan dibangun di Kuala Daik yang berada di sebuah teluk kecil sebelum Pelabuhan Tanjung Butun saat ini.

Menurut Lazuardi, pada benteng pertahanan itu setidaknya ditemukan 35 meriam. Benteng pertahanan itu merupakan pagar pertama yang harus dihadapi musuh sebelum menyerbu Lingga.

Jika mereka lolos dari hantaman meriam-meriam, armada kapal perang itu harus menghadapi gempuran meriam-meriam yang dipasang di Pulau Mepar. Ada sekitar lima benteng pertahanan di sekitar pulau itu. Dari lima benteng itu, saat ini baru tiga benteng pertahanan yang telah direnovasi dan menjadi obyek wisata.

Di benteng pertahanan di pulau itu pula terdapat satu meriam yang menjadi legenda Kesultanan Riau-Lingga. Nama meriam itu meriam sumbing atau meriam serpih. "Meriam itu bertuah. Kisahnya, meriam itu sebenarnya belum layak untuk digunakan sebagai alat tempur karena belum selesai dikerjakan dan pada bagian mulut meriam itu sumbing," tutur Lazuardi.

Padahal, ketika itu, Lingga tengah menghadapi serbuan armada Belanda. Pada satu malam, meriam itu menangis dan minta untuk dilibatkan dalam pertempuran. Singkat cerita, ungkap Lazuardi, meriam sumbing itu justru menjadi pahlawan pertempuran. Dibandingkan dengan meriam-meriam lain yang juga terlibat dalam pertempuran mempertahankan Pulau Mepar, meriam sumbinglah yang dianggap sering menjadi bintang. Ia acap berhasil menghentikan laju armada Belanda.

Selain meriam sumbing, ada lagi meriam-meriam lain yang juga dianggap bertuah. Meriam-meriam itu diletakkan di benteng pertahanan Bukit Cening. Uniknya, meriam-meriam itu justru merupakan meriam-meriam buatan VOC, sindikasi perdagangan milik Belanda di negara-negara jajahan mereka. Di bawah benteng Bukit Cening itu terdapat sebuah benteng pertahanan lain yang berada di mulut sungai. Namanya Benteng Bungin dan dilengkapi dengan 15 moncong meriam.

Bagi Kesultanan Riau-Lingga, benteng-benteng itu merupakan titik-titik pertahanan yang sangat penting dan diletakkan pada posisi yang sangat strategis. Bahkan, jika musuh bisa lolos dari incaran meriam-meriam itu, mereka masih harus menghadapi ratusan prajurit dan juga meriam-meriam yang disiagakan di sekitar Istana Damnah yang saat ini hanya tinggal puing-puing.

Pendek kata, tak mudah untuk menjamah kawasan yang disebut sebagai "Bunda Tanah Melayu" ini. Tidak mengherankan jika Istana Damnah yang menjadi tempat tinggal para Sultan Kesultanan Riau-Lingga dapat bertahan lama, sebelum dipindahkan ke Pulau Penyengat pada tahun 1900 oleh Sultan Abdulrahman Muasyamsyah.

Rumah asli
Meriam dan benteng-benteng pertahanan itu hanyalah sebagian kecil dari kisah Kesultanan Riau-Lingga. Di kawasan Daik, ibukota Kabupaten Lingga, masih banyak terdapat sisa-sisa kejayaan Kesultanan Riau-Lingga itu. Di kawasan itu masih banyak dijumpai makam-makam kerabat istana, masjid Sultan Riau-Lingga, rumah-rumah asli Melayu yang dimiliki oleh para datuk, hingga berbagai alat rumah tangga dan senjata peninggalan masa kesultanan.

Tidak hanya itu, di tengah kawasan hutan di kaki Gunung Daik, banyak ditemukan tempayan dan buli-buli buatan China yang dulu digunakan para pengusaha gambir mengolah hasil kebun mereka. Sayang, banyak pemburu harta karun yang telah membawa tempayan-tempayan indah itu pergi dari tanah Lingga.

Oleh karena itu, untuk menyelamatkan yang masih ada, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lingga Muhammad Ishak semasa menjabat Camat Lingga berinisiatif mengumpulkan sisa-sisa peninggalan sejarah itu dari warga dan menjadikannya cikal bakal museum seperti yang saat ini ada.

