Demokrasi dalam Tradisi Politik Islam Melayu: Mencari Hitam dalam Gelap

Oleh : Oman Fathurahman

“Islam” dan “Melayu”. Dua kata ini menjadi semacam kata kunci untuk mengawali diskusi kita tentang budaya demokrasi dalam tradisi politik Islam Melayu. Yang ingin coba dilihat melalui tulisan ini adalah bagaimana potret politik Islam dunia Melayu jika diletakkan dalam kerangka demokrasi, yang kini banyak dianggap sebagai salah satu sistem pemerintahan yang baik (good governance.

Pada dasarnya, kata “Islam” dan “Melayu” tentu saja merujuk pada dua makna yang berbeda: yang pertama, merujuk pada sebuah tatanan dengan sekumpulan nilai yang diyakini oleh pemeluknya sebagai way of life. Sementara yang kedua, Melayu, berarti sebuah komunitas di wilayah tertentu, di mana Indonesia berada di dalamnya. Karenanya, yang disebut sebagai masyarakat Melayu adalah mereka yang menjadi bagian dari komunitas di wilayah dimaksud.

Dalam perkembangannya, Islam dan Melayu menjadi dua kata yang sering selalu berjalan beriringan; Islam menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Melayu, sebaliknya masyarakat Melayu juga menjadi sangat identik dengan Islam. Bagi komunitas Melayu, hal ini terefleksikan dalam satu slogan: “menjadi Melayu berarti menjadi Muslim”. Slogan ini demikian mengakar di kalangan masyarakat Melayu, sehingga nilai-nilai yang diproduksi oleh Islam niscaya dengan sendirinya akan banyak melandasi perumusan nilai-nilai kehidupan dan perilaku masyarakat Melayu, tak terkecuali dalam mengekspresikan gagasan-gagasan tentang politik, seperti konsep kekuasaan, penguasa atau raja, hubungan penguasa dengan rakyat, serta hal-hal lain yang berada dalam ranah politik.

Dalam hal ini, bangsa Melayu menjadikan Islam (baca: Islam historis) sebagai dasar perumusan etika bagi perilaku politik para penguasa di kerajaan. Gambaran tentang tesis tersebut misalnya tampak dalam pembahasan teks-teks Melayu Klasik, semisal Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-raja Pasai — dua teks yang masing-masing berbicara tentang kerajaan Samudra Pasai dan Malaka abad 14 dan 15— di mana perumusan Islam sebagai basis etika politik terlihat dengan jelas pada isu-isu pokok politik yang mengemuka dalam keseluruhan isi pembahasan. Merah Silu, salah seorang raja Pasai misalnya, digambarkan bahwa sesaat setelah beralih ke agama Islam segera memakai gelar Arab, Sultan, dan, dalam suatu sidang dengan para pimpinan dan rakyatnya, ia dinyatakan sebagai “Bayang-bayang Tuhan di Bumi” (zillullah fil Alam).

Oleh karenanya, untuk melihat gambaran tentang tradisi politik Islam Melayu ini, kita bisa melacaknya, antara lain, melalui berbagai pemikiran, tradisi politik dan kekuasaan yang pernah ada dalam khazanah Islam klasik, meskipun tampaknya periode yang dirujuk lebih pada masa dunia Muslim abad pertengahan —di mana unsur Persia banyak berpengaruh di dalamnya— yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai tidak mengakar baik dalam ajaran-ajaran al-Quran. Tentang konsep kekuasaan misalnya, dalam tradisi politik Islam Melayu, berkembang paham bahwa penguasa memerintah berdasarkan mandat dari Tuhan, dan bukan dari rakyat. Jika ditelusuri, paham ini, antara lain, pernah berkembang dalam tradisi politik di zaman dinasti Umayyah dan Abbasyiah, di mana penguasa dianggap sebagai “bayangan Tuhan di muka bumi” (zillullah fil Ard). Seperti diisyaratkan di atas, berbagai teks Melayu klasik, semisal Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, Adat Raja-raja Melayu, Hikayat Merong Mahawangsa, Hikayat Patani, Taj al-Salatin, Undang-undang Melaka dll. seringkali mendeskripsikan pengadopsian gelar-gelar serupa, semisal Zillullah fil Ard, Zillullah fil Alam, “Khalifah Allah di Bumi” dll. oleh para penguasa Islam Melayu.

