Melihat Separuh Dunia di Isfahan

Oleh: Bambang Budi Utomo

Ketika dunia internasional yang dipelopori Amerika Serikat heboh mengecam dan mendiskreditkan Iran dalam urusan pengayaan uranium, Indonesia mempererat tali persahabatan dengan negara itu. Memang tidak ada alasan untuk ikut-ikutan negara Barat untuk mengecam Iran karena dilihat dari perspektif kebudayaan, Indonesia sejak abad ke-8 telah berhubungan dengan Iran yang kala itu bernama Persia.

Pedagang-pedagang Persia telah lama berdagang dengan Sriwijaya. Dari Persia mereka membawa gelas-gelas Persia dan karpet yang terkenal keindahannya. Kembali ke negerinya dari bumi Sumatera, mereka membawa hasil hutan yang pada waktu itu berupa kapur barus (kamper) dan bahan wangi-wangian.

Sejalan dengan aktivitas perdagangan, menyebar pula agama Islam. Dengan menyebarnya Islam di Nusantara, secara tidak langsung masuk pula unsur-unsur kebudayaan Persia. Daerah yang kental dengan pengaruh Persia sebagian besar berada di Sumatera dan Jawa. Para penguasa di Kesultanan Samudra Pasai atau Aceh mungkin saja mendapat pengaruh Persia, atau bahkan salah seorang pedagang Persia. Gelar atau nama bangsawan Aceh yang memakai kata Shah merupakan petunjuknya.

Hamzah Fansuri, seorang ulama kelahiran Fansur (sekarang Barus, Sumatera Utara), adalah tokoh terpenting dalam perkembangan Islam dan tasawuf di Nusantara. Ia adalah orang pertama yang menuliskan seluruh aspek fundamental doktrin sufi ke dalam bahasa Melayu. Ia juga berjasa dalam membawa bahasa dan sastra Melayu ke tingkat baru yang lebih maju.

Berbicara mengenai perdagangan dan kebudayaan Persia di Indonesia, tentu kita akan membayangkan bagaimana sebenarnya kehidupan berbudaya di Persia sebagai tempat asal budaya tersebut. Lamat-lamat terdengar, entah dari bacaan, media elektronik, atau kabar teman, bahwa pusat kebudayaan Persia berada di sebuah kota di jantung daratan Persia, yaitu Isfahan.

Isfahan telah lama menjadi sebuah kota, sekurang-kurangnya sebelum masuknya Islam di Persia. Selama itu Isfahan belum menjadi besar. Puncak kejayaan Isfahan adalah ketika Shah Abbas pada tahun 1598 menjadikannya sebagai ibu kota Kerajaan Safavid.

Pada masa itu (abad ke-16 Masehi) Isfahan bukan saja sebagai ibu kota kerajaan, tetapi juga sebagai pusat industri karpet, tekstil, ubin keramik yang beraneka warna, dan pusat seni barang-barang logam dan kaca. Inilah produk utama dari Isfahan yang sejak dulu diekspor ke mancanegara, antara lain ke Nusantara. Pengapalan produk-produk ini dilakukan di Siraf dan Bandar Abbas, dua pelabuhan penting Persia di pantai Teluk Persia.


Naqsh-e Jahan Square

Pada waktu Isfahan menjadi ibu kota pada masa Safavid, Naqsh-e Jahan Square atau dikenal juga dengan nama Emam Square dan bangunan-bangunan di sekitarnya menjadi terkenal. Tempat tersebut merupakan salah satu square terluas dan terindah di dunia, di mana berbagai permainan sering dimainkan, salah satunya adalah polo.

Toko-toko yang berada di sekeliling square dan paviliun-paviliun saling terhubung. Bangunan-bangunan bersejarah seperti Masjid Emam, Masjid Sheikh Lotfollah, bazaar, dan Ali Ghapoo (gerbang utama) mengelilingi square tersebut. Dalam lingkungan ini segala macam aktivitas, mulai dari aktivitas kenegaraan, agama, sampai pada aktivitas perekonomian, berlangsung pada sebuah kompleks yang terpadu.

Bangunan Ali Ghapoo terletak di sisi barat square dan dibangun pada tahun 1600 Masehi. Bangunan ini dibangun dalam beberapa tahap, dimulai dari sebuah gerbang masuk yang sederhana, kemudian menjadi istana, dan terakhir menjadi gerbang yang mewah.