Banyak naskah-naskah kuno juga disimpan di museum itu. Tak kurang dari 1.000 jenis benda bersejarah disimpan di museum itu. Museum itu sendiri dibangun di dalam kompleks Istana Damnah yang tapak-tapaknya masih dapat dijumpai.

Sayang, bangunan yang hampir 90 persen terbuat dari kayu itu telah hancur dimakan usia dan hanya tinggal sisa-sisa bangunan yang terbuat dari tembok batu bata saja yang tersisa. Namun, pengunjung masih dapat menyaksikan bentuk istana tersebut karena di sisi kanan tapak istana itu telah dibangun sebuah bangunan yang merupakan tiruan dari Istana Damnah.

Marwah Melayu
Bagi banyak orang, Lingga tidak hanya menawarkan keelokan masa lalu itu dan segala bukti sejarah yang menarik untuk dikaji dan dinikmati pesonanya. Lingga juga menawarkan sejuta kisah berbau misteri. Misalnya, tidak setiap orang dapat seenaknya pergi ke Benteng Bukit Cening tanpa dipandu oleh penduduk setempat sebab kawasan di sekitar benteng itu dianggap keramat. Sebagaimana yang
dipercayai, kawasan itu masih dijaga oleh para roh halus. Orang harus menjaga sikap dan bicaranya.

Lalu, Gunung Daik yang juga masih menyimpan banyak misteri dengan komunitas masyarakat bunian yang dipercaya menghuni bagian tengah dan puncak gunung tersebut. Namun, yang menjadi kekuatan utama kawasan itu justru pada kultur masyarakatnya yang masih menjunjung tinggi marwah melayu dan sikap untuk selalu menjaga nilai-nilai keislaman dan sopan santun.

"Suatu kali ada seorang anak bersepeda dan tiba-tiba di tengah kebun sagu sepedanya rusak. Ia tidak dapat memperbaiki. Terpaksa sepedanya ia tinggal di tempat itu, lalu ia pulang dengan berjalan kaki. Sepekan kemudian, ayah si anak datang mengambil sepeda tersebut. Meskipun telah berselang sepekan, ternyata sepeda itu masih berada di tempatnya semula," tutur Dadang, warga Daik.

Kisah itu untuk melukiskan warga Daik yang masih menjunjung tinggi kejujuran dan sikap menghargai milik orang lain. Menurut dia, tidak ada cerita tentang rumah yang dimasuki pencuri, pemerkosaan, atau tingkah maksiat lainnya. Warga, sambung Dadang, masih sangat menjunjung tinggi ajaran leluhur untuk menjaga agar Lingga tetap berdiri kokoh dengan nilai-nilai kemelayuan dan keislaman.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika aura nilai-nilai itu terasa kuat ketika bertandang ke bekas pusat Kesultanan Riau-Lingga. Perkembangan dunia yang makin cepat sekarang ini oleh sebagian warga Lingga diharapkan tidak mengubah budaya masyarakat kabupaten baru itu.

Mereka sadar bahwa konsekuensi dari dunia yang makin berkembang pesat dengan tingkat kebutuhan yang terus meningkat dapat berdampak buruk bagi sebagian warga Lingga. Sebagai contoh, hutan perawan dilereng-lereng Gunung Daik dapat terancam kelestariannya jika pemerintah tidak memperkuat kemampuan ekonomi warga pedesaan di sekitarnya.

Desakan kebutuhan yang makin menguat pun dapat menyebabkan banyak warga memilih untuk melepaskan berbagai barang antik yang mereka miliki kepada para pengumpul yang menawarnya dengan harga tinggi. Akibatnya, berbagai aksesori yang punya nilai sejarah pun terputus. Selain itu, arus budaya baru juga dikawatirkan dapat melunturkan ketaatan warga untuk menjaga marwah.

Oleh karena itu, kebijakan dan kearifan pemimpinlah yang juga dibutuhkan untuk mengarahkan warga agar senantiasa setia menjaga keluhuran nilai-nilai budaya dan sejarah itu.

Sumber: Kompas

-

Arsip Blog

Recent Posts