Dalam tradisi politik Islam Melayu, seperti tampak dalam teks Sejarah Melayu atau Taj al-Salatin, misalnya, raja atau penguasa memang merupakan figur dan lembaga yang terpenting. Raja dianggap sebagai orang yang mulia dan mempunyai berbagai kelebihan. Posisi raja adalah setingkat dengan Nabi, dan sebagai pengganti Allah di muka bumi. Dalam hal ini, teks Taj al-Salatin menganalogikan Raja dan Nabi sebagai “dua permata dalam satu cincin”. Konsep ini tentu saja mengandung arti bahwa penguasa mempunyai dua kekuasaan: keduniaan, dan keagamaan. Bahkan, dalam beberapa mata uang Malaka abad 15 misalnya, Sultan yang memerintah dinyatakan sebagai Nashir al-Dunya wa al-Din (Penolong dunia dan Agama). Oleh karenanya, kekuasaan raja atau penguasa menjadi muqaddas atau suci, dan wajib hukumnya bagi rakyat untuk taat kepada penguasa dengan melaksanakan apapun titahnya.

Sifat mutlak kekuasaan raja atau penguasa dalam tradisi politik Islam Melayu ini kemudian lebih diperkuat lagi dengan konsep “setia” dan “derhaka”, yang juga meniscayakan kemutlakan kekuasaan raja, sehingga rakyat dituntut untuk setia tanpa batas. Mereka yang ingkar (derhaka) kepada raja akan menerima hukuman. Hukum sendiri, dalam Undang-undang Melaka misalnya, dikemukakan sebagai sebuah aspek martabat raja: “…siapa saja yang melanggar apa yang telah dinyatakan dalam undang-undang ini, dinyatakan bersalah melakukan pengkhianatan terhadap Sri Baginda…”. Pada gilirannya, posisi hukum demikian seringkali mengakibatkan munculnya tindakan-tindakan raja yang sewenang-wenang, tidak bertumpu pada asas rule of law, tidak terbuka terhadap keragaman, dan seterusnya.

Tentu saja, kendati banyak dipengaruhi unsur Islam, fenomena bentuk pemerintahan dunia Melayu seperti ini juga tidak bisa serta merta dianggap sebagai citra dari sebuah pemerintahan ala-Islam, yang komunitasnya terikat dengan hukum-hukum syariat. Kenapa? karena —selain Islam yang dirujuk pun tidak bersifat menyeluruh— secara historis, dunia politik Melayu juga memiliki akar-akar yang kuat dengan tradisi masa pra-Islam, di mana sistem pemerintahan yang berpusat pada raja atau penguasa telah muncul, paling tidak dalam bentuk embrionya. Oleh karenanya, tidak heran kemudian jika struktur seremonial negara Islam Melayu, gelar-gelar, dan ritual-ritual yang memperlihatkan pencapaian duniawi dan spiritual dari elit dan masyarakat Melayu, seringkali juga memiliki “silsilah” dan keterkaitan dengan tradisi masa pra Islam.

Dengan penjelasan ini, satu hal dapat dipastikan, betapa tidak mudah untuk mencari benang merah antara nilai-nilai dalam sistem demokrasi —yang meniscayakan beberapa parameter tertentu— dengan tradisi politik Islam Melayu tersebut, meskipun benang merah itu tampaknya bukan tidak ada sama sekali. Masih dalam hal hubungan antara raja dengan rakyat misalnya, kendati posisi raja sangat dominan, namun tradisi politik Melayu juga mengenal pola hubungan raja dengan rakyat yang, dalam beberapa hal, bisa disebut sebagai satu “mekanisme kontrak” antara dua pihak yang berkepentingan. Kendati memang sangat simbolik, teks Sejarah Melayu dalam beberapa bagian menekankan adanya kewajiban raja dan rakyat untuk tidak saling merusak posisi masing-masing. Dalam kaitan inilah, wacana politik Melayu selanjutnya memperkenalkan konsep musyawarah, yang juga diadopsi dari tradisi politik Islam, sebagai aturan dalam sistem perilaku politik raja dan penguasa Melayu.

Alhasil, melacak akar-akar demokrasi dalam tradisi politik Islam Melayu, tak ubahnya bagai mencari sesuatu yang hitam dalam gelap: ada, tetapi tidak gampang mencarinya! Yang harus menjadi catatan penting kita adalah, betapa pengalaman telah menunjukkan bahwa perumusan sistem pemerintahan, apapun bentuknya, ternyata dihasilkan melalui persentuhan antara budaya yang pernah ada dengan “sesuatu” yang datang kemudian.

Jadi, kendati kita pernah memiliki pengalaman yang rada-rada gelap dalam hal berdemokrasi, toh sekarang kita sedang banyak bersentuhan, dan dengan sendirinya bisa “belajar”, dengan nilai-nilai demokrasi itu? Masalahnya, mau atau tidak!

This article has been published in Jawa Pos, November 18, 2001

-

Arsip Blog

Recent Posts