Bangunan Ali Ghapoo merupakan bangunan serbaguna, lantai satu digunakan untuk pintu masuk raja, lantai dua digunakan untuk penerimaan tamu, dan lantai tiga digunakan untuk istirahat dan hiburan seperti mendengarkan musik. Ivan atau beranda yang terletak di lantai 3 memiliki 18 pilar, interiornya dihiasi dengan stucco dan lukisan-lukisan dinding.

Ali Ghapoo merupakan koleksi karya seni artistik dan dekoratif yang menyatu dengan kemewahan. Ali Ghapoo merupakan sebuah karya seni yang dibuat 400 tahun lalu dan selalu menjadi tempat kunjungan pengamat-pengamat seni dan budaya Iran dan internasional.

Dari beranda atas Ali Ghapoo, memandang ke arah selatan, tampak menjulang dua menara kembar dan sebuah kubah masjid yang kaya dengan hiasan. Itulah Masjid Emam. Masjid Emam mulai dibangun pada masa Shah Abbas I pada tahun 1612.

Gerbang masjid yang indah yang dihiasi dengan mosaik dibangun pada tahun 1617. Halaman masjid terdiri dari 4 ivan yang memiliki 4 lengkung yang simetris. Di bagian barat daya dan barat laut masjid terdapat sekolah Islam. Di sisi timur dan selatannya terdapat dua tempat suci.

Dari beranda atas Ali Ghapoo, memandang ke arah selatan di seberang square, tampak Masjid Sheik Lotfollah. Masjid ini merupakan sebuah karya seni arsitektural berasal dari abad ke-17 Masehi. Pembangunan masjid ini atas perintah Syah Abbas I dan berlangsung selama 18 tahun. Gerbang mosaik selesai dibuat pada tahun 1603 dan masjidnya selesai dihias pada tahun 1619. Kubahnya diarahkan ke satu sisi, yaitu menghadap ke Mekah.

Masjid ini merupakan salah satu bangunan bersejarah dan religius di mana hiasan dekoratif pada bagian permukaan terbuat dari mosaik keramik. Masjid ini dibangun untuk menghormati Sheikh Lotfollah, yaitu seorang guru Islam Syiah yang menggunakan masjid ini sebagai tempat mengajar agama Islam.

Sejak zaman kejayaan Kerajaan Safavid (abad ke-16 Masehi) dan bahkan sebelumnya, Naqsh-e Jahan Square, berfungsi sebagai pasar. Lapangan hijaunya dipakai untuk bermain polo. Aktivitas perdagangan berlangsung di sepanjang tepi lapangan pada kios-kios yang terletak di sepanjang lorongnya.

Komoditas perdagangan sejak zaman lampau hingga sekarang tidak banyak berubah. Komoditas perdagangannya meliputi barang-barang seni khas Persia. Bedanya hanya terletak pada teknik pembuatannya, terutama pada barang-barang logam.


Kerja sama kebudayaan

"Hubungan bilateral" antara Persia dan Nusantara memang sudah berlangsung lama dan bahkan dapat dikatakan tidak pernah terputus.

Ketika Presiden Republik Islam Iran berkunjung ke Indonesia, 9-11 Mei 2006, dalam pembicaraan bilateral antara lain tentang ditingkatkannya hubungan persahabatan melalui kerja sama kebudayaan dan pariwisata. Sebagai tindak lanjut dari pembicaraan tersebut, pada 25 Juli 2006 di Teheran ditandatangani naskah kerja sama bidang kebudayaan dan pariwisata antara Indonesia dan Iran.

Lepas dari heboh nuklir Iran, adalah suatu tindakan yang wajar apabila ajakan mempererat kerja sama antarkedua bangsa yang telah lama berhubungan diwujudkan dalam bentuk berbagai kegiatan. Saling kirim misi kebudayaan—misalnya tari-tarian—yang mempunyai akar budaya yang sama mungkin dapat menggugah perasaan kebersamaan. Mungkin itulah yang diharapkan dunia internasional, kebudayaan untuk mempererat hubungan antarbangsa.

Bambang Budi Utomo
Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional

(Sumber: Kompas, Sabtu, 19 Mei 2007)

-

Arsip Blog

Recent Posts